Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 6 - Kelas Lingkungan Hidup

Benarkah ini tempatnya? Leon cek sekali lagi. Pandangannya diedarkan ke seluruh penjuru lapangan serba guna—sekitar asrama. Hanya terlihat tim sepak bola yang berkerumun mendiskusikan strategi. Mana tak ada orang yang ke sini lagi.

Namun bila pandangan Leon diedarkan ke seluruh lorong, berbagai jenis tanaman di lorong ini cukup meyakinkan, seolah menyambut Leon menuju dunia fantasi. Menurut brosur yang ia dapat dari Ketua Kelas, lokasi kelas lingkungan hidup memang di sini.

"Ikuti aja denahnya." Begitu katanya.

Apa tak masalah kalau masuk terlebih dahulu? Ketuk pintu mungkin tak apa. Supaya tak gugup, ia menelan saliva dan membiarkan peluh membasahi area kening.

Sudah saatnya.

Tangan Leon terulur, bergetar bak baru tercelup lautan antartika. Pikirannya dihujani berbagai persepsi negatif. Bagaimana kalau di dalamnya para penderita penyakit psikopat? Bagaimana kalau mereka membunuh Leon akibat baca berita tentang EPHS? Ia merasakan aura hitam yang begitu pekat di dalam sana. Tidak, tepat di balik pintu!

Ingin rasanya Leon lari dan pura-pura sakit, tapi terlambat menyadari. Begitu buku-buku jari nyaris terantuk badan pintu, seseorang membukanya dengan cepat. Tak ragu Leon melindungi kepalanya.

"Punten, Mang! Saya cuma mau ikut kelas doang, Mang! Maafin Leon, hapunten pisan!" Saking takutnya, Leon berkata menggunakan bahasa daerah asal Indonesia: Sunda. Leon tak kuasa melihat sosok di depannya. Otaknya diterori berbagai ancaman. Namun entah kenapa aura hitam itu menghilang bagai asap lembut lilin. Masa bodoh, Leon memilih berkomat-kamit tanpa suara.

"Hei, aku tak paham bahasamu." Dia cakap demikian, kah? Kalimat itu menyita ketakutan Leon, bahkan hati dan pikirannya tenang berkat aroma mawar. Leon ingat tangannya sempat dibaluri minyak angin aroma bunga mawar karena kebas. Lantas, ia mendongak melepaskan perlindungan kepala, mendapati puluhan kepala yang menyembul di sisi pintu, menghiasi sosok pemuda bersurai ikal pirang yang berdiri di depannya.

Senyumnya tampak menawan saat berkata, "Kamu mau ikut kelas lingkungan hidup?"

Dia bicara baik-baik padanya, tanpa ada kekerasan secara fisik maupun mental. Buat apa ia takut? Leon hanya mengangguk cepat sebagai jawaban.

"Iya," jawab Leon menyokong anggukannya sendiri, berdiri mengatur napas. Iris ambar Leon menyala ceria. Tubuhnya sengaja ditegapkan, entah untuk apa, hanya keinginan Leon sendiri.

Dia bukan pembunuh, atau mungkin patut dicurigai. Terlihat seperti pelajar populer yang sering Leon lihat di TV. Banyak sekali manik-manik di rambut ikalnya. Tampalan di beberapa titik wajah menambah poin ketampanannya. Jas resmi pun dipakai menjadi rok belakang, dengan lengan jas diikat di pinggang.

"Aku ketua kelas lingkungan hidup," katanya tersenyum lebar. "Kau bisa panggil aku Gemy."

Gemy.... Nama Kakak ini cukup unik. "Mohon bantuan dan kerja samanya!" kata Leon dengan nada tinggi layaknya tentara.

"Ah, silakan masuk." Gemy merangkul leher Leon, membawanya masuk ke dalam ruangan yang serba hijau. Seketika mata Leon membulat kagum.

"Selamat datang di kelas lingkungan hidup!"

Dalam benak Leon, tanaman apa saja yang mampu mempercantik ruangan ini? Dibanding sebutan rumah hutan, ini pantas dijuluki dunia kecil fantasi karena banyak sekali bunga cantik yang mekar di antara hamparan hijau. Itu baru tanaman merambat.

Tak sedikit tanaman yang menghiasi jendela layaknya gorden kamar, bahkan tanaman gantung ada di sepanjang mata memandang. Cukup hebat kala Leon tak mencium bau tanah akibat tetesan di pot gantung.

"Aku mengerti kenapa kamu bingung sama lokasi kelasnya, tapi kau tidak akan menyesal bergabung ke sini." Cara Gemy bercakap cukup persuasif, meyakinkan dan menutupi kelemahan lewat untaian kata-kata.

"Semuanya, kita kedatangan anggota baru hari ini." Sekilas Gemy menunduk sedikit guna melirik Leon. "Dia ... murid kelas 1, namanya—"

"Kau gabung ke sini juga, Leon?" Muncul sosok gadis bersurai cokelat sebahu menyembul ke barisan terdepan. Itu Alisa. Dia menghampiri Leon, menggenggam tangannya erat-erat seperti mengharapkan sesuatu. Itu serangan khas perempuan yang bisa buat lelaki mati kutu. "Mohon bantuan dan kerjasamanya, ya, Cyndhakyuu."

****

Sekitar setengah jam para anggota kelas 10 berdiri mendengarkan semua materi dari kakak kelas di depan pagar besi area hutan. Peluh sudah bercucuran membasahi seragam dan rambut, menimbulkan bau asam di lipatan baju, lebih-lebih di bagian ketiak. Entah apa alasan beliau berkata demikian, yang jelas perintahnya buat kulit Leon makin menghitam. Bisa-bisa ia dicap orang Papua setelah program selesai.

"Seperti yang kita tahu, lingkungan hidup tidak melulu peduli pada tanaman. Kalian harus peduli pada penghuni di hutan ini, kalian tahu itu, kan? Kita akan lebih peduli dengan ekosistem, mengingat banyak sekali flora dan fauna yang berada di titik kepunahan."

"Kalian masih ingat berita viral di sini?" Pria modis itu merentangkan tangan. Tiba-tiba saja aura hitam itu kembali lagi menyelimuti Gemy. Kali ini jauh lebih kuat. Berita yang Gemy maksud pasti misteri terbunuhnya kepala penjaga malam, makanya Leon mendongak. Manik ambarnya bersitatap dengan ekspresi Gemy. Terkesan aneh sampai dahi Leon berkerut. Terkadang ramah, lalu berubah menyeringai lebar, berganti lagi ke ramah. Begitu saja siklusnya.

"Menurut penyelidik kota Saskatoon, korban dibunuh oleh sekelompok makhluk buas semacam harimau. Salah satu bangkai harimau ditelusuri kronologinya," sambung Gemy mengedarkan pandangan ke semua anggota, yang Leon simpulkan tak bergerak sama sekali. "Pada akhirnya mereka menyimpulkan ... bahwa seluruh jiwa hewan itu diintruksi oleh seseorang."

Posisi Leon merasa terancam. Senormal mungkin ia bertatap muka dengan Gemy di jarak sekitar setengah meter. Tak boleh gugup, tak boleh takut, tak boleh bergemetar. Apalah daya suhu dingin mencelos menyelimuti kulit hingga masuk ke tulang.

Selepas Gemy bercakap demikian, berbagai suara menyakiti pendengarannya. Mereka datang melemparkan cemoohan, hinaan, dan sebagainya. Berulang-ulang bagaikan lonceng teror bagi Leon. Ini mimpi buruk, Leon yakin sekali. Ia langsung menutup telinga, mulutnya terbuka tak bersuara. Hanya terdengar desisan lirih. Mata Leon pun menampilkan urat-urat merah, sedang iris matanya bergerak cepat tak karuan.

Bisakah Leon percepat waktunya?
Ia tak mau mati konyol.

"Siapa seseorang yang kamu maksud?"

"Mereka ... mereka keluarga Cyndhakyuu. Keluarga pembawa sial!"

"Benarkah mereka keluarga pembunuh?"

"Di depan emang baik. Eh, ternyata pembunuh! Munafik!"

Ingin rasanya Leon menangis, termakan oleh semua ucapan jahat para manusia. Ia ingat cerita penciptaan Nabi Adam. DIA berkata, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna. Tuhan sudah berusaha mengajak makhluk ciptaan lainnya untuk memuliakan manusia.

Sayang sekali, perilaku manusia zaman sekarang terkesan atheis.

Mereka seolah-olah ucapannya benar, meski yang dimaksud adalah penghinaan sesama manusia. Apa hal tersebut patut dimuliakan?

Hentikan.... Hentikan semua ini. Leon memejam kuat. Peluh sebesar beras mengalir deras, membasahi wajah juga beberapa helai rambut. Dada Leon terasa sesak. Sepanjang hidupnya ia tak memiliki riwayat asma atau penyakit respirasi lainnya. Detak jantung ini begitu nyeri, memaksa lidah Leon untuk mendesis kesakitan. Sudah cukup penderitaan yang Leon terima! Ia tak mampu menahannya lagi! Ia mundur sedikit demi sedikit, berusaha agar tak mendengar suara iblis itu lagi.

"Kamu baik-baik aja, Cyndhakyuu?" Mata bulat Leon mengekor. Tertangkap sesosok pemuda dengan manik-manik di rambutnya. Dia menyetarakan tinggi Leon, mencengkeram pundak Leon dengan hati-hati. "Kamu gampang sakit kalau kecapean?"

"Sa-sakit?" Leon balik tanya, mengundang bingung bagi seluruh anggota yang mengerubunginya. Mereka sudah menatap Leon khawatir. "Gak.... Cuma halusinasi."

"Pasti kamu dehidrasi," ujar Gemy mengeluarkan sebotol air mineral di tas selempang. "Ini, minum sampai kamu merasa lebih baik."

"Trims." Leon menerima pemberian Gemy, membuka tutup botol yang tersegel. Air siap diteguk. "Maaf, jadi tak bisa ikut kegiatannya."

"Yang penting, pikirkan keadaan dirimu sendiri," kata Gemy sembari menuntun Leon, bersandar di bawah pohon. "Buat dirimu nyaman, oke?" Ia menoleh ke luar area hutan. "Yang lain, kita mulai observasi di hutan. Jangan terlalu jauh."

Leon berharap mereka tak muncul. Ia spontan mendongak dan membungkuk hormat. "Sekali lagi, aku minta maaf. Baru jadi anggota sudah nyusahin Kak Gemy."

Hanya senyum lembut yang Leon dapat. Ia merenungi dirinya sendiri, ditemani botol air mineral berisi setengah. Mengenai cemoohan anonim, tak sepenuhnya benar. Leon membunuh ayahanda Alisa. Namun, ia menutupi masalahnya demi menjaga solidaritas sesama makhluk ciptaan Tuhan—manusia dengan hewan—juga dirinya sendiri.

Ah, Leon sempat melupakan sesuatu. Sengaja ia menggigit dua jari hingga berdarah, kemudian membelai dua bulu di antingnya, memberikan intruksi kepada kaum hewan berloreng untuk tidak menyakiti anggota kelas lingkungan hidup.

Cukup istirahat.... Rebahan dan tutup mata sejenak. Aslinya Leon tak mau, bisa saja cuplikan masa lalunya kembali tayang di otak. Kalau tak istirahat, Leon pasti terlampau bosan, tak tahu harus berbuat apa.

"Meong!"

Suara tersebut menarik perhatian Leon. Ia ingin bersua dengan pemilik bunyi tersebut. Celingak-celinguk ke segala arah, akhirnya Leon menemukan seekor anak harimau di atas pohon tempat ia bersandar.

Ia terkejut, lekas berdiri untuk memeriksa keadaan hewan imut di sana. Nampaknya dia takut turun. Anak macan itu sungguh lucu kala mengeong, bukan menggeram.

"Ayo, harimau kecil. Aku akan menangkapmu," kata Leon mengulurkan kedua tangan ke atas. "Aku gak bakal nyakitin kamu kok, tenang aja."

Hewan kecil itu pun turun secara tak sengaja tergelincir, menimbulkan bunyi meong yang cukup melengking. Untungnya Leon menangkap anak harimau dan mengelus lembut. Leon berkata, "Anak pintar."

"Leon, kau tidak apa-apa—" Ucapan Alisa berhenti mendadak, begitu pula langkahnya. Gadis pribumi ini panik, melihat seekor hewan buas di pelukan Leon. Ia langsung berlari dan bertekuk lutut di hadapan Leon. "Leon, itu hewan buas!"

"Hewan buas?" Tatapan Leon mengarah ke Alisa. Muka dia terlalu cemas, apa dia khawatir padanya? Leon hanya mampu merunduk mengelus punggung anak macan tadi. "Hewan ini takkan pernah menyakiti kita."

Sekejap Alisa menggumam tanya. Pandangannya tak luput dari hewan menggemaskan di dekapan Leon. Warna bulu dia tergolong unik, putih gading dengan loreng hitam legam yang begitu panjang—lebih panjang ketimbang jenis harimau lainnya. Ia bertanya, "Bagaimana cara kamu bisa berteman sama anak macan, Leon?"

Leon menatap anak harimau sendu yang kini diletakkan di pangkuan sila, didampingi senyum tipis. "Ibarat kau dan aku saja. Bila kau ingin dihargai, maka hargai aku juga. Begitu pula dengan kita dan hewan. Kita tak boleh menyakiti hewan-hewan kalau keberadaan kita tidak terancam oleh sifat agresif hewan," jawabnya tak berpaling dari anak harimau. "Kau mengerti maksudku, Alisa?"

Alisa terbius raut wajah Leon. Tatapan lembut itu, persis seperti sosok yang ia incar sejak dulu. Ia tak tahu harus merespons apa lagi selain tersenyum manis.

Apa Tuhan akan mengizinkan Alisa untuk mengenal Leon lebih dekat? Alisa ingin tahu banyak tentang Leon. Sedangkan perasaan Leon mengatakan bahwa aura hitam itu terlihat berkaitan dengan sekitar tubuh Alisa. []

famts_writer vee_corvield Beelzebell_

Tanggal dipublikasikan: 9 Mei 2020
Tanggal revisi: 17 Oktober 2020

SPOILER NEXT CHAPTER!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro