Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 3 -

"Cukup sampai situ saja."

"Aaa.."

Aku membaringkan setengah tubuhku di atas meja, diatas buku terbuka.

"Lemah, besok aku akan melatih fisikmu."

Darahku seketika mendidih mendengarnya meledek tubuhku.

"Kau yang seenaknya menyuruh tidak pernah merasakannya sendiri!"

Suaranya terdiam.
Walau lewat ponsel sekalipun, aku bisa merasakan dirinya menatapku tajam saat ini.

"Iya maaf.. Aku yang lemah."

Hembus nafas terdengar darinya.
Suara roda dari kursi putar selanjutnya.

"Besok libur, kan? Aku akan mengajarimu teknik Kung fu dari ponsel."

"He? Apa? Kung fu?"

"Ya, Kung fu. Aliran bela diri dari cina. Cocok untuk menahan, bukan melukai musuh. Kau tau kung fu panda bukan? Aku akan mengajari teknik salah satunya yang mirip dengan mantis."

Y-ya.. Aku ingat jelas adegan kung fu panda, dimana seekor serangga hijau bernama mantis yang belajar kung fu hanya butuh mematok bagian krusial lawannya dan membuat mereka lumpuh seketika.
Tapi apa aku bisa melakukannya?

"Kuusaikan pembelajaran hari ini. Hanya tinggal beberapa buku lagi, kan? Bisalah ditunda sebentar. Fisikmu nomer satu."

"Mungkin kau benar, sen-"

Pip!

...

DUH!!
SETIDAKNYA DENGARKAN AKU SEDIKIT SAJA!

Apa aku se-menjengkelkan itu di masa depan?
Haah, tidak mungkin, tidak mungkin.
Tapi dia juga sebenarnya adalah aku.
Aaaaa... Entahlah!!

Tubuh kurebahkan diatas kasur, merehatkan punggungku yang sudah berjam-jam duduk menatap buku.

Tak lama ponsel yang kuletakkan diatas kasur mengeluarkan nada dering.
Pesan masuk, kah?

Aku memeriksanya, rupanya grub chat Emma dan Hina penyebabnya.

Mereka berdua terlibat dalam percakapan PR, Hina yang tampak kesusahan menarik Emma untuk mengajarinya.
Pada akhirnya mereka berdua putus asa akan satu soal yang tampak membingungkan.

Emma : "Hayoo, (y/n) ngeliatin aja daritadi, nggak ikut ngobrol. Udah ngerjain PR belum?"

Aku tertangkap basah olehnya.

Hina : "Eh iya, dibaca 3 orang. Konbawa (y/n)-chan~ PR mu sudah selesai, kah?"

Tunggu, apa?
Aku dapat PR?
Aaahh, kenapa aku melupakannya begitu saja?

(Y/n) : "Uhh, belum sih. Aku baru ingat ada PR malah."

Emma : "Wah, kebetulan kalau gitu. Yuk lah ngerjain bareng."

Hina : "(Y/n)-chan, bisa bantu aku nomer yang ini kah? Emma-chan sama aku lagi buntu nih T_T"

Aku melihat ke soal yang diberikannya, pelajaran kimia.
Tidak banyak yang kuingat dari kimia sih, berhubung tadi aku dipaksa belajar kedokteran dulu.

(Y/n) : "Tunggu sebentar ya, aku ambil kertas dulu."

Tak lama setelah mengambil alat tulis, aku mengajari mereka dengan teknik sensei secara tak langsung.

Mereka tampak cepat mengerti dengan penjelasanku. Bahkan langsung menjawab soal-soal itu dengan mudahnya.

Hina : "Akhirnya selesai!!"

Emma : "Akhirnya bisa rebahan~"

Hina : "Terimakasih (y/n)-chan! Sudah mau membantuku."

Emma : "Aku juga berterimakasih."

Aku menatap layar handphone dalam diam. Lantas secarik senyuman muncul di wajah.

(Y/n) : "Aku senang bisa membantu kalian :)"

Setelah bubblechat itu kami berlanjut berbicara banyak hal.
Mulai dari Emma yang membicarakan dua saudaranya, dilanjut Hina yang bercerita tentang pacar yang bernama Takemichi.
Oh, Takemichi toh namanya.
Pantes kepalaku minta di slending sama sensei.
Lha terus Takeomi siapa?

Hina : "Kalau (y/n)? Bagaimana les tadi?"

Aku terkejut saat Hina memanggilku di grub chat.

(Y/n) : "Ya.. Begitulah, berjalan lancar. Sensei memberiku pelajaran yang cukup berat dan banyak hari ini."

Emma : "Apa tuh? Matematika?"

(Y/n) : "Biologi. Aku disuruh menghafal semua yang dia berikan dalam satu waktu."

Hina : "Uwah... Kejamnya."

(Y/n) : "Ahaha, bukan apa-apa. Hanya latihan saja. Oh ya, kalau kalian mau tanya-tanya pelajaran, aku bisa membantu, kok!"

Hina : "Serius? Wahh~ terimakasih (y/n)-chan."

Emma : "Akhirnya nemu tentor.."

Aku terkekeh membaca chat mereka.
Tak sadar aku mengobrol dengan mereka sampai jam pukul sembilan malam.
Bahkan sampai mengucap salam selamat tidur, walau aku tak sempat mengetiknya karena terlelap lebih dulu.

Baru kali ini aku tertidur dengan nyamannya tanpa memikirkan hal apapun.
Hanya mengingat momen terakhirku bersama mereka sebelum mengatupkan mata.

Pikiranku selama ini salah.
Memiliki teman tidak buruk rupanya.

××××××

RIINGGG!!!

Alarmku berdering tepat di sebelah telinga.
Menyadarkan sosok yang terlelap ini untuk bangun pagi seperti biasa.
Walau di hari libur sekalipun.

Tak lama suara dering panggilan masuk terdengar. Nomor sensei tertera disana.

"Oh? Sudah bangun rupanya."

Dan jariku berakhir menjawabnya.

"Baiklah gadis malas, saatnya menggerakkan tubuhmu pagi ini."

"Aku beri waktu semenit untuk berganti. Mulai dari sekarang!"

"60.."

"59..."

Hey! Hey!
Itu tidak adil!!

Dengan penuh rasa panik, baju tidur kulempar begitu saja.
Lemari segera saja kubuka, menarik baju olahraga dan celana training, mengenakannya sambil berlari kearah pintu, tak lupa membawa ponsel yang tak juga berhenti menghitung.

Aku memilih halaman dekat ruang makan. Cukup saja untuk berolahraga ringan disana.

"20.."

"19..."

"Aku sudah siap!"

Sensei berhenti menghitung.

"Wah, cepat sekali. Bagus kalau begitu! Sekarang kau cukup ikuti instruksiku. Kalau bingung cari saja di yutub."

Sensei mulai mengintruksikan beberapa pemanasan lebih dulu padaku, sampai akhirnya memasuki teknik Shaolin.
Karena sudah lama tak menggerakkan tubuh, rasanya ototku sekarang menjerit kesakitan tiap bergerak.
Walau begitu sensei tak memperbolehkanku mengeluh, terus melatihku dan dia selalu tau apa aku melakukannya dengan baik atau tidak lewat suara. Psikologi mengerikan.

Di tengah-tengah nafasku sudah memburu. Kakiku sudah seperti jeli rasanya.

"Haah.. baiklah, istirahat 10 menit. Minumlah sedikit atau luruskan kakimu saja."

Sebentar aku berpikir saat dia mengucap tiap kalimat dengan kasar. Bukan, maksudku, hampir setiap perintahnya begitu dingin.

"Ano, sensei, aku boleh tanya?"

Dia hanya berdehem pendek.

"Kenapa kau selalu memerintahku begitu dingin? Apa ada maksud dari itu?"

Dia tak menjawab sebentar.
Menyiapkan kata-kata untuk dilontar.

"Dunia orang dewasa itu berat. Mau tak mau kau harus berubah, keluar dari cangkang, terpaksa bergerak walau kau tak ingin."

"Sekalinya kau tertinggal, tak akan ada yang bisa menolong, kecuali dirimu sendiri."

"Makanya aku melatihmu agar bisa berdiri di kakimu sendiri. Dengan itu, kau bisa melindungi orang yang kau sayangi."

Suara teguk air mineral terdengar darinya. Sebentar dia terbatuk untuk menjernihkan tenggorokannya.

"Kau sudah selesai? Kita bisa mulai lagi."

Tanpa menolak, karena kau tau dia pasti memaksa, aku kembali berdiri, bersedia mengikuti instruksi lagi.

"Nee, sensei. Apa kematian seseorang merubahku menjadi dingin di masa depan?"

Dia terdiam seketika saat memberi instruksi.
Bibirnya menghembus nafas, niat berkata tapi tak jadi.

"Asal kau tau, ada banyak hal yang begitu berdampak besar pada hidup manusia."

"Salah satunya adalah kehidupan dan kematian. Kedatangan dan kepergian."

"Kau benar, kematian sudah biasa jadi pemandanganku. Walau aku bekerja sebagai seorang yang menunda itu, setidaknya memperpanjang hidup mereka sedikit."

"Namun pada akhirnya tak ada satupun yang bisa kuselamatkan. Kau tak akan pernah tau rasanya memegang nyawa seseorang di tangan, sedetik kemudian mereka menghilang."

"Kau hanya bisa diam dan melepas semua begitu saja."

Intonasi sensei terdengar semakin parau.
Dia seperti mengusap wajahnya.
Kembali dengan hela nafas penenang jiwa.

"Aku malah menakutimu jadinya. Sudahlah, lupakan, hal itu bisa berubah kalau kau sekarang mau berubah."

"Lanjut!"

Aku kembali menggerakkan tubuhku sesuai instruksinya.
Dalam latihan itu, pikiran terpecah jadi dua, salah satunya berusaha membayangkan apa yang dia katakan.

Tidak bisa, aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi di depanku, bahkan dengan tanganku sendiri.

"Ah!!"

Kekuatan tanganku menahan berat tubuh seketika menghilang.
S

ensei yang menyadari itu kembali menghela nafas.

"Kalau sudah fisik tidak bisa dipaksa cepat, ya?"

Nafasku memburu, degub jantung ikut berseru.
Tepat saat tanganku mengusap tetes keringat di dahi, suara bel rumah terdengar, diikuti suara melengking dari luar rumah.

"(Y/n)-chan!"

Itu suara Hina!

Sensei terdiam sejenak, sebelum akhirnya memutuskan untuk mengusaikan latihan hari ini.

"Eh? tapi... aku belum menguasainya."

Dia tak menjawab, walau begitu aku bisa merasakan senyumnya.

"Ingat hal yang tak bisa dibeli dengan uang? Momenmu dengan orang lain."

"Sekarang pergilah."

Lensaku melebar saat dia mengatakan kalimat terakhirnya dengan suara lembut.
Aku hanya mengangguk, memutus panggilan dan membalas suara Hina.

"Ya!! Tunggu sebentar! Aku habis olahraga!"

Langkahku berlari ke arah mereka yang menungguku di depan gerbang.

××××××

Mereka berdua mengajakku jalan-jalan rupanya. Jalanan kota menjadi tujuan, Emma dan Hina dengan mudahnya tertarik dengan hal-hal imut atau berhubungan dengan wanita.

Sementara aku bukannya tertarik, justru berpikir apakah hal itu digunakan atau tidak nantinya.
Aku tau ini bukan waktunya bersantai.
Dua orang disampingku akan menghadapi kematiannya kalau aku tak bersiap dari sekarang.

"(Y/n), kemari!"

Emma memanggilku yang mulai memencar dari yang lain.

Dia menunjuk kearah toko yang menjual berbagai model tas, dari pria maupun wanita.

"Yang ini lucu, nggak sih, Emma-chan?"

"Hum! Terlihat cocok dengan Hina. Sama lucunya!"

"Ihh, jangan bikin malu dong."

Hina melirik kearahku yang tampak memikirkan hal lain.

"(Y/n)-chan, kau tak apa?"

Lamunanku pecah.
Bibirku mulai mencari kata-kata untuk menjawab.

"U-uhm... Aku bingung tas mana yang bagus."

Pura-pura memerhatikan tas, mencari mana yang cocok, sampai akhirnya lensaku jatuh pada tas pinggang berwarna hitam.

Kalau dilihat-lihat, ukuran tas itu cukup untuk membawa banyak barang. Cocok juga dibawa kemana-mana.

"Menurut kalian yang ini gimana?"

Aku mengambil tas pinggang itu, kutunjukkan pada mereka.

"Oh, (Y/n) suka tas pinggang?"

Antara iya dan tidak, aku hanya butuh saja.

"Mungkin begitu? Aku hanya melihat tas itu bagus saja."

Hina memerhatikan tas yang kubawa.

"Kalau menurut (Y/n)-chan bagus, berarti memang bagus! Hmm, bagaimana kalau langsung ke kasir saja?"

Aku mengangguk, berjalan bersama mereka menuju kasir untuk membeli tas pinggangku.
Syukurlah uangku cukup, bisa bahaya kalau tidak.

Seusai membeli tas, kami kembali menyusuri jalanan, mencari beberapa cemilan atau sekedar berjalan santai.

Hingga di tengah jalan, Emma menyapa seorang lelaki bertubuh besar seperti ̶t̶̶i̶̶t̶̶a̶̶n̶ raksasa. Kepalanya botak sebelah, berlukis tato naga hitam, surainya pirang sama seperti Emma.

"Draken!"

Lelaki itu menoleh, tepat disebelahnya seorang lelaki yang jauh lebih pendek darinya ikut melihat ke arah Emma.

"Mikey-kun juga ada disini."

Mereka berdua menghampiri dua lelaki itu, aku hanya bisa mengikuti mereka dari belakang.

"Oh, Hina dan Emma rupanya... Yang itu siapa? Teman baru kalian?"

Lelaki berukuran kecil-mungkin namanya Mikey tadi, menunjuk kearahku.

"U-uh, h-hai? Namaku (Y/n)(f/n), teman sekelasnya Hina-chan."

Augh, aku tak pandai berbicara dengan orang baru. Apa dia akan mengejekku atau gimana?

Mikey mengedipkan matanya, lantas dia tersenyum.

"Namaku Mikey, saudaranya Emma. Dia Draken. Salam kenal, (y/n)."

Tidak mengerikan, syukurlah.
Yang kutakutkan masih seorang bernama Draken yang daritadi melihat kearahku, lalu mengabaikannya begitu saja.

"A-ah, iya, salam kenal juga Mikey-kun."

Aku mengangguk sampai membungkuk padanya.

Mikey mengedip-ngedipkan matanya, tawa terdengar selanjutnya.

"Kau pemalu sekali, (y/n). Tapi tak apa."

"Emma, aku pergi dulu, ada urusan."

"Uhm, jaa na!"

Mereka pergi bersamaan.
Sebentar tanda tanya memutari kepalaku.

"Anoo, Emma-chan."

Emma menoleh padaku.

"Jas Mikey-kun, kenapa berbeda dari jas biasa ya?"

"Ooh, itu? Mikey itu pemimpin Tokyo Manji."

"Tokyo manji?"

"Uh hum, salah satu geng terbesar di Tokyo. Takemichi juga ada disana."

Seketika rasa tenangku surut.
Serius kalian tidak masalah hidup di lingkungan begitu?
Aku yang memikirkan resiko skenario terburuk kalian saja sudah pening.
Susah sekali merubah masa ini!!

"B-begitu ya? Aku baru tau."

Emma mengangguk, dia menepuk pundakku.

"Tenang saja! Mereka tak akan menyakitimu."

Aku hanya bisa mengangguk.
Masih tak bisa membayangkan bagaimana nasibku yang sudah masuk ke bagian dari ini.

×××××

"Selamat datang, kau seperti lelah sekali."

Aku mendaratkan tubuhku diatas kasur.
Berguling-guling, sambil merengek 'tidak mungkin'.

"Hm? Apanya yang tidak mungkin?"

Ponsel kuraih, tepat di depan layarnya, aku berteriak.

"KENAPA KAU TIDAK BILANG MEREKA BAGIAN DARI GENG?!"

Sensei terdiam, tak menduga shock ku yang lebih dari biasanya.

"Ya.. Kalau kukasih tau, kau pasti sudah menyerah diawal, kan? Bukannya bagus kalau hidup punya kejutan?"

"Terlalu banyak kejutan.. Bisa copot jantungku."

"Copot? Sini kuoperasi, aku kasih biaya gratis."

"Tidak, tidak, terimakasih."

Hela nafas lelah terhembus dari bibirku.
Apa mungkin ini tujuan sensei mengajariku bela diri? Karena yang kuhadapi nanti adalah anak geng?
Mau bilang tidak mau pun, aku sudah terlanjur ikut campur, sudahlah.

"Oh ya, tadi aku beli tas pinggang."

Entah topik apa yang kuangkat.
Tapi sepertinya sensei senang mendengarnya.

"Bagus! Aku akan menambah barang yang harus kau bawa nantinya. Sekarang, catat."

"Serius?! Hey, tunggu!!"

Haah! Baru saja istirahat sudah disuruh-suruh lagi.
Tanpa menolak, kertas dan pulpen kuraih untuk menulis barang yang diinginkannya.

Kasa, perban, satu set alat bedah(?), gunting, alkohol botol kecil.

"Sudah, itu cukup untukmu. Jangan lupa bawa jarum akupunturmu kemanapun."

Aku menatapnya kesal.

"Kenapa aku harus bawa? Apa aku akna diserang nantinya?"

Sensei terdiam.
Suara kertas buku terbalik terdengar.

"Kalau kau merubah diri menjadi lebih baik, lebih berat pula tantangannya."

Suara buku tertutup.

"Kau jadi buronan mereka nantinya."

Seperti disambar petir tak tampak, aku terpaku dalam diam.

"Makanya aku melatihmu. Kau tak ingin mati bodoh, kan?"

Aku menggeleng.

"Bagus kalau masih punya keinginan hidup. Sekarang buka buku tentang akupuntur."

"Tidak kedokteran?"

"Setelah akupuntur."

Aku nyaris membanting ponselku, baru ingat aku cuma punya satu.

"Kau tak punya banyak waktu, ingat? Sekarang atau kehilangan selamanya."

Aku menarik nafas dengan terpaksa, lalu menghembuskannya.
Kembali berpacu lagi pada buku-buku yang entah akan berguna kapan ilmunya.

Yang ku tau adalah sensei sudah mempersiapkan semua ini sedemikian rupa untuk semua yang akan kuhadapi nanti.

Semoga saja aku bisa melewatinya, haah..

×××××××
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro