Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 5 -

"Hoaahmm.."

Kuapan melayang keluar dari mulutku.
Sembari berjalan menuju sekolah yang sudah tak jauh lagi lokasinya.

Jangan lengah dengan sekitarmu.
Kapanpun dan dimanapun itu.
Bawa beberapa jarum di tasmu.

Ucapan sensei pagi ini masih terngiang di kepala.
Tidak mungkin aku bisa lengah di saat begini.

Jadi sasaran anak geng, kurang apalagi aku? Terjebak dalam jaring laba-laba dan tak bisa pergi sebelum memusnahkan laba-laba itu.

Tapi kalau melihat kondisiku saat ini.
Tidak mungkin aku bisa melawannya sendiri.
Dia pasti akan membawa teman lainnya juga untuk mengeroyokku nanti.

"Mau tidak mau lewat sini."

Aku memilih jalan yang paling ramai dilewati orang-orang, menyembunyikan keberadaanku diantara mereka.

Agak jauh memang dari sekolah.
Tapi ini cara teraman agar tidak tampak.

Syukurlah aku sampai di sekolah dengan selamat. Bahkan menginjak kaki kelas juga mas–

Bletak!

"Aduh!!"

Sentilan jari mendarat di dahiku.
Panas sekali, sampai harus diusap untul meredakannya.

Tepat di depanku, pelaku yang menyentil berdiri.

"H-hina-chan, aku salah apa?"

Aku meringis kesakitan, sementara dia tampak khawatir juga kesal sekaligus.

Dia menarikku menuju kursi mejaku, menyuruhku untuk duduk berhadapan dengannya.

Waduh, aku punya firasat ini bukan hal baik.
Apapun itu, tidak baik kalau memburuk.

"Maaf kalau aku ada salah."

Mataku tertutup seraya alis mengerut.
Sebentar Hina tak berlaku apapun.
Barulah dia berkata saat aku membuka mata kembali, lensa mengkilapnya gemetar.

"Jangan membahayakan dirimu lagi!!"

"Aku, Emma-chan khawatir Kau kenapa-napa kemarin! Tiba-tiba menghilang tapi chat dibaca, untung kau benar baik-baik saja."

Lirikku mengarah kesamping.
Merasa bersalah padanya.

"M-maaf, kau kecapekan kemarin, jadi tidak sempat menjawab."

Hina hendak mengatakan sesuatu padaku, tapi urungkan begitu saja dengan hembusan nafas.

"Jangan membuatku takut, (y/n)-chan. Bagaimana kalau kemarin Izana-kun tidak muncul? Bagaimana kalau saat itu Emma tidak bersama siapapun?"

Hina sudah menceramahiku seperti ibu-ibu yang khawatir dengan anaknya saja.

Tatapku turun kebawah, mengaku bersalah.

"Aku bisa sedih kalau (y/n)-chan terluka.."

Isakan terdengar setelahnya.
Saat wajahku kembali terangkat, aku melihat Hina menitikkan air mata di hadapanku.

Panik karena dia menangis di kelas, memancing perhatian sekitar, aku menyodorkan tisu yang kubawa setiap hari.
Dia meraihnya tanpa ragu, mengusap airmatanya.

"Maaf Hina-chan. Aku tak bermaksud begitu. Aku hanya... hanya..."

Aku berusaha mencari kata-kata untuk menjawab sambil menutupi fakta.

"Hanya sempat melihat Emma disana. Dan seseorang berusaha melukainya saat itu. Aku tak ingin hal buruk terjadi, jadi aku menyelamatkannya."

Hina menatapku.

"Dengan memepertaruhkan dirimu sendiri?"

Ucapnya membungkamku.
Dia masih menunggu kelanjutanku.

"Aku.."

Dengan segala rasa percaya dengan diri sendiri, karena sudah melatih diri sampai sejauh ini.
Aku berani mengatakannya.

"Aku tak akan mudah dikalahkan. Aku berjanji padamu, Hina-chan, juga Emma."

"Aku akan memastikan kita hidup bersama sampai ke masa depan. Sampai umur tua memisahkan."

Lensa Hina melebar.
Dia tak menyangka kalimat itu muncul dari bibirku.
Kini dia terpaku menatapku, lantas terkekeh.

"(Y/n)-chan sudah seperti Takemichi-kun saja."

Wajahku memerah mendengarnya.

"S-sudahlah, aku hanya ingin kalian berdua baik-baik saja, itu saja. Mou, Hina-chan balik ke tempat duduk saja, udah mau masuk."

Aku mendorong Hina menuju tempat duduknya. Menyembunyikan rasa maluku darinya.

××××××

Sepulang sekolah, benar saja Emma berdiri disana dengan wajah kesal.
Entah kemalangan apa yang menimpaku, diceramahin dua orang sekaligus.

Aku yang tak bisa apa-apa hanya berkata 'iya, aku salah' atau 'iya, maaf'.
Tapi hal yang perlu di garis bawahi adalah saat mereka beryukur aku baik-baik saja.

Hey, kalian tau?
Lebih dari kalian mengkhawatirkanku, mengetahuiku baik-baik saja.
Aku lebih merasa sangat senang bisa menyelamatkan nyawa orang lain.
Apa ini alasanku menjadi seorang dokter di masa depan?

Selesai berbicara dua lawan satu, seperti biasa kami berjalan bersampingan sambil menikmati langit sore kejinggaan.

Sambil berjalan, ucapan sensei kemarin teringat di kepala.

"Nee, Emma."

Emma melirik kearahku setelah bercanda dengan Hina.

"Hm? Ada apa, (y/n)?"

"Selanjutnya, jika kau pergi kemanapun sendiri. Pastikan kau bersama orang lain yang lebih kuat darimu. Setidaknya Draken."

Aku tak tau kenapa sensei menyebut Draken sebagai pelindung Emma.
Apa ada maksud tersendiri?

Emma mengerutkan alisnya, kesal.

"Kenapa harus ditemani? Aku bisa pergi sendiri, tak perlu khawa–"

Ucapnya terhenti saat melihat tatapanku tak lagi santai, benar-benar serius.

"Kau ingin hal itu terjadi lagi? Kau bisa saja–"

Bibirku tertutup seketika. Hampir keceplosan.

"Bisa saja?"

Emma menunggu kalimat lanjutanku.
Ah, payah, kenapa aku terbawa arus sendiri?

Permukaan pipi kugaruk pelan.

"Bisa saja... terluka. Aku tak ingin Emma terluka."

Selesai kalimatku, tawa kecil terdengar dari bibir Hina.

"Daritadi pagi (y/n) bilang ingin melindungi kita terus lho, Emma-chan~"

"H-hina-chan!~"

Wajahku memerah seketika.

"Tuh kan wajahnya merah.

"Mouu!!"

Tanganku memukul pundaknya lembut.

Emma masih terdiam, lantas ucapan yang tak kuduga keluar dari mulutnya.

"Terimakasih, (y/n)."

Kepalaku reflek menoleh, seraya tanganku berhenti memukul pundak Hina.

Emma tersenyum manis padaku.
Dua matanya berkedip.

"Tapi (y/n) juga harus bisa melindungi diri sendiri lho! Untung saja Izana duluan yang kemarin datang."

Y-ya...
Itu memang kelengahanku sih.
Kalau saja Izana tidak datang...

Pikirku melayang pada hari itu.
Dimana sosoknya berdiri di hadapanku.
Membelakangi sinar rembulan yang semakin menghidupkan surai putih juga lensa keunguannya

Tangannya yang menarikku bangkit.
Senyumnya yang berusaha ditampakkan seramah mungkin.

Doki doki..

Kenapa dadaku berdetak tak karuan?
Jangan bilang–

"(Y/n)? (Y/n)!"

Lamunanku pecah saat Emma berteriak disampingku.

"Huh? Hah? I-iya kenapa?"

Dia menatapku kesal.
Lantas senyum menggoda muncul di bibirnya.

"Hoo~ jangan bilang (y/n)–"

"UWAH! LIHAT DI DEPAN ADA TUKANG ES KRIM! AYO EMMA KITA KESANA!!"

Sudah bisa kutebak kalimat apa yang akan dia ucapkan.
Sesegera mungkin topik kupindahkan, menarik tangan Emma begitu saja menuju kedai es krim kecil yang sempat muncul di depan mataku.

"E-eh, tunggu!"

Hina mengikutiku yang tiba-tiba berlari.

Sukses pengalihanku.
Tidak ada salah paham kan sekarang!
Hum hum, aku hebat.

Emma hanya mengerucutkan bibirnya saat kami membeli es krim bersama.
Rencananya untuk menggodaku gagal.

Sementara itu Hina hanya menikmati es krim dengan santainya tanpa memikirkan hal yang baru saja dibincangkan tadi.

Setelah es krim hanya bersisa stiknya saja. Kami berjalan menuju rumah Emma lebih dulu.
Karena aku juga yang bersikeras meminta ke rumah Emma dulu, demi keselamatannya pastinya.

"Hai', disini."

Senyumku luntur begitu saja saat melihat dimana Emma tinggal.
Bayanganku dia tinggal di apartemen bertingkat, hancur seketika.

"I-ini?"

Telunjukku menunjuk kearah bangunan tempat suatu dojo di dirikan.

Emma mengangguk mantap.

"Kau tak menyangkanya kah, (y/n)?"

Emma meringis.

"Bumi pada (y/n)."

Emma melambaikan tangannya didepanku.

Aku yang berkedip berkali-kali masih tak ingin menerima kenyataan.
Tak lama zat cair jatuh di wajahku.

Tik..

Tik...

ZRAAASSSHHH!!!

Hujan deras berguyur begitu saja tanpa peringatan.

"Uwaaa!! Hujan!!"

Hina panik menutupi kepalanya dengan tasnya.

"Ah, masuk! Ayo masuk dulu!"

Emma menarikku dan menyuruh Hina untuk masuk ke dalam dojo yang menjadi rumahnya.

××××××

"Haah..."

Hembus nafas lelah menguap.
Bagaimana tidak? Berlari panik karena hujan deras tiba-tiba.

Hina berdiri di sampingku, berusaha mengibaskan roknya yang basah.
Sementara aku memeriksa tas ku, berharap buku-buku ku tidak basah karena tadi.

Emma yang mempersilahkan kami di kamarnya mengambil satu handuk untuk Hina lebih dulu karena aku mengalah padanya.

"Sebentar ya, aku carikan handuk lainnya."

Emma berniat mencarikan handuk untukku dan untuknya.
Dia pergi begitu saja dari kamarnya.

Aku dan Hina saling bertukar pandang.

"Hina-chan, kau tak apa kalau pulang telat?"

Aku khawatir dengan keluarganya yang mungkin menunggunya di rumah.

Hina menggeleng, dengan enteng dia menjawab.

"Aku hanya tinggal dengan adikku. Dia bisa menyiapkan makanan sendiri walau aku pulang telat, kok."

Entah pedang tajam mana yang menusuk hatiku. Rasa bersalah langsung menjadi awan mendung di kepalaku.

"Maaf.. mempertanyakan tentang keluarga padamu."

Harusnya aku tau kalau topik itu terkesan sensitif di depan orang yang kurang beruntung dariku.

"T-tidak apa, (y/n)-chan! Kau tak perlu merasa bersalah gitu!"

"Tapi aku membuat Hina-chan sedih."

"Uhh! Tak apa! Serius tak apa. Aku sudah terbiasa."

Aku hanya bisa tersenyum miring mendengarnya.

Tok! Tok!

Suara ketukan terdengar dari pintu.
Tebakanku berkata itu pasti Emma yang membawa handuk untukku.

Tanpa berpikir panjang, pintu kubuka begitu saja.

"Emma maaf lho merepotkan–"

"Lho?"

Lensaku tak bisa percaya akan siapa yang muncul dihadapanku kala itu.

Dia memang membawa satu handuk terlipat di tangannya.
Tapi dia bukan Emma.

"Kau kan.."

Lensa kami bertemu.

Bibirku gemetar, tau jelas siapa dirinya.

"I-Izana-kun?!"

×××××××
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro