Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Elphemeral

Aku menggigit kuku, menjilati telapak tangan. Kebiasaan lama ini sungguh tidak lekang. Udara dingin di luar menembus ventilasi di atas, membawa butiran salju. Mungkinkah aku akan mati membeku? Haruskah kulaporkan ini kepada penjaga. Tetapi ini tengah malam, akan sangat mengganggu jikalau kotak suaraku berderak meneriakkan keluh kesah. Lebih baik tak menimbulkan masalah.

Sepi dan bosan. Harusnya tengah malam adalah waktuku keluyuran mencari udara segar atau berkelahi menyalurkan adrenalin. Sekarang, rutinitas ini hanya untuk dikenang.

Latar belakangku jauh dari kata normal. Sejak lahir terjadi kerusuhan. Pusat kota dihuni  orang-orang aneh yang berjalan menggigit sesama, memakan jeroan, memungut kaki lepas dijadikan lolipop, atau memakan ibu jari sendiri. Bau anyir saat itu mengguar di setiap sudut.

Saat beranjak remaja pun, keadaan belum terselesaikan. Beberapa fakta terkuak, kuburan menjadi pusat keramaian. Mereka terbangun kemudian beraktivitas seperti di kota. Sementara itu, kota porak-poranda, semua harus bersiap dengan untuk berkorban mencari remah makanan. Ibuku berpesan pada kami bersaudara untuk tetap tinggal di balkon reot sampai Beliau kembali membawa kudapan. Tetapi hingga petang menjelang, Ibu tidak kunjung pulang. Kami yang masih remaja tanpa pengalaman hanya bisa mengguarkan kepanikan, hingga timbul kesepakatan untuk berpencar dan kembali setiap fajar.

Ini terdengar bodoh dan memang demikian. Jejak mereka lenyap, membuatku larut dalam keputusasaan. Bahwa, selain Ibu, mereka pun turut menghilang. Kini tinggallah aku dengan renggut kekecewaan, dan sesak tangis tertahan, kumakan kaki itu bersama bayang, berhari-hari hingga tinggal tulang.

Kuputuskan untuk lenggang dengan sisa energi yang tersimpan dan was-was yang bersarang. Rombongan zombie siap menerjang pula tentara dengan meriam serta laras panjang. Aku bergerilya tanpa tujuan dengan nyawa sebagai taruhan.

Hari berganti hingga hitungan tahun usai. Kekacauan mereda. Kota dibangun oleh sisa kehidupan. Mereka mulai berdagang dan aku mulai mengembara dengan tenang.

Walaupun tidak sepenuhnya demikian. Langkahku mengusik mereka, menyulut beragam umpatan, atau membuat tangan mereka kotor dengan menyiram, atau melukaiku lewat benda seperti bebatuan. Aku memang bersalah, tetapi Tuhan tidak menciptakan lapar dan dahaga tanpa tujuan. Atas tindakan serampangan, kuterima bahwa daun telingaku buntung, kaki kiri depan pincang. Langkahku terseok, pendengaranku meremang, tetapi semua ini tidak membuatku membenci, karena beberapa masih memiliki nurani---memberi cemilan dengan porsi tanggung, menatapku iba seperti wanita berambut coklat di depanku. Tanpa jijik tangannya mengelus koreng bernanah yang menghiasi kulit, anggap saja ini seperti tato Ya, mungkin seperti itu, aku nampak gagah dan manis di saat bersamaan.

"Pus, aku pergi dulu, baik-baik di sini..." ujarnya lembut dan pergi menghilang di tengah derai gerimis.

Kukejar gadis itu, walaupun berakhir sia-sia. Langit kini telah tergradasi oleh temaram rembulan, pun kesunyian yang mencekam. Di depanku, barisan pepohonan mengakar. Kumasukinya untuk pertama kali, hutan yang berada tepat di samping kuburan.

Tanpa gentar akan zombie, kurasa aman untuk tidur selonjoran di bawah pohon berkanopi tebal, tanpa takut tersiram gerimis yang menjalang.

Kupejamkan mataku, mungkin sejenak sampai terdengar derap langkah. Bau amis yang menggoda. Lamat-lamat muncullah sosok berambut hitam tergelung, nampak manis dengan pakaian kelabu, membawa kudapan yang lezat.

"Pus!" Ia menyapa dan memberikanku nampan berisi daging, mengelus puncak kepalaku. Hingga aku terlelap bersamanya dalam rintik hujan yang memenjara.

Air menetes meresapi tubuhku yang sudah tidak berada di pangkuannya. Ia telah lenggang. Aku bangkit dan menatap bayangan, lalu menjerit membangunkan seisi hutan.

"Itu aku? Aku berubah menjadi manusia?"

Aku mendelik tetapi berusaha menerima fakta setelah lenganku memar dengan cubitan. Kulangkahkan kaki dari hutan sebagai manusia, berjalan menuju pasar sore dan memekik riang melihat saudaraku menghalangi jalan.

"Snowy? Tunggu di sini, aku akan mencarikanmu makanan!"

Lantas tanganku dengan cekatan mengambil daging yang menggantung, menimbulkan pekik dari segala penjuru. Kubawa Snowy lari sejauh yang kumampu. Hingga derap langkah mereka menggapai baju. Mereka memisahkanku dengan Snowy pula daging merah, kemudian menyeretku ke sebuah bangunan yang bertuliskan kantor polisi. Di sana polisi melotot dan berbisik pada rekan di samping, kemudian melakukan hal ambigu seperti mengangguk-angguk. Lantas senjata diacungkan dan tanganku diborgol.

Polisi di dekat pintu tersenyum penuh arti, "Kalian bukan hanya membawa pencuri daging, tetapi juga berhasil menangkap manusia gila penghuni hutan yang telah membangkitkan mayat di kuburan. Kami bangga dan akan memberi hadiah. Sekarang kembalilah ke rumah dan nikmati coklat panas bersama keluarga,"

Kemudian mereka pergi dengan umpatan yang ditujukan padaku. Aku tidak berkutik. Polisi membawa dan memasukkanku ke dalam ruangan sempit bercelah di atas di lantai dua.

"Nikmati sisa harimu Elena, lupakan impianmu menjadi Tuhan atau pun penyihir gadungan. Berhitunglah mundur sebelum hakim memutuskan hari kematianmu," ucap George---yang kulihat dari badge-nya.

Dia pergi meninggalkanku dengan segala kegamangan di dalam jeruji besi yang dingin pun sunyi. Hingga tengah malam tiba, melodi jam dinding menjadi pelipur. Datanglah kucing hitam dengan kaki kiri depan pincang dan telinga tinggal sebelah kanan. Matanya berkilau diterpa sinar rembulan.

"Ini adalah imbalan atas makanan kemarin. Bagaimana rasa daging manusia?"

Pelipisku berkedut. Dengan segala ketidakberdayaan, rasanya aku ingin meninjunya dan kepalan itu berakhir pada tembok di belakangku.

Penjaga datang, mengusir kucing itu, tanpa tahu dialah sang incaran.

"Mau kabur?" Ujarnya sambil terkekeh. Ia lekas pergi lalu kembali esuk pagi.

"Ada tamu yang ingin mengutuk!" Ejeknya. Ini membuatku menatapnya tajam padahal barusan terpejam. tetapi pengecualian bagi wanita berambut coklat.

Polisi itu kembali berjaga di balik dinding.

"Meong!"

Mataku membulat, sekian lama menanti dan mencari, gema suara terdengar kembali, "Aku berjanji akan menyelamatkanmu."

Meskipun ucapannya terdengar seperti omong kosong, aku tetap mempercayainya, "Terima kasih, Ibu."

Beliau lenggang, hingga hari ini meninggalkan ilusi kepercayaan. Sudah seminggu lamanya, sembari dihantui tiga hari menuju kematian. Aku bermalas-malasan menggigiti kuku dan menjilat tangan. Ibu akan datang pikirku.

Dan benar, Beliau datang. Memberikan keresek hitam. Di tengah malam. Tanpa penjagaan.

Kubuka keresek itu dengan penuh harap. Di saat bersamaan Beliau menghilang.

Kantung tersebut berisi kepala kucing hitam dengan telinga buntung dan selembaran tulisan.

‘Maaf Nak, aku hanya berilusi dan bermain. Dalam hitungan menit, kamu akan berpindah ke raga berbeda layaknya penyihir lain. Kekuatanmu akan kembali. Tak perlu risau dan menyamar menjadi kucing jalanan. Misi segera dicanangkan. Manusia akan tunduk di bawah naungan seperti dahulu!’

Tatapanku mengawang, rasanya penindasan antar ras tidak akan berakhir dengan pembalasan dendam. Kuharap ada keselarasan yang menjadi kunci perdamaian. Maaf Ibu, mungkin aku akan menjadi lawan ketigamu.

***

(Jumlah kata: 996)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro