The doctor's memory (end)
Aku melihatnya.
Jelas dengan mata kepalaku sendiri.
Orang yang kusayangi pergi satu persatu.
Menyisakan noda merah ditanganku.
Lagi.
Lagi.
Dan lagi.
Pikirku mulai tak karuan sejak hari itu.
Hari dimana aku bertemu dengan Emma.
Beberapa saat kemudian kehilangan dirinya.
Bukan, itu bukan akhir.
Itu masih permulaan.
Sebelum kematian Emma, aku jatuh hati dengan seorang pria bernama Izana.
Dia menyambutku dengan ramah di rumah Emma.
Bahkan aku tak menyangka mereka bersaudara.
Rasa itu terus tumbuh namun tak pernah tersampaikan, hingga aku menyesali semua.
Menyesali kenapa aku tak bisa menyatakan itu padanya.
Ataupun menyelamatkan hidupnya.
Berita kematiannya menyebar ke seluruh penjuru.
Seperti mimpi buruk yang mulai menyebar ke saluran darahku, mengalir ke nadi, dan tak pernah terhapus setelah itu.
Setelah kematiannya tiba,
saat itulah aku baru bergerak keluar dari lingkaran nyamanku.
Belajar ini itu, kembali berkeinginan menjadi dokter, ingin menyelamatkan orang lain agar tak bernasib sama dengannya ataupun Emma.
Tapi usahaku sia-sia. Tepat setelahnya, Hina, salah seorang temanku dulu, terlibat dalam kecelakaan lalu lintas.
Polisi bernama Naoto menjelaskan padaku bahwa pelaku kecelakaan itu adalah Kisaki Tetta. Satu petunjuk untukku.
Setelah mendengar berita itu, Hina dilarikan ke unit gawat darurat, dimana aku dikerahkan disana.
Namun lagi-lagi aku gagal menyelamatkan orang lain.
Bayangan mimpi buruk terus mengangguku.
Mengusik konsentrasiku pada tubuh pasien, membiarkanku melihat tubuh temanku mendingin di tanganku sendiri.
Terakhir yang kuketahui adalah Mikey yang mengikuti pilihan akhirnya.
Aku tak bisa menahan ataupun menyembuhkan tingkat depresi yang dideritanya.
Setelah menembak salah satu temannya, dia terjatuh dari atas gedung.
'Takemichi' kalau tak salah namanya.
Orang itu berusaha menahan tangan Mikey sebelum benar-benar terjatuh.
Namun kekuatannya memudar, seiring pasokan darah dalam dirinya terus berkurang.
Dua orang dalam satu kejadian.
Meninggal bersamaan di depanku.
Buku berisi foto dan biodata kalian kembali kubuka.
Tanganku gemetar mengangkat spidol berwarna merah.
Membuat garis melintang pada tiap foto dan nama kalian yang perlahan-lahan tercoret satu persatu.
Tanganku mati rasa saat hendak mencoret nama Takemichi.
Bahkan genangan tinta merah menyebar diatas kertas, tempat ujung spidol itu berdiri ditempat.
Aku tak kuat lagi menghadapi hidup ini lagi.
Aku ingin bisa merubah semua ini.
Mulai dari yang paling awal kembali.
Walau aku tau masalalu tak bisa diputar kembali.
Kenapa aku masih terus berharap begini?
Suatu hari, aku mendapat perintah untuk mengoperasi seorang pasien.
Kala itu aku tak punya rasa lagi dalam membedah kulit manusia.
Melihat darah saja sudah tak ada rasa.
Apalagi rasa empatiku untuk menyelamatkan orang lain.
Semua menghilang bersama sosok kalian yang menghilang dari pandanganku.
Tepat hari itu..
Aku membunuh pasienku sendiri.
Keluarga korban melaporkanku pada polisi. Menuduhku sebagai pelaku pembunuhan.
Aku yang sudah lelah dengan kehidupan tak mampu berkata apapun.
Kalaupun aku mengikuti jalan kalian, apa itu benar jawabannya?
Kalau ikut menghilang, apa rasa sakit ini akan ikut menghilang?
Sebelum masuk ke meja hijau, polisi bernama Naoto menginterogasi dan menekanku berbagai cara agar mulutku terbuka.
Berhasil sekali tekniknya, bahkan mulutku tak kunjung menutup, seraya tanganku menarik helai surai, mencengkram kepala kuat-kuat, meluapkan segala yang sedari dulu menghantui pikiran.
Amarahku.
Tangisku.
Depresiku.
Rasa sesalku.
Meledak semua.
Naoto bahkan bersimpati padaku walau wajahnya masih tegas seperti biasa.
Suatu hari dia ingin menunjukkan padaku sesuatu yang membuatku terbelalak tak percaya.
Aku melihat tubuh Takemichi bergerak di ruangnya. Dia tampak begitu hidup, tidak, dia benar-benar hidup!
Naoto menjelaskan padaku kalau Takemichi memiliki kemampuan pergi ke masalalu dan masa depan dengan jabatan tangan.
Aneh memang, tapi aku percaya saja akan itu.
Naoto menawarkanku bantuan Takemichi.
Tapi kurasa, aku tak ingin membebani orang lain yang dimana bebannya sudah bukan kategori ringan lagi.
'Biarkan aku mengambil sampel darahnya. Aku ingin mengamati struktur DNA nya.'
Ucapku mengejutkan Takemichi yang bergerak mundur saat aku menampakkan satu jarum suntik padanya.
'Tenang saja Takemichi-kun, tidak sakit kok~'
Bujukku padanya.
Ya, walau pada akhirnya dia hanya pasrah dengan hal itu.
Setelah mendapat sampel DNA Takemichi yang terdapat dalam darahnya. Tibalah waktuku untuk memasuki sidang meja hijau yang akan memutuskan apakah aku bersalah atau tidak.
Entah kenapa Naoto membantuku untuk memenangkan sidang.
Dia mengirim pengacara terpercaya untukku.
Hakim agung menyatakan aku tak bersalah karena tindakan tidak disengaja.
Walau begitu aku tetap dijatuhi hukuman penjara selama beberapa bulan.
Kala aku menjadi seorang tahanan.
Aku meminta satu hal pada Naoto, agar dia memberikan sampel DNA itu pada seorang teman kenalan kuliahku.
Orang itu memiliki pengetahuan tinggi dalam teknologi, karyanya tergolong aneh tapi selalu berhasil.
Aku meminta Naoto untuk menyuruh orang itu membuat alat komunikasi antar masa dengan sampel DNA itu.
Naoto menerima permintaanku, dia segera memberikan sampel itu pada temanku.
Setelah masa tahananku usai.
Aku langsung melaju menuju tempat temanku bekerja.
Dia dengan bangganya memperkenalkan penemuan teknologi antar masanya yang berbentuk ponsel.
Bahkan ponsel itu bisa diatur kemana masa yang ingin kulompati.
Dengan penuh keyakinan, aku memasukkan tanggal, bulan, juga tahun saat itu. Lantas nomer ponselku sendiri kutelfon.
Harapanku terus meningkat saat mendengar nada sambung di panggilan itu. Agak lama aku menunggu sampai suara terangkat terdengar.
"Halo, ini siap–"
"Gadis itu akan meninggal kalau kau tak merubah dirimu mulai sekarang!"
Tentu ucapanku mengejutkannya, bahkan temanku sendiri.
Mulai hari itu aku berusaha sebaik mungkin menjelaskan kondisiku saat ini tanpa membuatmu takut.
Aku ingin kau dari masalalu bekerjasama denganku dari masadepan.
Jawabanmu yang berarti menerimaku membuatku bernafas lega, walau hanya sebentar, tapi itu masih bukan hasil akhirnya. Aku tak boleh senang dulu.
Dengan jadwal ketat, aku melatihmu banyak hal.
Entah untuk otak maupun otot, aku siap sedia menjadi tentormu.
Bahkan hari itu aku masih sempat belajar psikologi, trauma setelah menyaksikan kematian Mikey. Aku seketika ingin mengetahui cara mengobati depresi.
Walau temanku sedikit bercanda agak 'gelap', kalau yang sebenarnya butuh disembuhkan depresinya itu aku.
Kembali ke penemuanku, memang benar kata temanku, aku bisa melompati waktu seenaknya.
Tapi tidak baik untukku, menghabiskan waktu berhari-hari tanpa istirahat hanya untuk berbicara dalam panggilan telfon.
Dia mulai mengkhawatirkanku, bahkan selalu menarikku untuk melihat hal lain sejenak untuk melepas lelah.
Entah memperlihatkan penemuannya atau apapun itu. Aku hanya mengangguk atau meninggalkannya begitu saja.
Pada akhirnya aku kembali ke kursi ruanganku yang dipinjamkannya.
Kembali mengobrol dan mengajarkan diriku di masa lalu berbagai banyak hal.
Temanku sampai menyerah denganku.
Dia membiarkanku, tapi dia tetap memerdulikanku.
Suatu ketika tiba-tiba saja aku ingin meminjam laptopnya untuk meretas cctv di masa itu dengan program yang tertanam di ponsel ciptaannya.
Sukses aku meretasnya, aku bisa melihat kejadian itu lebih leluasa dari sebelumnya.
Tak hanya itu yang berhasil.
Aku mencoba bereksperimen dengan diriku sendiri.
Menyetrum kepalaku dengan memasukkan memori masalaluku pada satu saraf yang mirip dengan rangkaian DNA Takemichi.
Temanku mulai berpikir bahwa apa yang kulakukan sudah hampir melintasi batas kewarasan.
Tapi aku tak mengindahkannya, aku percaya 100% kemungkinan dalam ketidakmungkinan.
Namun penyampaian memori itu terjadi benar, bahkan diriku di masalalu merasakannya begitu jelas dan nyata.
Temanku tak percaya otakku bisa jenius juga, walau berimbang tipis dengan kegilaan.
Setelah menerapkan eksperimen itu. Mungkin agak kelewatan, diriku dari masalalu merasakan rasa takut berlebihan.
Aku tak menggunakannya setelah itu, namun gadis itu tetap berkata kalau dirinya tetap mengalami mimpi buruk setiap malamnya.
'Apa itu hukuman dewa?'
Aku menoleh pada temanku yang berdiri disebelahku.
'Apa maksudmu?'
Temanku perlahan menjelaskannya.
'Aku tak tau ini mitos atau bukan. Tapi ada yang bilang, kalau seorang manusia melewati batas yang seharusnya, orang itu akan mendapat hukuman karena perbuatan itu.'
'Manusia itu makhluk biasa. Mereka yang berusaha melampaui yang diatas, bisa saja hukuman permanen, agar mereka dapat menyesali perbuatannya dan mendapatkan pelajaran.'
Dahi kuusap.
Bisa jadi jawabannya benar.
Kelakuanku sudah melewati kuasa manusia.
Berbeda dengan Takemichi, yang mendapat hadiah dari dewa.
Rasa menyesal kembali muncul dalam diriku, tapi keinginanku untuk merubah masalalu tak bisa ditinggal layu.
Aku akan menyelamatkannya, apapun konsekuensi yang akan kutanggung.
Kembali pada diriku di masalalu.
Rasa sukanya pada Izana sudah tumbuh, bisa jadi berkembang di musim mekarnya.
Aku yang hanya bisa melihat mereka menghabiskan waktu bersama, hanya bisa tersenyum pahit.
Air mata hangat mengalir dari katup mata yang sudah menghitam hampir membengkak.
Walau bukan aku yang sekarang ada disana. Aku bisa merasakan dirinya di dekatku.
Ah, kenangan masalalu.
Tak ada yang bisa lepas dari itu.
Diriku di masalalu berkembang begitu cepat, semakin dia menemukan apa arti orang yang berharga dalam hidupnya.
Dia berkembang, mengenal banyak hal yang kini bisa digapainya.
Sementara aku saat ini, yang sudah melewati masa terpuruk–melihat dirinya yang kini melayang lebih dari yang kubayang–aku tak bisa berkata apapun, selain sepucuk kata terimakasihku untuknya.
Bahkan aku tak menyangka dirinya memberi harapan untuk bahagia pada dirinya yang tak berbeda dengan sampah.
Tapi aku percaya...
100%
Bahwa harapan akan menuntunku menuju suatu yang kuimpikan sejak dulu.
Perpisahan antar dimensi masa, berlangsung begitu saja.
Dirimu di masalalu yang menggenggam harapan.
Diriku di masa depan yang membuat harapan.
Kita tertaut dalam dimensi berbeda, namun berjalan bersama dalam satu masa.
Baik dirimu...
Ataupun diriku...
Aku selalu mengharapkan hal baik akan terjadi.
Menuju masa depan cerah yang sedikit lagi diraih genggaman tangan.
Seusai mengakhiri panggilan dengannya.
Aku mengistirahatkan kepalaku diatas meja.
Terlelap dalam mimpi indah yang terasa begitu nyata.
Senyuman..
Kehangatan..
Kebahagiaan..
Memori diriku di masalalu berjalan masuk ke sel-sel kepalaku.
Bagai mengusap lembut sosok malang yang berjuang keras mendapat kebahagiaan.
Kala itu, aku melihatmu.
Sosok yang kunanti sejak dulu.
Berjalan di jalan setapak, dalam hamparan putih yang menyilaukan mata.
Senyummu terangkat.
Salah satu tanganmu meraihku.
Menarikku mendekat padamu.
Menenggelamkan wajahku dalam dekapmu.
Bibirmu mengatakan suatu hal, hal yang mana telingaku tak bisa dengan jelas mendengarnya.
Mataku lebih dulu tertutup, menikmati rasa hangat yang terpancar darimu.
Nafas sesakku serasa kau bebaskan.
Pula segala hawa negatif dalam diriku, terbang meninggalkan tubuh.
Dalam hati aku berbisik...
Aku ingin berada di dekatmu lagi.
Kali ini, aku ingin selalu berada dalam dekapanmu.
Mendengar detak jantung yang menyatakan kau masih disana.
Merasakan hangatnya dirimu yang terbagikan padaku.
Aku ingin bertemu denganmu sekali lagi, Iza...
××××××
"Urngh.."
Mataku terbuka pelan.
Tangan mengusap dua katup mata yang baru saja terbangun setelah terkapar diatas meja.
Padangan kuedarkan.
Namun suasana tak sama seperti sebelumnya.
Bukan..
Ini bukan ruang tempatku mengerjakan eksperimen tadi.
Ruang berwarna putih.
Jas yang selaras dengan warna ruang itu.
Stetoskop terkantung di saku jas.
Tanganku terbungkus dalam sarung tangan steril.
Aku tau jelas seragam dan penampilan ini.
Seragam dokterku!
Ponsel yang kuletakkan diatas meja kuraih begitu saja.
Tak kusangka banyak notifikasi masuk ke dalam sosial medianya.
Salah satunya dari Emma.
Foto profilnya yang tersenyum mengenakan baju santai.
Berfoto di suatu daerah yang pasti bukan di Jepang.
"(Y/n), selamat untuk operasinya!"
"Aku sampai terharu mendengar operasi Hina berhasil."
"Aku sedang perjalanan menuju Tokyo. Tunggu aku ya!"
"Aku membawa kejutan untukmu~"
Apa katanya?
Operasi Hina... berhasil?
Layar ponsel kugeser, membuka kalender tanggal hari ini.
Benar saja, hari ini adalah hari dimana operasi Hina berlangsung.
Tapi angka jam mengatakan sudah terlalu larut untuk melakukan operasi, aku tau jelas jam segini sudah terlewat 15 menit setelah operasi.
"Aku harus mencarinya, aku harus memastikannya."
Ponsel kutinggalkan begitu saja diatas meja. Meja tempatku bekerja dulu, dimana aku biasa tertidur diatasnya seusai melakukan pekerjaan berat.
Daun pintu kubuka, hampir saja aku menabrak seorang perawat yang berjalan di depannya.
"Sensei! Omodeto! Aku turut senang mendengar operasi hari ini berjalan lancar."
"Y-ya, terimakasih."
Aku hanya mengangguk ragu, kemudian kembali berlari.
Sepanjang jalan, tak sedikit orang yang memujiku, bahkan sesama dokter sekalipun.
Apa aku melakukan hal yang hebat?
Kakiku berhenti tepat di depan meja resepsionis berada.
"Ah, sensei, otsukaresama~ operasi yang sensei lakukan tadi menginspirasi banyak orang disini."
"Sebentar saja sensei langsung naik daun."
"Saya berterimakasih pada kerja keras sensei yang menyelamatkan banyak nyawa sampai hari ini."
Aku menatap tak percaya saat petugas resepsionis mengatakannya.
Aku benar-benar tak memiliki petunjuk akan apa yang sebenarnya sudah kulakukan.
Tanganku menggebrak meja resepsionis.
"Hina! Dimana kamar Hina Tachibana sekarang?"
Petugas resespsionis terkejut dengan gerakan spontanku. Namun dia hanya tertawa kecil meresponsku.
"Apa kau terlalu lelah, sensei? Sampai melupakan nomer kamar pasien yang baru beberapa menit tadi kau urus?"
Lensaku menatap petugas itu serius.
Seketika dia mengurungkan sesi bercandanya.
"Baiklah, Hina Tachibana ada di kamar 102–Sensei!!"
Aku tak mengindahkannya yang memanggilku.
Kakiku terus melaju menuju dimana lokasi kamar itu berada.
Tanpa menggunakan lift, aku rela meggunakan tangga untuk sampai lebih cepat.
Deru nafasku semakin memburu, semakin aku mendekat ke kamarnya berada.
102...
102...
Aku ingat jelas nomer itu ada lorong sekitar sini.
Lensaku berhenti pada kamar bertulis nomer yang kucari.
Kakiku terhenti, berdiri di depan pintunya.
Tanganku gemetar memegang kenop pintu, membukanya perlahan, membuat tiga orang di ruang itu mengakhiri perbincangan mereka dan menatap kearahku.
"(Y/n)-chan, konbawa~"
Suaranya terdengar begitu nyata.
Bahkan senyumnya tak pernah berubah.
"Terimakasih sudah berjuang keras untukku. (Y/n)-chan tidak pernah lelah menolong orang lain, ya?"
Bibirku gemetar, lensaku ikut serta.
Tak percaya dengan apa yang tampak dihadapan mata.
Kakiku melaju cepat kearah Hina.
Merangkulnya seerat mungkin.
"Syukurlah.."
"Syukurlah kau selamat, Hina-chan.."
Suaraku terdengar serak.
Air mataku tak sanggup lagi tertahan.
Hina terdiam, sama seperti dua orang lainnya. Naoto dan Takemichi yang berdiri di dekat kasurnya.
Usapan lembut jatuh di punggungku.
"(Y/n)-chan, kenapa kau menangis? Aku baik-baik saja berkatmu."
"Justru itu alasannya!"
Ucapku keras.
"Aku berhasil menyelamatkanmu. Aku berhasil menghadangmu dari kematian."
"A-aku... aku... aku berhasil..."
Hina mengerutkan alisnya padaku.
Dia tak tau apa yang sebenarnya terjadi padaku, dia tak tau aku melihat skenario terburuknya lebih dulu dan sekarang melihat semua berubah drastis.
Rasanya mataku berusaha membohongiku, tapi terlalu nyata untuk dianggap sebagai suatu kebohongan.
Hina mendorongku mundur perlahan.
Dia mengusap kepalaku lembut.
"Yosh yosh, (Y/n)-chan sudah berhasil, jadi tidak perlu menangis lagi. Lihat? Aku sudah baik-baik saja."
Hina tak berubah.
Dia tetap seperti dulu.
Sepasang mataku menatap kearah Naoto dan Takemichi.
"Otsukaresama, (Y/n)-san. Uhm, terimakasih juga sudah menolong Hina-chan."
Takemichi mengusap tengkuk lehernya.
Sementara kepalaku menggelang padanya.
"Itu sudah tugasku untuk memastikan kalian selamat dan baik-baik saja."
Lantas lensaku menatap kearah Naoto yang menyilangkan dua tangannya.
"Kau berhasil merubahnya, ya? Omodeto."
Aku mengangguk padanya.
Dia yang mengatakan padaku kalau masa depan sudah benar-benar berubah.
"Terimakasih.."
Ucapku lirih padanya.
Tanganku menyeka airmata di kantung lensa. Senyum simpulku perlahan tampak.
Saat aku sedang asik-asiknya berbicara dengan Naoto, Hina seperti memberi kode pada seseorang di belakangku.
Reflekku yang sudah lama tak diasah, membiarkan orang itu melancarkan rencananya.
"DUAARRR!!"
"WAAAHH!!"
Tubuhku sontak melompat, degubku seketika tak karuan karena ulah seseorang yang tiba-tiba menepuk pundakku.
"Ahahaha! Kejutanku berhasil ternyata!"
Suara lembut melengking.
Aku kenal siapa yang memiliki suara itu.
Tepat saat tubuh kubalikkan kearahnya, dia tersenyum.
"E-emma?!"
Emma memiringkan kepalanya, mengiyakanku.
Lantas dia berjalan kearah Hina, berdiri di tepi kasur paling dekat dengan jendela–berhadapan denganku.
"Hina, bagaimana kondisimu?"
Hina mengangguk.
"Kalau bukan karena (y/n)-chan, aku tidak mungkin ada disini sekarang."
Pipiku memanas.
"H-hina-chan, kau terlalu melebih-lebihkannya."
Hina terkekeh, diikuti Emma.
Lensa milik Emma melihat sekujur tubuh Hina. Semua lukanya berhasil ditangani dengan baik, bahkan sekarang Hina hanya seperti orang yang sudah siap untuk keluar rumah sakit.
"Aku selalu percaya, (y/n) bisa merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin."
Emma kini melihat kearahku yang masih mendengarkannya.
"Bahkan kau bisa menyelamatkan nyawa ku ataupun Izana dulu."
"(Y/n) lah seseorang yang selalu bisa mengejutkan orang lain."
Matanya tertutup sebentar, sebelum terbuka lagi.
"Maka dari itu, hari ini, aku juga akan membalas kejutanmu dengan kejutan yang sudah kusiapkan."
Aku tersenyum miring.
"Kejutanmu yang tadi kan, maksudnya?"
Emma tersenyum padaku.
"Yang... tadi kan kejutannya..?"
Dia tak berkutik, tetap tersenyum misterius.
Hingga tiba-tiba pandanganku menggelap.
Tangan seseorang menutupi dua netraku.
"Tebak siapa?"
Suara tenang dan lirih itu..
Aku kenal jelas siapa pemiliknya.
Jelaasss sekali...
Dua tanganku melepas tangannya yang menutup pandanganku.
Lantas tubuhku berbalik kearahnya yang kini berdiri tegap di belakangku dengan senyum khasnya.
Lensaku melebar.
Tubuhku terpaku.
Bahkan telapak tangan menutup mulutku, tak menyangka.
Entah sudah berapa lama aku tak bertemu dengannya.
Perawakannya sudah banyak berubah, namun sifatnya tetap sama.
Aku melihatnya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Memastikan apa yang kulihat ini nyata di depan mata, bukan mimpi belaka.
Dirinya menatapku lembut.
Bibirnya terbuka, mengucap nama yang juga sudah lama tak dipanggilnya.
Seraya dua tangannya bergerak terbuka.
"(Y/n)."
Sepasang lensaku langsung merasakan sengatan panas.
Air mata tak bisa lagi menahan jalurnya untuk mengalir ke pipi.
Tubuhku melompat kearahnya.
Dua lenganku memeluk lehernya.
"Iza! hiks... Iza!"
Aku benar-benar tak bisa percaya.
Dirinya yang dulu meninggalkanku.
Dengan tubuh terkapar diatas kubangan darahnya sendiri.
Tanpa sedikit pun bergerak ataupun bernafas.
Kini berdiri di depanku, dalam dekapanku.
Bernafas dan bergerak, memancarkan suhu hangat layaknya manusia yang hidup di dunia.
Dua tangan Iza merangkulku kembali.
Mengundang tangisku untuk pecah begitu saja.
"Serindu itu kau denganku?"
Aku mengangguk pelan.
Masih tak ingin melepas pelukan.
Tawa kecil Iza terdengar.
"Kalau begitu, aku harus lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu, mulai hari ini."
Aku tak mengerti apa maksudnya.
Perlahan dia melepas pelukan.
Tangan kananku digenggam olehnya.
Lensa keunguannya melihat tanganku yang berbalut sarung tangan steril.
"Kau masih mengenakannya walau operasimu berhasil sekalipun?"
Wajahku menatap kesamping, membuang raut malu.
"Aku selalu mengenakannya agar alat bedahku tak terkontaminasi."
Iza tersenyum padaku.
"Seorang dokter harus menjaga kesterilannya ya, untuk melakukan pekerjaannya."
"Tapi kuharap yang satu ini tak akan mengganggu pekerjaanmu."
Tangannya menarik ujung sarung tanganku. Menampakkan jari rampingku yang bersih dan tampak lembut walau seharian mengenakan sarung tangan.
"(Y/n), apa kau ingat janjiku dulu?"
Aku berusaha mengingat apa yang dimaksudnya.
Terlalu banyak hal yang kupikirkan, bahkan tak ada satupun petunjuk yang mengarah padanya.
"Tidak, ya?"
Kepalaku menggeleng ragu menjawabnya, agak malu sebenarnya karena melupakan sesuatu yang mungkin begitu penting untuk kami berdua.
"Tak perlu khawatir. Karena aku tak akan pernah melupakannya dan akan terus mengingatkanmu kalaupun kau melupakannya."
"(Y/n)... dulu aku pernah bilang."
"Setelah pulang dari Filipina dan menjumpai ayah kandungku, kita akan membangun keluarga bersama."
Seketika memoriku berputar ke masalalu. Hari di pasar malam musim panas itu. Kami berdiri di dekat kuil sambil menunggu pertunjukan kembang api tiba.
Kala itu aku dengannya berbincang banyak hal.
Asal muasalku, asal muasalnya.
Hingga suatu janji teruntai pada masa depan.
Ya, aku mengingatnya jelas.
Iza yang melihatku tak berkutik, mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
Sebuah cinderamata yang kini dia kenakan di jari manisku.
Cincin perak dengan kristal putih diatasnya, mengkilap disapu cahaya lampu ruang ruang inap Hina.
"Sudah kuduga, itu akan terlihat begitu indah di tanganmu."
Perlahan dia melepas genggamannya.
Membiarkanku melihat cincin itu dekat-dekat.
Aku kembali melihat kearahnya yang kini tersenyum lega.
"Aku mencintaimu, (y/n)."
"Maukah kau menjadi istriku?"
Bagai suatu kata yang selalu diimpikan terwujud jadi nyata.
Jantung berhenti dan meloncat seketika.
Rasa haru juga senang melebur jadi satu, mengundang dua lensaku untuk mengkilap kembali dibasahi cairan bening tanda bahagia.
"Uhn!"
Anggukan berlinang air mata tak lagi bisa terhindar.
Bahkan rasanya aku tak bisa menghentikan air mataku kali ini.
Iza bergerak mendekat, wajahnya di dekatkan padaku. Tak lama kecupan lembut jatuh di keningku.
"Terimakasih, sudah menerimaku dan menyelamatkanku hari itu."
"Aku bersyukur bisa bertemu dan memilikimu hari ini."
Ucapan lirihnya mengundangku untuk menatap kearahnya.
Dengan bibir yang bergetar dan senyuman yang kupertahankan, suatu balasan terucap untuknya.
"Aku juga bersyukur bisa bertemu denganmu, Iza~"
Kami saling menatap satu sama lain.
Hingga satu ruangan terdengar riuh karena tepukan tangan.
Tidak, bukan hanya Emma, Naoto, Takemichi ataupun Hina.
Tapi beberapa orang yang berada di luar ruangan yang kini berdiri di dekat pintu, ikut memberi selamat padaku.
"Aku sudah mengiranya kalian akan bersama nantinya."
Sosok pria yang merupakan satu keluarga dengan Emma, sudah berapa tahun aku tak bertemu dengannya.
"M-mikey-kun?"
Aku tak menyangka perawakannya sudah berubah. Bahkan tatanan rambut tampak begitu berbeda saat ini.
"Kudoakan yang terbaik saja untuk kalian."
Seorang dibelakangnya ikut memberi selamat.
"Draken-kun?"
Tidak, tak hanya mereka berdua.
Bahkan aku melihat Kakucho yang berdiri di baliknya, tak bisa masuk karena tubuh Draken yang menghalang.
"Oi, minggir tiang! Aku gak bisa masuk."
Draken menatap kearahnya tajam.
"Siapa kau bilang tiang, ha?!"
Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibir.
"Shh! Jangan ramai, ini rumah sakit."
Ucapku mengecilkan suara sebisa mungkin. Membuat mereka mengerti dengan tempat dimana mereka berdiri saat ini.
Emma hanya melihat dua orang itu dengan senyum miring, dia menarik Draken agar tak menghalangi jalan ataupun menjadi gara-gara dengan Kakucho.
"Sudah sudah, setidaknya rencananya sudah berjalan lancar, kan?"
Emma melirik kearahku yang kini tersipu malu di depan Iza.
Dengan senyuman, dia mempertanyakan sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan olehku.
"Jadi? Kapan nikahya?"
Aku terdiam, melirik kearah Iza perlahan.
Iza menyadariku, kembali melihatku.
"Bagaimana kalau kita bicarakan setelah kau selesai bekerja?"
Kepalaku mengangguk.
"Akan segera kuselesaikan semuanya secepat mungkin."
Iza hanya tersenyum padaku.
Baru juga sebentar aku menjenguk Hina, salah seorang perawat mendatangiku.
Mengatakan padaku bahwa pasien baru sedang berada di ruang gawat darurat saat ini, dia memintaku untuk datang menanganinya.
"Ah, maaf, aku pergi dulu!"
Tanpa menoleh ke belakang, aku mempercepat langkah menuju ruang gawat darurat. Meninggalkan Iza yang menatap kepergianku.
"(Y/n)-chan selalu sibuk, ya?"
Ucap Hina yang masih terduduk diatas kasur.
"Dia pernah bilang ingin melindungi dan menyelamatkan orang lain dulu. Dan lihat sekarang, dia menjalani hidup yang dia inginkan."
Lensa Hina menatap kearah pintu dimana aku pergi tadi.
"(Y/n) sudah menjadi dokter yang hebat. Bahkan dia mampu menjungkirbalikkan perkiraan banyak orang kalau operasimu kemungkinan besar gagal menjadi berhasil dengan tangannya sendiri."
Tambah Emma.
"Kudengar katanya dia sampai bilang 'aku percaya, 100%, operasinya akan berhasil', terdengar (y/n) sekali!"
Tawa geli muncul dari dua bibir, Emma dan Hina.
Dia menatap kearah Iza yang kini matanya terpejam sebentar, tak lama terbuka.
"Dia ingin menyelamatkan dan melindungi semua orang yang bisa ditolongnya, tapi dia selalu berakhir melupakan dirinya sendiri."
Iza menatap kearah sarung tanganku yang lupa dikembalikannya.
"Dan saat dia melupakan dirinya. Aku yang akan mengingatkannya."
××××××
"Akhirnyaaa.."
Hela nafas cukup panjang keluar dari mulutku.
"Sensei, kau sudah mengerahkan semua tenagamu hari ini. Bagaimana kalau beristirahat di rumah dulu?"
Ucap seorang wanita yang menjadi asistenku tadi.
"Hmm, mungkin setelah merapikan ruanganku, membersihkan alat bedah dan memeriksa jadwal besok? Oh, mungkin ada hal lain yang bisa kukerjakan jug–"
"Se-n-se-i."
Aku melihat kearahnya yang tiba-tiba memotong kalimatku.
Lantas hela nafas keluar dari mulutnya.
"Sensei, kau tau kan tugasnya asisten untuk apa?"
Lensaku berkedip-kedip, kepala mengangguk sedikit.
"Serahkan semua itu padaku. Untuk jadwal besok bisa kukirim lewat chat, kau tak perlu khawatir."
"Dan juga, sensei apa tidak ingat ada hal penting yang harus sensei lakukan setelah ini?"
Aku berusaha mengingat apa hal yang akan kulakukan setelah bekerja.
Yang teringat hanya rutinitasku sebagai dokter pada umumnya.
Asistenku mengusap dahinya, melihatku yang mudah sekali melupakan sesuatu diluar pekerjaan.
"Pokoknya, sensei sekarang ganti pakaian dan segera berjalan keluar rumah sakit. Aku yakin seseorang sudah menunggu disana."
Dia mendorongku menuju ruanganku, memaksaku untuk menyudahi pekerjaan hari ini.
Sesampainya di ruanganku, jas dokter kulepas, jas panjang abu-abu kukenakan.
Sambil berpikir apa yang sebenarnya kulupakan.
Pikirku terdiam saat melihat sarung tangan sterilku yang tadinya terhitung genap, sekarang terhitung ganjil.
Tunggu, dimana aku kehilangan salah satu pasangnya?
Beberapa detik aku terdiam, lensaku tak sengaja melihat kearah cincin di jari manis kala aku melepas sarung tanganku. Detik itulah aku baru mengingat apa yang sebenarnya kulupakan.
"UWAHH!! Aku harus cepat menemuinya!"
Tas pinggang yang sama seperti dulu kukenakan menyilang tubuhku.
Kakiku menancap kecepatannya, berlari menuju pintu utama. Tentu dengan melewati banyak orang yang mengucap kata 'otsukaresama'.
Setelah mencapai pintu utama, pandangan kuedarkan, mencari dirinya yang kemungkinan besar ada disana.
Tap!
Satu tepukan di pundak mengejutkanku.
Itu dirinya.
"Iza, maaf! Aku hampir kelupaan tadi."
Kepala kutundukkan berkali-kali.
Memintamaaf padanya karena memoriku yang terhitung payah.
Iza hanya tersenyum, seperti sudah terbiasa dengan hal itu.
"Tak apa, bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar?"
Dia mengalihkan topik, menarikku menjauh dari jebakan rasa bersalah.
Mengangguk, aku mengikuti kemana langkahnya pergi.
Jalanan kota malam hari tetap saja tak pernah terdengar sepi.
Justru semakin ramai semakin bulan mencapai titik tertingginya.
Aku dan Iza berjalan bersampingan.
Hingga mencapai salah satu jembatan yang mengarah ke sungai, berhias pohon bunga sakura mekar di sepanjang pinggir sungai itu.
"Otsukaresama. Kau sudah melakukan yang terbaik hari ini."
Ucapnya dengan lensa terpaku pada pemandangan jembatan itu.
"Terimakasih.."
Ucapku lembut, ikut melihat kemana lensanya menatap.
Sang bulan kini berada diatas kepala. Mirip hari itu, dimana kami sempat bergulat hanya untuk menyatakan rasa terpendam.
Aku masih ingat jelas bagaimana dia menjebak dua tangan dan kakiku, dibalas aku yang membenturkan kepalaku ke dagunya.
"Kau mengingatnya?"
Tanyanya, menebak apakah hal yang dia pikirkan sama denganku.
"Hm~ aku ingat kau tertidur begitu saja di pangkuanku. Padahal kupikir suaraku tak seindah suara sensei di masa depan."
Iza melirik kearahku.
"Sekarang kau menjadi 'dirinya' kan? Suaramu pasti terdengar lebih indah saat ini."
Pipiku bersemu, tersipu malu karenanya.
"Kau ini bisa saja."
Lirikku menatap sungai bertabur kelopak bunga merah muda.
Sejenak aku menenangkan pikiran sebelum mendiskusikan hal yang begitu penting untukku dan dirinya, lebih memilih mencari topik lainnya.
"Bagaimana Filipina? Kau menyukainya?"
"Ya... tidak buruk. Penduduknya ramah, bahkan yang sudah tua renta masih bertalenta. Suaranya merdu, setiap mereka bernyanyi, aku tak bisa tak mengingat suaramu di hari itu."
Aku tertawa kecil.
"Tidak hanya orang-orangnya. Pantai disana juga indah. Biru dan bening, anginnya sepoi, cocok untuk melepas penat."
"Aku juga sempat mencoba menyelam di salah satu lautnya. Biota laut disana punya banyak keunikan, bahkan ada yang belum pernah kulihat sebelumnya."
Iza tampak begitu menikmati pembicaraannya tentang Filipina, membuatku bertopang dagu di pinggir pembatas jembatan, mendengarnya bercerita banyak hal.
"Ah ya, aku juga bertemu dengan ayahku."
Rasa tenangku pecah mendengarnya.
Senyumku pudar seketika.
Rautnya berkata bahwa apa yang dia rasakan kini tak bisa dijelaskan.
Senang, kesal, rindu ataupun sedih.
"Bagaimana... kondisinya? Apa dia baik-baik saja?"
Ucapku perlahan, berhati-hati dengan ucapanku.
Iza menutup matanya.
"Dia sudah bersama wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki keluarganya sendiri."
"Hari itu aku bertemu dengannya di suatu bar saat ingin minum. Aku menyadari dirinya yang tak jauh berbeda denganku."
"Namun dia tak mengingat ataupun mengetahui siapa diriku. Rasanya aku ingin menghajarnya hari itu juga."
"Tidak sampai aku mengingat kata-katamu."
Lensanya terbuka pelan.
"Kekerasan bukan jawaban segalanya, itu yang kau katakan padaku dulu. Kalimat yang meredam emosiku saat itu."
"Aku hanya memberikan harapanku agar keluarganya baik-baik saja dan menyebut namanya saat kami hendak berpisah."
"Itu saja sudah cukup untukku."
Bulan diatas awan menjadi tempat kemana lensa kami mengarah.
Angin sepoi malam hari menambah suasana.
"Aku tak terlalu memikirkan keluargaku yang dulu."
Iza menatap kearahku dengan tatap lembutnya.
"Karena ada keluarga yang jauh lebih penting saat ini."
Senyum khasnya ditampakkan padaku.
Senyum yang selalu sukses membuatku jatuh hati padanya berkali-kali.
"Jadi bagaimana? Apa kau punya rencana kapan acara kita dimulai?"
Kepalaku menunduk pelan.
"Aku sudah pernah membicarakan ini dengan papa dan mama sebelumnya. Kalau seandainya Iza benar-benar melamarku suatu hari nanti."
Lensa Iza melebar.
"Mereka bilang apa?"
Aku kembali menatap pada Iza.
"Di hari ulangtahunmu."
Bibir Iza terdiam.
"Ulangtahunku?"
Aku mengangguk.
"Kau tau, walau mereka tampak tak begitu menerima dirimu dulu, mereka peduli dengan kebahagiaanmu denganku."
"Katanya, seseorang akan merasa bahagia saat dia mengetahui kelahirannya di dunia tidak sia-sia. Apalagi jika di hari itu, sesuatu yang dia anggap berharga muncul bersamaan."
"Orang yang mendapat hal itu, adalah orang yang paling bahagia di dunia, katanya."
Senyumku terpampang untuknya yang sedari tadi mendengarkan.
Satu tanganku mengusap pipinya pelan.
"Dan aku ingin kau bahagia, Iza."
Iza tak berkutik, hingga tangannya menangkup tanganku.
"Aku pun, ingin membuatmu bahagia. Kita akan bahagia bersama-sama."
Dua pasang lensa saling menatap.
Dibawah sinar rembulan penerang malam.
Dalam hembusan angin sepoi, bertabur helaian bunga sakura beterbangan.
Aku juga dirimu, berdiri bersampingan.
Membagi kehangatan dalam dinginnya angin malam.
Dengan senyuman yang tak pernah sirna dalam satu masa.
××××××
Ini adalah tulisan kehidupanku yang berubah seperti terbit dan tenggelamnya sang mentari.
Setelah menyelami kegelapan malam dan tersesat di dalamnya.
Muncul kembali ke atas awan, mengedarkan padangan pada hamparan putih di sekitar.
Putih...
Sama putihnya kimono yang kukenakan pada 30 agustus.
Usapan tinta merah tergores di bibirku.
Warna-warna berona muda nan ringan menghias mata dan pipiku.
Tak lama, seseorang menggiringku menuju tempatmu.
Tempatmu yang kini berdiri menungguku.
Tatapmu serasa tak bisa melepaskan diri dari wujudku.
Yang kini berhias pakaian putih dengan garis merah melintang di bagian obi.
Aku pun, rasanya tak sanggup menatap dirinya saat ini.
Hakama hitam begitu cocok dengannya.
Rasanya seperti berkata, kalah dirinya siap mengangkat keluarga ditangannya.
Iza berjalan mendekatiku.
Membuat jantungku berdebar-debar kala tapak kakinya terdengar jelas.
Bibirnya mendekat di samping telingaku.
"Kau terlihat begitu cantik, seperti dewi."
Habis sudah,
bahkan fondation putih di wajahku tak sanggup menyembunyikan semburat merah di wajah.
"M-mou, kau tak ada bedanya dengan Emma. Suka sekali melihatku kalah telak."
Iza tertawa lembut melihat reaksiku.
Kini tangannya dberikan padaku, seraya lensanya melihat diriku.
"Kau siap?"
Degub jantung berkata tak apa.
Bahkan harapan dalam dada bagai mendorongku untuk segera meraih apa yang sudah seharusnya layak kudapatkan.
Dengan satu senyuman, tangan yang bergerak meraihnya, aku berkata..
"Hum~ aku siap."
Beriringan berjalan diatas jalan berkarpet merah.
Menuju tempat suci dimana semua telah menanti.
Semua, ya, semua yang kukenal dulu sampai sekarang ada disana, menyaksikanku dan pasangan kekasihku yang bergerak perlahan menuju bagian ujung karpet tergelar.
Seorang pria berdiri di ujung sana.
Membawa ucapan pengikat janji suci antar dua belah pihak.
"(Y/n)(f/n), apa kau bersedia untuk selalu berada disamping Izana Sano sehidup semati, dalam suka maupun duka?"
Aku mengangguk.
"Aku bersedia untuk selalu ada disampingnya."
Lantas pria itu bergilir kearah Iza.
"Izana Sano, apa kau bersedia untuk selalu berada disamping (Y/n)(f/n) sehidup semati, dalam suka maupun duka?"
Iza melirik kearahku sebentar, mengeratkan genggamannya lembut.
"Ya, aku bersedia untuk selalu ada di sampingnya, sehidup semati, dalam suka maupun duka."
Pria itu mengangguk, dia kembali melihat sepasang pengantin bersamaan.
"Sudah saatnya untuk mengunci janji suci kalian."
Aku dan Iza berdiri berhadapan.
Mengunci pandangan pada masing-masing lensa.
Bergerak mendekat sedikit demi sedikit.
Hingga dua buah bibir bertemu seperti hari itu.
Sorak-sorai tamu terdengar menggema.
Memberi selamat juga tepukan tangan.
Padaku dan Iza, yang kini resmi menjadi pasangan kekasih.
Sesaat setelah itu seseorang memberiku sebuket bunga, itu Emma.
Aku menatapnya bingung.
"Eh? Bukannya kita pakai tema acara pernikahan jepang?"
Emma tersenyum.
"Tak apa kan? Melempar bunga apa salahnya juga. Ambillah!"
Aku meraih sebuket bunga itu darinya, kemudian menatap kearah Iza yang tersenyum, bersama menggenggam buket itu.
Hitungan satu...
Semua tamu undangan bersedia di tempatnya untuk menangkap buket itu.
Dua..
TIGA!!
Sebuket bunga melayang diudara, terlepas dari genggaman tanganku dan Iza.
Para tamu undangan seketika mencari titik dimana buket itu akan jatuh.
Tentu dengan berbagai cara untuk meraihnya.
Tap!
Sebuket bunga terjatuh di tangan Draken dengan begitu mulus.
"OOOOOHHHH!!!!"
Sorak para tamu undangan, menatap kearah Draken yang menggenggam buket di tangannya.
"Waduh, bang Draken sama siapa nih?"
"Eciaa, Draken bentar lagi dah gak lajang."
Sahut para tamu bergantian.
Draken sama sekali tak terpengaruh dengan semua hiruk-pikuk sekitarnya.
Tatap matanya mengunci sosok seseorang, kakinya tau ingin berjalan kemana.
Tepat di depan seorang wanita bersurai blonde. Sebuket bunga diberikannya.
"Menikahlah denganku, Emma."
Ucapnya...
Di depan semua orang.
Sunyi langsung menguasai tempat itu.
Semua pasang mata melihat kearah Draken dan Emma bergiliran.
Di sisi lain, Emma, tak tau ingin berkata apa.
Lensanya mengkilap, pipinya merona, ujung tiga jarinya menutup bibirnya, sebelum akhirnya suatu jawaban yang ditunggu keluar dari bibir manisnya.
"Iya!"
Satu kata pemicu sorakan hebat.
"Waduh, to the point langsung diterima pula. Jadi iri."
"Draken mah siapa juga yang nggak mau?"
Perbincangan orang-orang justru semakin membuat wajah Emma tak karuan merahnya.
Aku yang melihatnya begitu, seketika berjalan mendekat, menyikutnya.
"Sekarang siapa yang terpojok?"
Akhirnya setelah sekian lama, Emma merasakan rasanya jadiku saat digodanya. Karma benar-benar ada.
"Mou.. (Y/n)~"
Dia mendorong-dorong lenganku.
Kami berdua tertawa bersama.
"Selamat, ya~"
Hina ikut memberi selamat.
"Hina-chan, kau sendiri kapan dengan Takemichi?"
Tawa terdengar dari bibirnya.
"Setelah aku keluar dari rumah sakit, Takemichi-kun sudah melamarku. Kalian tidak tau?"
Aku dan Emma terjebak dalam diam.
"SERIUS?!"
Ucap kami berdua bersamaan, anggukan menjadi jawaban dari Hina.
"Uwah, harusnya kita menikah sekalian bertiga saja tau begitu."
Aku mencubit lembut pipi Emma.
"Draken saja baru melamarmu. Gimana barengannya?"
Lensaku tertuju pada Draken dan Emma.
"Jadi? Kapan giliran kalian?"
"Secepatnya kalau bisa."
Draken yang selalu terus terang, langsung saja menjawab, tanpa sedikit pun berpikir dua kali.
Aku tertawa mendengarnya.
"Aku yakin kalian akan menjadi pasangan yang bahagia."
Emma meletakkan dua tangan di pinggangnya.
"Kebalik! Justru aku yang seharusnya bilang begitu padamu sekarang."
Kami bertiga tertawa bersama.
"Hey, sudah waktunya makan-makan kan? Aku sudah lapar."
Mikey yang muncul tiba-tiba memecah suasana.
"Ah ya, aku lupa."
Pandangku jatuh pada Iza, dia mengangguk.
Lantas aku menatap pada para tamu.
"Silahkan dinikmati hidangannya!~"
Sorakan para tamu mengatakan kalau sedari tadi mereka menunggu acara makan-makan sejak tadi.
Mereka segera saja menyerbu hidangan yang tertata rapi di meja.
Aku hanya bisa tersenyum simpul.
Melihat semua orang memiliki akhir yang bahagia, jeratan rantai dalam hati serasa terbebaskan.
Iza memberikan tangannya padaku.
Mengajakku untuk menyantap hidangan manis bersama dengannya.
Tanpa perlu ragu lagi aku meraihnya.
Dengan mengenakan baju pengantin yang serasi, berjalan berdampingan, bergandengan tangan.
Menuju masa depan yang telah diimpikan.
××××××
Bulan demi bulan berlalu.
Iza dan aku sering bepergian antara Jepang-Filipina selama masa cutiku berlangsung.
Aku tak peduli kemana dia akan membawaku.
Berjalan disampingnya saja sudah menyenangkan hatiku.
Hari itu, saat kami berada di Filipina, menempati rumah yang dibangun dekat dengan lokasi pantai.
Gejala tak biasa menekan perutku tiap mulut tengah menyantap.
Tak jarang aku bolak-balik ke kamar mandi, hanya untuk memuntahkan segala yang baru saja kutelan.
Iza yang baru datang dari dapur, mendapatiku menghilang dari kursi ruang makan.
Segera saja dia menyusulku yang terdengar dari wastafel kamar mandi.
Baru kali ini aku bisa melihat wajah panik bercampur khawatirnya.
Atau itu berarti hanya aku yang berhasil menemukan mimik lainnya dibalik wajah tenangnya?
Setelah kejadian itu, aku meminta Iza untuk membelikanku sesuatu di apotek.
Sesuatu yang memastikan apakah dugaanku ini ada benarnya atau tidak.
Sesaat setelah Iza meluncur ke apotek dan membawa barang yang kuminta.
Aku menyuruhnya untuk tak mengkhawatirkanku dan tetap duduk di ruang tamu.
Aku berjanji padanya akan membawakan suatu kejutan untuknya.
Iza hanya menurut, dia duduk di ruang tamu dengan wajah diamnya.
Kuharap dia mencari kesibukan lain daripada benar-benar duduk diam menungguku.
Kembali ke kamar mandi, saatnya menguji apakah tebakanku benar atau tidak.
Beberapa saat setelah kukenakan alat itu, dua garis biru tak lama tampak.
Sebisa mungkin aku menahan rasa bahagiaku. Ingin membagikannya dengan Iza lebih dulu sebelum melompat girang.
Iza sedari tadi duduk di ruang tamu, masih dengan posisi yang sama–agak membuatku khawatir sebenarnya, tapi aku percaya dia baik-baik saja dan memang begitulah dirinya.
"Iza!"
Wajahnya menoleh padaku, dia menghampiriku.
"Bagaimana? Kau tak apa, kan? Anak kita?"
Aku tersenyum padanya.
Sambil menunjukkan test pack yang memunculkan dua garis biru padanya.
Iza melihatnya dalam diam.
Aku tak yakin apakah dia mengerti atau tidak maksudnya.
"Aku hamil!~"
Dua lensa keunguannya seketika mengkilap, pun tubuhnya membeku.
"Hm? Iza?"
Aku melambaikan tanganku di depannya.
Menyadarkannya dari lamunan.
Tiba-tiba satu dekapan erat dia jatuhkan padaku.
Air matanya mengalir di pundakku.
Aku tau jelas dia sedang menangis bahagia sekarang, sama sepertiku.
Kami memeluk tubuh satu sama lain.
Tenggelam dalam rasa senang dan haru akan calon penerusnya yang terkandung dalam rahimku.
Kabar kehamilanku tak perlu diragukan lagi tersebar cepat.
Hina dan Emma lah yang pertama kegirangan dengan berita itu.
Bahkan rela mengeluarkan uang mereka untuk mengirim berbagai benda dari jepang kemari.
Aku sudah bilang pada mereka agar tak merepotkan diri.
Sementara itu Iza, dia mendapat berbagai ucapan selamat dari teman-teman Tenjikunya dulu.
Dia juga yang menjawab pesan masuk dari papa mama selagi aku merawat diriku untuk kandungan yang baik.
Selama masa kehamilanku, Iza sering sekali memintaku untuk ada didekatnya.
Dia bilang dia ingin mendengar bagaimana suara calon anaknya.
Tendangan kecil yang terdengar dua kali.
Iza menebak kalau bayi yang kukandung tak hanya satu, tapi dua.
Karena penasaran, aku mengunjungi klinik kandungan milik teman kuliahku yang kebetulan sedang magang di Filipina.
Benar tebakannya, temanku berkata aku sedang mengandung dua janin berjenis kelamin berbeda.
"Kemungkinannya kembar tidak seiras."
Aku menatap kearah Iza.
Dimana lensanya berdecak senang mendengar bahwa dia akan menjadi ayah dari dua anak.
Setelah hari itu, Iza semakin memperhatikan kesehatan mental dan ragaku.
Tak sekalipun dia mengaduh lelah memenuhi segala nutrisi yang kubutuhkan.
Dia juga yang memberi berbagai dukungan untukku, selain orang-orang yang mengenalku.
Sembilan bulan berlalu begitu cepat.
Kini perutku terasa begitu berat, berjalan sebentar saja sudah memakan tenaga.
Hingga suatu hari, pada malam hari.
Tendangan begitu keras dan menyakitkan menendang perutku, membuatku merintih kesakitan.
Iza yang tertidur disampingku segera membuka matanya.
Mengetahui diriku yang sebentar lagi melahirkan, segera saja dia meraih apapun yang bisa digunakan untuk menutupi tubuhku dari angin malam.
Lantas dia mengangkat tubuhku, membawaku menuju rumah sakit terdekat.
"Bertahanlah... kumohon bertahanlah, (y/n)!"
Lomba lari dengan bulan malam hari pun terjadi.
Dirinya lekas mencapai rumah sakit dan meminta pertolongan.
Malam hari, kala jarum jam hampir menyentuh angka dua belas malam.
Iza terduduk di kursi yang berhadapan dengan ruangku berada.
Dokter tak memperbolehkannya masuk, walau dia bersikeras ingin berada disampingku.
Dahinya diletakkan diatas kepalan tangan penompang kepalanya.
Ponselnya terus berdering.
Menampakkan begitu banyak chat masuk dari berbagai sumber yang sama khawatirnya dengan kondisiku.
Iza tak menghiraukannya, dia hanya duduk disana sambil berdoa pada yang kuasa untuk keselamatanku.
Tepat saat itu bayangan seorang lelaki dewasa berdiri di depannya, menatap dirinya.
"Dia akan baik-baik saja."
Ucapnya, memancing Iza mengangkat wajahnya.
Lensanya terpaku pada sosok itu, sosok yang meninggalkannya bahkan tak mengenal kelahirannya di dunia.
Ya, dia adalah ayah kandung Iza yang kebetulan berada di rumah sakit dan berpapasan dengannya.
"Kenapa kau disini?"
Iza bertanya dengan agak menggeram. Darahnya langsung mendidih hanya dengan melihatnya.
Pria itu tersenyum miring, tau jelas pembawa darah terusannya tengah tak baik emosinya.
"Istriku hari ini juga masuk ke rumah sakit. Dia menderita penyakit keras sejak aku menikahinya. Sekarang aku juga menunggu hasil dari dokter."
"Kau sendiri?"
Iza menundukkan kepalanya.
"Istriku melahirkan. Dokter bilang dia akan melahirkan anak kembar."
Pria itu tersenyum.
"Lalu? apa yang kau khawatirkan sekarang?"
Iza mengangkat wajahnya dengan emosi yang tampak jelas di wajah.
Tubuhnya bangkit, tangannya mencengkram kerah pria itu.
"Tentu aku mengkhawatirkan keselamatannya! Bagaimana bisa kau tenang di saat begini?! Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya??!!–"
Bibirnya berhenti sebelum sebuah kata dari skenario terburuk keluar dari mulutnya.
"Aku tak ingin kehilangan dirinya.."
Air matanya mengembang di katup mata.
Dia berusaha untuk menahannya sedari tadi, menguatkan diri agar wanita yang kini berada di ruangan itu berjuang sekuat dirinya.
Pria itu terdiam. Hela nafas singkat terdengar dari bibirnya.
Tap!
Tangannya jatuh diujung kepala milik pria berlensa keunguan itu.
"Hey, kalau kau tak percaya dengannya. Bagaimana dia bisa melewati itu semua?"
"Aku mengerti perasaanmu. Aku pun pernah berada di posisimu–walau bukan untukmu."
"Tapi, mengertilah, dia akan baik-baik saja. Aku melihat wanita yang kau bawa tadi. Tubuhnya terlihat kuat, aku percaya dia bisa menghadapinya."
"Kalau kau sudah melakukan yang terbaik untuknya, seharusnya kau yakin padanya, kalau dia akan membawakan calon masa depanmu hidup-hidup."
Pria itu tersenyum sambil menayap Iza.
Tangannya diusap dengan lembut di kepala penerus darahnya itu, mencoba menenangkannya.
Pelan tangan Iza melepas cengkraman.
Terdiam di tempat, mengenali rasa tenang yang kini mulai menyebar dari ujung kepalanya.
"Sudah waktunya aku menjenguk istriku."
Usapan berhenti, pria itu tak lama lagi berdiri di depannya, mulai berjalan menjauh menyusuri lorong.
Lensa keunguan Iza masih terpaku padanya. Bibirnya lantas menyebut nama yang bahkan tak pernah dia ucapkan sebelumnya.
"Ayah!"
Langkah pria itu terhenti, namun dirinya tak berbalik menatap anak itu.
"Terimakasih.."
Akhir ucapannya menurunkan posisi pundak pria itu.
Sekilas pria itu menunduk, lantas melambaikan tangannya sebagai bentuk perpisahan tanpa menengok kebelakang.
×××××
Dua mataku terbuka setelah berjuang mati-matian.
Aku masih ingat jelas adegan itu, dimana perutku terasa begitu menyakitkan, nafasku yang sudah diujung tenggorokan, bahkan degub jantungku yang tak karuan.
Hal terakhir yang kuingat adalah dua suara rengekan mungil.
Sebelum akhirnya pandanganku menggelap dan tak sadarkan diri.
Kini aku melihat sekitar, memeriksa dimana kini diriku berada.
Sosok pria bersurai putih berdiri di depan jendela.
Membiarkan angin pagi hari memainkan surainya.
"I-iza?"
Mendengar suaraku, dia membalikkan tubuh.
Sepasang lensa menatapku tak percaya.
Sempat dia terdiam sebelum bergerak kearahku, memelukku lembut.
"Terimakasih... kau sudah berjuang keras."
Aku tersenyum padanya, membalas rangkulannya.
"Apa kau mengkhawatirkanku sebegitunya?"
Iza tak menjawab.
Peluknya hanya semakin erat.
Jawabannya benar.
"Aku baik-baik saja, Iza. Dan yang paling penting–"
Pelukan terlepas perlahan.
Pandangan kuedarkan, mencari sesuatu yang sudah kunanti sejak tadi.
"Apa kau mencari anak kita?"
Iza dengan mudahnya menebakku.
Kakinya berjalan ke samping kasurku.
Tepatnya dimana dua bayi mungil tertidur diatas ranjangnya.
Seorang lelaki, seorang gadis.
Keduanya memiliki surai yang sama seperti Iza.
Warna kulitnya mengikutiku.
Aku tak bisa melihat apa warna lensa mereka, keduanya masih tertidur pulas, kuharap menuruni milik Iza.
"Mereka sempat bangun tadi?"
Tanyaku pada Iza yang pastinya daritadi menungguku bangun.
Iza tersenyum.
"Ya, mereka merengek menunggu ibunya bangun. Jadi aku yang menenangkannya."
Aku melihat kearahnya tak percaya.
Baru saja dia mengurus seorang bayi dan dengan mudahnya menenangkan mereka.
"Apa lensanya sama sepertimu?"
Bibirnya meringis.
"Ya, mirip denganku, tapi sedikit berbeda. Oh, lihat, mereka bangun. Pasti mereka tau mamanya sudah siuman."
Rengekan kecil terdengar dari keduanya, perlahan matanya terbuka, berkedip-kedip, lantas melihat kearahku.
Hatiku seketika terkejut kagum.
Lensa mereka keunguan, uniknya warna ungu itu memiliki campuran unik dengan warna lensaku.
Iza merangkul pundakku.
"Manis, bukan? Buah hati kita."
Cairan bening menggenangi mataku.
Tanganku meraih tangan Iza yang ada di pundakku.
"Kau ingin menggedongnya?"
Aku mengangguk.
Iza langsung saja mengangkat dua sosok mungil itu dengan lembut.
Meletakkan keduanya di tanganku.
Lensa keduanya menatapku bersamaan.
Tak lama senyum timbul di wajah mereka.
Begitu indah dan murni seperti sekuncup bunga yang baru saja mekar.
"Halo sayang~ mama disini."
Mereka mengangkat tangannya, menganyun-ayunkannya di depanku.
Seperti membalas kembali.
Iza menatapku kagum.
Kagum melihat jikalau kini dia memiliki keluarga yang begitu diimpikannya.
"Papa juga disini."
Dua kembar itu menatap ayahnya.
Tersenyum manis.
Tangannya kini mengarah pada Iza.
"Iza, coba kau raih."
"Tangan mereka?"
Aku mengangguk.
Iza tampak ragu, namun dia menurutiku.
Dia memberikan tangannya pada si kembar, sontak tangan mungil mereka memegang jemari Iza, membuat Iza terkejut pula terharu.
Kepalanya disandarkan di pundakku.
Seraya mulutnya berucap agak bergetar.
"T-terimakasih.. (y/n)."
"Sudah memberikan masa depan ini untukku."
Aku hanya tersenyum simpul, alis mengerut, melihat betapa bahagianya dia saat ini.
Kepalaku bersandar padanya.
Semilir aku berkata.
"Kau layak mendapatkannya, Iza."
"Kau layak untuk bahagia."
Dia melirik kearahku.
Kecupan lembut jatuh di pipiku.
Menyebar kehangatan dalam suatu keluarga.
Yang kini akan selalu ada untuknya.
×××××××
Jepang, pagi hari.
Seperti biasa bekerja di dapur untuk mempersiapkan sarapan.
Karena kemarin sudah sup miso, hari ini aku berniat mengganti menu dengan hidangan yang selalu ditunggu semuanya, Omurice!
Aroma wangi tercium memenuhi ruang dapur.
Melihat permukaan telur yang sudah kumatangkan sedemikian rupa, rasanya aku ingin menyantapnya begitu saja.
Tapi tidak, tidak sampai semuanya datang kemari.
"Hmm!~ baunya enak!"
Seorang lelaki bersurai putih muncul di dekat pintu dapur.
"Mama buat omurice? Hore!! Omurice! Omurice! Nana mau Omurice!"
"Shh! Nana nggak boleh rame. Nanti mama nggak ngasih ke kita lho!"
"Huh! Padahal Nagi-nii tadi ngagetin mama. Nagi-nii yang nggak bakal dapet!"
Si kembar selalu saja muncul saat dua hidung mungil mereka mencium aroma lezat dari dapur.
Ah ya, nama mereka Nagi dan Nana. Nagi adalah kakak dari Nana, dia seorang laki-laki. Sementara Nana adalah adik dari Nagi, cenderung lebih ramai dari kakaknya sendiri.
"Eh, sudah sudah. Mama nggak akan kasih kalau kalian bertengkar, lho!"
Mereka berdua seketika terdiam.
"Maaf, ma.."
Reaksi mereka yang sering seiras selalu sukses membuatku meringis.
Sebentar sebelum meletakkan omurice diatas meja, lensaku mencari seorang lagi.
"Kalian lihat papa? Mama belum melihatnya daritadi."
Nagi dan Nana bertukar pandang.
Jari telunjuk mereka bersamaan menunjuk kearah balkon.
"Tadi aku lihat papa duduk disana."
"Uhm! Nana juga lihat!"
Melihat kearah pintu kaca dekat balkon, aku bisa melihat bayangannya dari sana.
Sebentar aku menunda keinginanku untuk menata hidangan diatas meja.
Memilih untuk berjalan menuju balkon–yang mana aku masih mengenakan celemekku.
Pintu kaca kugeser pelan.
Tepat saat kepalaku menoleh ke kiri, aku menemukan Iza yang menikmati angin pagi.
Surai putihnya kini sudah memanjang hampir sepundak.
Dua matanya terpejam seraya kepalanya diarahkan pada angkasa.
"Papa?"
Lensanya terbuka saat mendengar suaraku. Kepalanya menoleh. Aku hanya tersenyum.
"Aku sudah buatkan Omurice kesukaanmu. Anak-anak sudah menunggumu, bagaimana kalau kita sarapan bersama?"
Iza terdiam agak lama, membuatku bingung.
"Eh? Ada apa? Apa ada sesuatu yang mengusik papa?"
Khawatir dia memikirkan sesuatu sendiri, maksudku membawa beban pikiran sendiri, aku bertanya padanya.
Iza menggeleng, dis tersenyum, lantas bangkit.
"Tidak, bukan apa-apa. Aku hanya... teringat sesuatu."
Aku memiringkan kepalaku.
"Sesuatu?"
Iza menutup matanya sebentar.
"Aku teringat dulu. Saat kau mengajakku bermain bersama."
"Mirip sekali dengan hari ini. Kau memasak Omurice, kemudian memanggilku karena anak-anak sudah menunggu."
"Aku tak menyangka itu jadi kenyataan sekarang."
Sengatan panas terasa di pipiku.
"Padahal aku hanya asal saja.."
Iza tertawa.
"Nagi juga Nana sudah menunggu, kan? Aku tak ingin membuat mereka menunggu. Ayo."
Kami berdua berjalan bersama menuju dapur, dimana Nagi dan Nana sudah berusaha melihat Omurice diatas meja dapur dengan melompat-lompat.
Setelah aku meletakkan beberapa piring Omurice diatas meja makan, kami bersamaan mengucap ucapan sebelum menyantap sarapan bersama.
"Ittadakimasu~"
Sarapan pagi dengan anggota keluarga yang lengkap. Dikelilingi rasa hangat juga kebersamaan, begitu tenang kalau bisa kujelaskan.
Saking tenangnya, aku sampai lupa kemana jarum jam mengarah.
"Uwah, sudah jam segini! Nagi, Nana, makannya agak cepat, ya."
Aku ingat hari ini adalah hari pertama Nagi dan Nana bersekolah di jepang.
Setelah kami menghabiskan banyak waktu pertumbuhan mereka di Filipina dan akhirnya kembali ke negeri matahari terbit itu.
Nagi dan Nana segera menghabiskan hidangannya sementara aku membantu mereka bersiap. Iza pun ikut turun tangan.
Tak lama kami semua berdiri di luar pintu rumah. Sebelum kami semua pergi ke tujuan masing-masing, alangkah lebih baik kalau aku menyemangati mereka dulu.
"Yosh, Nagi, Nana, semangat sekolahnya ya~ Mama percaya kalian pasti bisa!"
Aku teringat Nagi yang begitu khawatir dengan lingkungan baru kemarin. Berbeda dengan Nana yang justru mengharapkan sekolah baru.
"Uhm.."
Nagi menjawab pendek. Dia menunduk. Ah ya, aku ingat Nagi selalu mengkhawatirkan banyak hal.
Entah yang mungkin terjadi sampai yang tidak mungkin terjadi.
Nana, adiknya, yang menyadari pikiran batin kakaknya menepuk-nepuk pundak Nagi.
"Nggak apa, Nagi-nii. Nana bakal hajar siapapun yang ganggu nii! Nana bakal jadi sekuat papa, jadi pemimpin Yakuza!"
Dua tangannya terangkat, menandakan kegirangan dan semangatnya.
"E-eh?! Nggak nggak, Nana itu perempuan, kalau kenapa-napa gimana? Niichan tambah khawatir nanti."
Nana mengerucutkan bibirnya.
"Nagi-nii katanya pengen jadi dokter kayak mama. Kalau Nana kenapa-napa, Nagi-nii yang bakal ngobatin, kan? kan?"
Nagi kebingungan, dia menatapku.
Senyum miring kutunjukkan padanya.
Seketika membuatnya menghela nafas lelah.
Lensaku kini menatap kearah Iza, yang sudah siap dengan kostum Tenjikunya.
Lama sekali dia tak mengenakannya, hanya karena kami sedang berada di Filipina, jadi dia tak bisa bertemu anggota Tenjiku lainnya.
"Aku rindu bertemu Tenjiku."
Memoriku dimana bertemu dengan anggota Tenjiku setelah kami berpacaran berputar kembali.
Kala Iza selalu di sampingku yang tampak ragu berada di dekat anggota Tenjiku, menyatakan padaku bahwa Tenjiku bukanlah geng yang mengerikan walau ya... perlakuan disana cukup keras.
Waktu berganti waktu, Tenjiku terus berkembang dan saat ini Tenjiku melejit menjadi salah satu Yakuza terbesar di Jepang.
Ah bukan, mereka bukanlah kriminal lagi. Mereka adalah Yakuza yang membantu orang-orang malang untuk menemukan tempat mereka kembali, tempat tinggal, keluarga dan orang berharga.
Semua berubah menjadi lebih indah dari sebelumnya. Bahkan aku sendiri serasa tak percaya hidup mereka berubah sedrastis itu.
"Kau bisa menemui mereka setelah bekerja. Mereka merindukanmu pulang."
Iza berucap semilir.
Aku baru ingat kalau Tenjiku selalu menerimaku dengan tangan terbuka.
Kedatanganku disambut hangat, bahkan mereka benar-benar menghormatiku.
Bukan karena aku milik Iza, tapi karena aku sering membantu mereka yang terluka setelah berkelahi dan mendukung mereka dari belakang.
Sebuah dukungan, sudah menjadi sebuah anugerah untuk mereka.
Seperti pasukan perang yang diberkahi seorang healer, dimanapun mereka, bagaimanapun kondisi mereka nanti, aku akan selalu menunggu dan membantu mereka di saat apapun.
Kepalaku mengangguk, senyum kutujukan padanya.
"Apa kau ingin mengucap sesuatu pada mereka? Sebelum berangkat tentunya."
Tatap Iza kini jatuh pada Nagi dan Nana bergantian, lantas bibirnya terangkat.
"Jadi anak yang baik ya, di sekolah. Juga.. jadilah anak yang kuat."
Tatapnya melihat kearahku, tersenyum.
"–agar kalian bisa melindungi orang yang kalian cintai."
Sambungnya.
Pipiku merona sementara Nagi dan Nana tersulut semangatnya.
"N-nagi bakal jadi pintar! Nagi ingin jadi dokter hebat seperti mama. Nagi... Nagi bakal ngelindungin Nana."
Nagi menggenggam tangan adiknya erat.
"Uhm! Nana bakal jadi kuat, ntar jadi ketua Yakuza kayak papa. Nana juga bakal ngelindungi Nagi-nii!"
Keduanya menjalinkan jari mereka.
Tertawa bersama.
Tawa mereka–tawa yang nenyulut semangatku juga.
"YOOSH!!! Mama bakal berjuang keras untuk melindungi kalian!"
Tanganku merangkul mereka, ikut tenggelam dalam rasa bahagia.
Tatapan Iza melembut melihat keluarganya. Dia ikut bergabung dalam kehangatan pelukan.
"Kalau begitu, aku yang akan melindungimu, (y/n)."
Bisiknya padaku, kembali menyulut suhu hangat di wajah bahkan sampai telinga.
Namun aku tak merasa malu, justru merasa senang akan hal itu.
Karena saat ini...
Adalah masa dimana kita bersama.
Masa dimana kita akan selalu ada antar satu dengan lainnya.
Masa yang akan selalu terkenang dalam dada.
Bahkan hingga usia menjelang senja.
×××××××××××
-The end-
AAAAAAHHHH!!!
AKHIRNYA KELAR JUGAK INI FANFICT
MINNA-SAN, ARIGATO GOZAIMASU!
Sudah menunggu dan menyemangati thor di kolom komentar.
Uwaahh, seneng banget bisa ngelunasin satu karya ini di kala tugas melanda, astagaaa
Okei, terimakasih sudah mengikuti Unknown Number From The Future sampai titik terakhir!
Di masa mendatang, thor bakal bikin fanfict-fanfict tokrev lainnya yang mungkin thor promosiin disini, hehehe~
Jangan ketinggalan infonya ya, minna-san!
Sekali lagi, arigato gozaimasu untuk supportnya.
I really appreciate it o(〃^▽^〃)o
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro