Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15 - Drown Become Unknown Person

Cerita Unknown Person diikutsertakan dalam challenge 100 days writting. Happy reading^^
famts_writer vee_corvield Beelzebell_

****

Mataku membulat sempurna. Merasakan napas yang memburu, juga kulit kedinginan dibasuh keringat dan tiupan kipas angin. Barusan mimpi apa? Banyak orang yang tergeletak mengenaskan dan ... tanganku bersimbah darah. Pasti Aki tahu alasannya. Aku menghela napas panjang sebelum beranjak bangun.

Menyibak gorden lalu membuka jendela adalah kegiatan favoritku. Di sini, aku bisa melihat bunga-bunga cantik baru disiram tetangga dengan sepenuh hati, bahkan udaranya begitu sejuk untuk dihirup ketimbang di kamar. Wanita paruh baya—tetangga yang kumaksud—pun melambai tangan dengan wajah semringah. Akupun membalas salamnya dengan cara sama seperti dia.

"Enaknya Leon dapat semangat pagi." Aku tersentak, berbalik mendapati kakek berambut putih tebal tengah mendekatiku dengan bantuan tongkat. Tangan keriputnya terulur mengusap kepalaku, juga mengelap peluh di pelipisku. Tatapan dia sayu, tapi tak meninggalkan senyum lembut seraya berkata, "Mimpi buruk lagi?"

Aku mengangguk satu kali, memandang Aki dengan kosong. "Apa Aki tau penyebab aku mimpi buruk?"

Aki menggumam serak. "Aki ... tak tau, tapi mungkin kau rindu dengan orangtuamu?"

Aku tahu gelagat Aki, seperti menyembunyikan banyak fakta tentangku yang tak kuketahui. Setiap aku mimpi buruk, Aki pasti akan mengaitkannya dengan mereka. Terus terang, aku memang rindu ibu dan ayahku. "Apa aku boleh temui mereka?"

"Aki tak mengizinkan Leon ketemu mereka!" Mendadak Aki menjawab dengan nada tinggi. Aku tak kaget. Banyak hal yang beliau larang padaku. Dia mendesah pelan sembari memijit keningnya, kemudian mengusap pundakku. "Aki tak bisa mengabulkan permintaanmu yang tadi, Leon. Maafkan Aki."

"Kenapa aku tak boleh menemui mereka, Aki?" tanyaku menunduk mengepalkan tangan. Kulirik Aki yang bertekuk lutut mendorongku ke pelukannya.

"Aku tak mau kehilangan Leon." Jawaban Aki yang terlalu klise. Aku kehilangan mereka, tapi Aki melarangku untuk menemui mereka. Andai beliau mengerti apa yang kurasakan....

Meskipun mereka—Aki dan Nini—hadir di kehidupanku, memberikan semuanya yang membuatku bahagia, hanya permintaan itulah yang takkan pernah mereka kabulkan. Dan aku tak tahu apakah aku akan tersenyum bila bertemu mereka.

Hari ini libur sekolah, biasanya aku melihat foto-foto ibu semasa muda di teras rumah, bersama Nini dan Bel—nama kucing oranye yang aku pungut. Sebenarnya, melihat foto-foto ibuku adalah suatu metode agar mempermudah mencari jawaban perihal mimpi burukku. Cuma foto ibu yang buat mereka datang ke mimpiku.

Aku terpukau melihat ibu yang begitu anggun saat berpose di kebun binatang bersama seorang pria berambut pirang. Nini bilang itu ayahku. Lembar persegi yang kupegang menit ini adalah foto ibu yang menggendong seekor anak harimau.

"Apa anak harimau tidak segalak ibunya, Nini?" tanyaku menunjukkan potretnya ke wanita tua yang duduk simpuh di sampingku.

"Kalau ibumu bisa mengendongnya, berarti anak harimau tidak jahat," jawabnya terkekeh-kekeh, meminum teh hitam hangat dengan perlahan.

"Apa jenis harimau yang ibu gendong?" Aku menemui Bel yang berjalan riang melintasi pandangan kami, memintanya untuk bergelayut manja di pangkuanku.

"Dari lorengnya...." Aku melihat Nini menyipit mendekatkan fotonya. "Nini merasa ini harimau Sumatera."

"Apa ibu marah bila ada binatang yang disakiti orang-orang?"

"Kenapa Leon bertanya begitu?"

Aku menatapnya lama-lama. "Mimpiku ... ada kaitannya dengan mereka dan juga harimau itu."

"Harimau?" Aku mengangguk mengiakan.

"Saat aku melihat ibu, ayah, dan populasi harimau tewas, tiba-tiba saja aku menjadi liar dan tanpa kusadari tanganku berlumuran darah. Warga yang memburu mereka pun tewas saat aku siuman." Nini terlihat mengangguk paham, selanjutnya dia mengelus pipiku dengan kedua belah tangan.

"Bisa saja itu artinya kau peduli, Leon." Ucapan Nini beda ketimbang Aki bila membicarakan pasal mimpiku. Entah kenapa aku merasa senang dengan dia. "Ibu minta kamu supaya tidak menyakiti siapapun. Mau itu manusia, hewan, atau tumbuhan."

"Tapi teman-temanku petik bunga punya tetangga, apa bunga tak merasakan sakit?" Aku bertanya kembali sambil mengelus punggung kucing yang hendak meloloskan diri.

"Pastinya, Cyndhakyuu." Nini terbatuk-batuk bahkan bersin setelah Bel hilang dalam pangkuan. Mungkin terangsang bulu yang melayang bersama oksigen. "Tapi, bila kamu izin terlebih dahulu pada tetangga atau bunga, Nini yakin mereka tak merasakan sakit. Jangan sekali-kali kamu lukai manusia ataupun hewan. Kau mengerti?"

Aku terperangah dengan tuturan Nini, bagaikan sihir yang mampu mengubah pola pikirku. Kalau Nini berkata benar, maka kuputuskan untuk mengikutinya. Aku mencoba tidak menyakiti siapapun yang Nini sebutkan saat itu.

Keesokan harinya, aku telah berdiri dengan seragam putih-merah bersama topinya sekali. Mengeratkan tali tas, menunggu Aki keluar menuntun sepeda ontel. Namun, ada yang aneh dengan rumah sebelah. Tidak ada orang di sana. Ada apa dengan penghuni rumah itu? Biasanya aku sering berangkat bersama anak tetangga.

Aku memikirkan yang aneh-aneh perihal keluarga pemilik bunga di sebelah kamarku hingga di perjalanan menuju sekolah. Teringin bertanya kepada Aki, tapi berakhir tak enak hati.

"Leon mikirin apa?" Aku terkejut. Rupaya dia tahu apa yang ada di benakku.

"Soal keluarga di sebelah rumah Aki," jawabku mencengkeram boncengan tanpa alas empuk. "Ke mana mereka?"

"Aki juga tak tau. Kita tak boleh mikir yang aneh-aneh, nanti kamu gak konsentrasi saat belajar." Aku terdiam sampai berhenti di lokasi tujuan. Sekolahku berada di pinggir jalan raya. Jika kalian tiba di perempatan jalan, kalian harus belok ke kanan untuk sampai di sekolahku.

Aku mendarat mengundang kepulan asap pasir yang kupijak, memandang Aki yang memarkirkan sepeda dekat warung kopi kemudian melirikku. "Leon mau jajan?"

Aku baru membuka mulut. Tiba-tiba terdengar jeritan temanku di lapangan—letaknya di tengah lingkaran lorong kelas. Orang-orang di sekitar sekolah menutupi jalan masuk menuju area pelajar. Aki berjalan tergopoh-gopoh mengentakkan tongkat kayu dan berusaha menyelip celah kerumunan, meninggalkanku yang penasaran dengan kejadian. Aku lebih memilih memanjat pagar tembok. Aku mendelik tak percaya. Seorang pria berpakaian kusut dengan liar merogoh saku anak dan tas istrinya.

"Jadi ini alasan temanmu berangkat awal terus ke sekolah." Aku menengok memajukan tubuhku, melihat Aki tengah menarik tongkat kayu, entah hendak berbuat apa.

"Dasar pembabat uang!" Jantungku berhenti berdetak setelah melihat pria itu memecuti temanku dengan sabuk pinggang hingga berdarah, sedang wanita yang gemar menyiram bunga itu nampak menjauhi dia dari anaknya.

Aku teringat dengan nasihat Nini. Namun, tindakan pria tersebut.... Mendadak layar gelap menghadang pandanganku.

Aku tak ingat apa-apa.
Aku tak melihat apa-apa.
Namun, pikiranku masih berjalan. Pria itu tak pantas disebut 'ayah'. Aki pernah bilang bahwa seseorang akan buta bila dibuai harta. Aku merasa ... dia begitu karena buta dibuai kesenangan duniawi.

Tak berselang lama, aku mampu membuka mata. Orang-orang memandang aneh padaku dengan latar belakang langit biru tanpa kapas, tidak dengan Aki yang menatap sayu. Aku tak mengerti arti tersirat dalam sorot mata orang lain. Selain itu, aku terbatuk kala mengendus bau besi. Tangan dan wajahku dingin di beberapa titik.

"Aku kenapa, Aki?" Ketika bangun, aku merasakan sakit di tangan dan punggungku. Napasku berhenti, melihat tanganku berbasuh cairan merah kental, juga seorang pria yang tergeletak mengaliri banyak darah di lapang. Tubuhku berdesir dingin, mengalirkan bulir bening di pipiku.

Aku menoleh pada Aki. Mencengkeram pakaiannya, menelungkupkan wajahku di sana. "Kenapa denganku, Aki?" Aku menjerit sepuas hati. Emosiku mereda dengan elusan khas Aki yang menimbulkan aroma melati.

"Dari dulu Aki tak mau memberitahumu tapi ... kau mengalami gangguan kepribadian ganda, Leon. Maafkan Aki."

Ternyata ucapan Nini benar, tapi efeknya tak pernah disebutkan oleh beliau. Mengapa Nini tak berkata kalau aku akan menjadi pembunuh bila melihat seseorang dilukai? Harusnya aku dipenjara atau dikurung karena aku masih di bawah umur, tapi bagaimana cara Aki bernegosiasi pada pihak kepolisian, akhirnya aku hanya dikeluarkan dari sekolah dan mengikuti ujian paket C tiap umurku cocok untuk kelas akhir, supaya aku melanjutkan pendidikan di SMA. Selama putus sekolah, Aki dan Nini berperan menjadi guru sekaligus orangtua. Mereka menuruti semua kebutuhanku dalam menuntut ilmu.

Dan di sinilah aku, berada di EPHS akibat mengikuti program pertukaran pelajar. Aku harus menemukan buku catatanku. Aku harus mencari cara untuk menyelesaikan masalahku. Jika Alisa tak tahu keberadaan buku catatanku....

Hanya satu orang yang bisa aku curigai. []

Ya ampun, kasihan banget Leon. Tapi, benci pun ada. Kita tebak-tebakan, siapa yang tahu orang yang Leon curigai?

Hadiahnya apa kalau benar?
Update dipercepat? :)

Kenapa Leon mulai mencurigai orang itu, ya? Dan siapa orang yang dimaksud? Nantikan di next chapter!

Sila follow instagram revina_174 untuk mengetahui beberapa spoiler tentang chapter selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro