Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

- 10 -

Pagi.
Dimana semua aktivitas hari dimulai saat ini.

Katup yang terbuka setelah nyenyak tertidur, menyadari sesuatu yang berubah dari tempatnya.

"Lho? Selimut?"

Selimut yang selaras dengan warna kasur terbentang diatas tubuhku.

"Kemarin juga... Bukannya aku tertidur disini?"

Lensaku tertuju pada tepi kasur.
Mengingat kembali apa yang sebelumnya terjadi dan sesudahnya.

"..papa.."

Hanya seorang saja yang bisa mengangkatku kembali ke kasur.
Orang yang kemarin begitu kubenci hanya karena keputusannya tak sesuai dengan keinginanku.

Tubuhku langsung saja bangkit dari kasur. Menendang selimut dan bergerak cepat ke lantai satu.

"Papa!"

"Hm? Ada apa, sayang?"

Hanya mama yang ada disana.
Pandangan kuedarkan pada sekitar.

"Papa dimana?!"

Mama menatapku sebelum akhirnya kembali fokus ke masakannya.

"Dia pergi bekerja lebih dulu. Oh ya, dia juga meninggalkan sesuatu diatas meja makan untukmu."

Aku berjalan kearah meja.
Melihat sesuatu seperti dua bungkus permen diatas kertas.

Maafkan papa kemarin.
Kau boleh menemuinya, tapi berhati-hatilah.

Lensaku menghangat, air mata tak lama menggenang dan jatuh dari sana.

Mama hanya melirik kearahku dalam diam. Tau jelas apa yang terjadi sebenarnya dan memilih agar semua berjalan seperti yang seharusnya.

Dua permen diatas kertas kuterima, kertas tulisannya kudekatkan pada dada.

"Terimakasih.. Papa.."

Senyumku tak lama tumbuh.
Aku berlari menghadap mama untuk menerima sarapan darinya.

Hanya dua orang yang memenuhi ruang itu. Seorang lagi bekerja demi menafkahi keluarga, tak pernah lelah berjuang untuk orang tercinta.

Nuansa hangat penuh rasa kekeluargaan.
Aku sudah merasakannya sedari dulu.
Itulah kenapa, aku ingin Izana merasakan hal yang sama.

Secara bersamaan, rasa semangatku untuk terus berkembang dalam berbagai bidang yang diajarkan sensei semakin menampakkan raganya.

Aku ingin dia tetap hidup.

Aku ingin dia terus berada disana.

Aku ingin dia bahagia.

Tiga kalimat penyemangat kubawa pergi bersama kaki yang berlari.
Kembali menuju bangunan tempatku menimba ilmu pengetahuan setelah sehari tak tampak disana.

Seperti biasa, setiap kaki menginjak lantai kelas, Hina menyapa bahkan merangkulku.
Rasa hangat yang kurasakan selama ini.
Entah dari keluarga ataupun teman dekat, atau dari siapapun.
Apa aku bisa membagikan sebagian dengannya suatu hari nanti?

××××××

"Benar begitu. Tak perlu takut, kau melakukannya dengan benar."

Bimbingan sensei menuntunku perlahan, menyempurnakan teori ataupun praktek yang di ajarkannya untuk menghadapi masa mendatang.

"Nee, sensei."

Sensei terdiam, mendengarku.

"Apa aku bisa menyelamatkan Izana?"

Dia tersenyum.

"Aku percaya kau bisa."

"Apa aku bisa membuatnya hidup bahagia seperti yang seharusnya nantinya?"

Sensei tak menjawab, aku tak tau apa ekspresinya sekarang.

"Selama kau punya harapan di dada. Katakan pada dirimu, semua bisa kau lakukan."

"Tidak mungkin bisa jadi mungkin. Penderitaan awal mula bisa menjadi akhir yang indah."

"Semua bergantung padamu. Selagi kau masih bisa berpikir positif, tak ada yang bisa mengalahkanmu."

"Lebih percayalah pada dirimu sendiri."

"Karena orang sekitarmu juga percaya padamu. Kau bisa melakukannya."

Kalimatnya berhasil memberi secercah cahaya padaku.
Semangatku tersulut dengan kata-katanya yang lembut.

"Aku akan melakukan yang terbaik!"

Tanganku terus bergerak sesuai intsruksinya.
Semakin lama semakin sempurna.
Semakin hari semakin mengusainya.

Walau hal yang kutakuti harus kuterjang.
Walau skenario terburuk harus kuhadapi.
Demi menggapaimu yang ada di ujung sana.

Aku percaya..

Aku percaya kau akan mendapat hidup yang kau inginkan.

××××××

Hari demi hari berlalu.
Waktu terus terhitung mundur.

Entah kapan tepatnya.
Harimu akan tiba.
Kala diriku sudah siap jiwa raga.

"Kau siap?"

Sensei mempertanyakan kesiapanku.

Tentu, anggukan mantap jawabanku.

Segala perlengkapan medis tertata dalam tas ku. Pula senjata dan ponsel, semakin memperkuat rasa yakinku untuk menghadapi sesuatu yang kunanti.

"Menuju dermaga."

Aku berlari ke arah dermaga terdekat yang sudah sensei sebutkan detail lokasi sebelumnya.

Dirinya yang menungguku disana.
Menghadapi musuh terbesar dalam kisah antara kita.
Aku siap untuk menghadangnya, menghindarkanmu dari akhir yang sebenarnya, menuju salah satunya yang memiliki secercah cahaya untukmu, ruang bahagia untukmu.

Kakiku terus menambah kecepatannya.
Berlomba dengan langit jingga yang mulai terlahap dengan kegelapan di punggungku.

Area dermaga sudah kumasuki.
Tepat saat kaki menginjak tanahnya, dentuman senjata api terdengar dari suatu arah.

"Secepat ini?! Cepat pergi!"

"Ingat, luka tembak harus ditangani dengan cepat."

"Lumpuhkan Kisaki secepat mungkin."

Nada sambung terputus.
Sensei menyerahkan semua padaku kali ini.

Tubuh kucondongkan ke depan, menepis udara malam, mempercepat gerakku.

"Belok kiri."

Ucapku yang reflek memutar ke kiri, mempertemukan mataku padaku suatu scene berlumur darah.

Kakucho terkapar dengan satu luka tembak di dadanya.
Izana menggeram.
Kisaki masih berdiri menggenggam pistolnya, memunggungiku.

BANG!

Satu peluru menembus dadanya tepat saat aku berlari kearah Kisaki.

Kisaki yang berpikir rencana memusnahkan dua orang sekaligus itu tak mengira seseorang tengah berlari kearahnya dengan kecepatan tinggi.

"Urgh!!"

Lengan kiriku mencekik lehernya, menarik tubuhnya ke belakang, sesaat sebelum dia menarik pelatuknya lagi.

Tangan kanan yang menggenggam senjata api itu terangkat keatas, menembak ke angin kosong.
Tubuhnya jatuh bersamaku.

Tangan kananku melilit tangan kanannya, menyampar senjata api dari tangannya, jauh dari posisinya saat ini.

"Kau–"

Tubuhnya berputar secepat mungkin.
Tangannya meraih leherku, mencekik.

"Berapa kali kau mau mengangguku, ha?"

"Sepertinya aku harus mengakhirimu juga."

Tangannya semakin erat mencekik.
Menahan alur udara untuk masuk ke dalam paru-paruku.
Pikirnya positif, aku akan mati tercekik di tangannya, melihat rautku yang semakin tampak kesakitan.

"K-kau... yang... berakhir..."

JREB!

Tangan kiriku yang tak menahan cekikannya sedari tadi meraih jarum.
Secepat mungkin menancapkannya pada lehernya.

Dia yang tak mengira aku tetap akan bergerak saat tercekik hanya bisa menatap tak percaya dengan lensa terbuka.

Tubuhnya kaku, langsung saja kutendang menjauh dariku.

"Uhuk! Uhuk!"

Nafasku terbebaskan.
Tapi bukan itu yang harusnya kubanggakan.

"Izana-kun!!"

Kakiku kembali menumpu tubuh.
Bergerak kearahnya yang terkapar di samping Kakucho.

Kubangan darah di sekitarnya menggetarkan diriku.
Tapi aku memaksakan diriku untuk melawan rasa takut bercampur mual yang kini bergejolak.

Bukan waktunya takut.

Bukan waktunya mundur.

Gulungan kain kasa kutarik, membuat bantalan putih. Ujungnya kusobek tanpa gunting, kugigit begitu saja.

"Bertahanlah Izana-kun, Kaku-san!"

Dua bantalan kutekan di bagian dada, menahan pendarahan mereka.

"Kumohon... Kumohon bertahanlah!!"

Dua tanganku sibuk menahan pendarahan mereka.
Aku sama sekali tak bisa mengambil ponselku untuk memanggil ambulans.

Sensei tak mengajarkanku operasi berat. Dia hanya mengajarakanku cara membedah luka kecil sampai sedang.

Ini diluar jangkauanku!

"Seseorang kumohon.."

Kumohon bantu aku.

Suara tapak kaki terdengar di belakangku.
Entah sejak kapan dia disana, sepasang lensa benar-benar menangkap jelas kejadian itu.

"Mikey-kun!"

Dia terpecah dari lamunannya, berlari kearahku.

"Ambil ponsel di tas pinggangku. Resleting kedua. Panggil ambulans, cepat!!!"

Suaraku melengking cukup kencang.
Menahan segala beban dalam dada.
Entah phobia, entah khawatir, entah ketakutan, semua larut menjadi suatu rasa yang begitu berat untuk kutanggung.
Tapi saat ini, bukanlah saat yang tepat untuk menumpahkannya.

Mikey dengan cepat meraih ponselku.
Memanggil nomer ambulans.

"Dermaga! Kami ada di dermaga!!"

Hanya kalimat itu yang kudengar benar di telinga.

Sepasang mataku hanya fokus pada dua dada yang terus menitikkan darah.
Kubangannya melahap paha dan kakiku.
Bahkan tanganku yang sedari tadi menekan luka dalam itu semakin lama semakin ternoda dengan warna kemerahannya.

Degub jantungku berdetak cepat.
Tanganku mulai gemetar.
Keringat menitik di pelipis.
Bahkan pandanganku mulai membayang, memasuki fase delusi dari phobia sendiri.

Tidak, bukan waktunya untuk takut.

Aku harus melakukannya.

Aku harus menahannya.

Aku harus menyelamatkan mereka!

Tak lama ambulans datang dengan berbagai perlengkapan.
Tim medis membantuku menahan pendarahan mereka, mengangkat tubuh mereka menuju ambulans.

Aku yang hendak berjalan menuju ambulans, terhenti saat Mikey masih berdiri disana.
Sepasang matanya terpaku pada tubuh Kisaki yang tak berkutik karena jarum akupunturku.

"Mikey-kun, kau ikut!"

Dia menoleh padaku sebentar, namun kembali pada Kisaki.

"Aku harus mengurusnya lebih dulu."

Aku memiliki firasat buruk untuk ini. Khawatir Mikey akan melakukan hal yang tidak-tidak pada orang itu.
Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Izana dan Kakucho.

"Jangan termakan emosimu, Mikey-kun!"

Ucapku sebelum tim medis menutup pintu ambulans untukku.
Meninggalkan Mikey dan tubuh Kisaki sendiri.

Pandangan dermaga penuh darah kini berubah menjadi pemandangan tubuh Izana berlumur darah.
Kakucho ada di ambulans sebelah, aku memilih untuk bersama Izana.

Tim medis menahan pendarahannya, memberi suplai oksigen dan segala kebutuhan untuk menahan efek luka tembak.

Aku tak bisa melakukan apapun, selain menautkan dua tanganku, berharap semua berhasil terselamatkan.

Tak perlu waktu lama untuk mencapai rumah sakit.
Mereka berdua langsung dilarikan menuju ruang operasi.
Lampunya menyala, menyatakan dokter tengah bertindak cepat untuk mereka.

Aku yang hanya bisa menemaninya sampai di depan ruang itu hanya bisa terdiam.

Dua tangan berlumur darahnya dan darah Kakucho, kutatap. Sepasang kakiku juga sama merahnya dengan tanganku.

Bayangan mimpi buruk sedikit demi sedikit melahap pandanganku.

Hari dimana aku bersikeras menyelamatkan orang lain.

Lumuran darah dimana-mana.

Sarung tangan putih steril membungkus tanganku.

Gunting bedah yang kugenggam.

Deru nafas terus memburu.

Bahkan jantung tak sedikit pun berhenti berseru.

Apa aku akan kehilangan mereka?

Apa aku melakukannya dengan benar?

Apa semua akan baik-baik saja?

atau justru sebaliknya?

Pandanganku semakin gelap, semakin redup.
Lensaku tak bisa menerima cahaya terang lampu lorong.
Kaki tanganku tak bergerak, termenung begitu saja.

".../n)... (Y/n)-chan!!"

Suara dua orang terdengar dari ujung lorong. Memecah bayangan gelap mimpi burukku.

"Emma... H-hina-chan..."

Keduanya berhenti berlari saat melihat penampilanku.
Noda merah menetes dari tangan maupun ujung celanaku.

Dua bola mataku memanas.
Air mata tak sanggup lagi kubendung.

"A-aku...hiks... Ak-ku..."

Hina termenung, menutup mulut dengan telapaknya. Hanya Emma saja yang berani mendekat. Pergelangan tanganku digenggamnya, membuatku untuk percaya padanya.

Senyum lembut dia tampakkan.

"Kita bersihkan dirimu dulu ya?"

Aku mengangguk pelan, dengan tubuh gemetar.

Emma menuntunku menuju kamar mandi paling dekat dengan ruang itu.
Membantuku membersihkan noda merah dariku.

"E-emma.."

Emma melirik kearahku saat dia membasuh tanganku setelah membersihkan celanaku.

"Apa mereka baik-baik saja?"

"Apa mereka selamat..?"

Emma memerhatikan gemetarku yang semakin hebat.

Alisnya mengerut, dia khawatir padaku.
Satu dekapan diberikan untukku.
Bibirnya berbisik di dekat telingaku.

"Kau sudah melakukan yang terbaik, (y/n)."

"Mereka pasti baik-baik saja. Aku percaya itu."

Dua tanganku perlahan bergerak naik.
Mencengkram dua pundak milik Emma.
Mulutku tak kuasa lagi terus bungkam.
Jerit dan tangis bercampur jadi satu.
Kuluapkan begitu saja pada Emma.

Dua tangan Emma mengusap punggungku lembut.
Mengatakan bahwa tak apa untukku mengeluarkan semua emosi yang sedari tadi kutahan.

×××××××

Hina-chan yang bergilir menunggu di depan pintu, menatap kearahku yang berjalan bersampingan dengan Emma.

Dia juga memelukku.
Bahkan membagi rasa sesak dalam dada.

Rasa ini...

Rasa yang menenangkan ini..

Bayangan mimpi burukku terhapus perlahan.
Memburam dan menghilang dari pandangan.

Tak lama setelah itu, Mikey datang dengan kelompoknya.
Wajahnya tampak begitu santai.

Dia berjalan mendekatiku, memberikan ponselku.

"Aku menelfon Emma dan Hina kemari tadi. Sudah kujelaskan semua situasinya."

Ponsel kutatap, lantas melihat kembali ke Mikey.

Mikey tersenyum padaku.
Tangannya menepuk pundakku.

"Kau sudah melakukan hal yang benar."

"Terimakasih."

Sekali lagi air mata beningku terjatuh.
Sontak aku mengusapnya dengan lenganku.

"Uhm, maaf, aku harus menelfon seseorang dulu."

Mencari alasan pergi dari mereka.
Tapi ada benarnya alasan itu, aku ingin menelfonnya.

Langkahku berhenti di depan pintu utama rumah sakit.
Layar ponselku sudah menyiapkan nomernya di layar.

Pip!

Trr..

Trrrr...

Clack!

"Kau menelfon?! Aku baru saja ingin menelfonmu tadi.".

Isakku masih belum mereda.
Tak sengaja terdengar olehnya.

"Bagaimana?"

Dengan agak terpatah-patah, aku menjelaskan semua dari awal hingga detik ini.
Dimana Kisaki masih berhasil menembak Izana, kemudian Mikey datang membantuku memanggil ambulans dan terakhir adalah momen dimana aku menunggu jawaban finalnya.

Sensei terdiam. Menungguku yang mungkin masih ingin berkata.

"S-sensei...".

"Hm?"

"A-aku melakukannya dengan benar kan?"

"Dia akan selamat.. k-kan?"

Suara gemetarku membuatnya merepons dengan hembus nafas singkat.
Dia seperti berusaha tersenyum padaku dari balik layar.

"Hm, kau melakukannya dengsn benar."

"Aku percaya dia akan selamat, berkatmu."

"Semua juga mengatakan itu padamu kan?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kau tak perlu khawatir."

"Aku yakin, 100%, dia akan baik-baik saja!"

Dia berusaha menghiburku sebaik mungkin.

"Sekarang, kau berhentilah menangis. Masa depan akan berubah karenamu!"

"Mana senyummu hari itu? hm? apa kau perlu dirinya untuk menghiburmu dulu?"

Aku hanya bisa meringis miris mendengarnya.

"Lihat? Kau sudah bisa tersenyum sekarang. Pertahankan itu sampai kau bertemu dengannya lagi, oke?"

Anggukan menjadi jawabanku.

"Kuakhiri dulu panggilanku. Selanjutnya kau harus melihatnya dengan mata kepalamu sendiri."

Aku terdiam mendengarnya.
Apa yang baru dia katakan, apakah sebuah kata perpisahan?

"Tunggu sensei!"

Sensei berhenti.

"Ada apa? Ada yang ingin kau sampaikan padaku sebelum menutup panggilan hari ini?"

Aku memilah kata yang cocok untuknya.

"Tak perlu memikirkannya, cukup kau ucapkan saja."

Bibirku perlahan terangkat mendengarnya mengatakan itu.


"Berbahagialah di masa depan sana!"

Bibir sensei terhenti, dia sempat terdiam sebentar hingga tawa kecil manis yang tak pernah terdengar keluar dari bibirnya.

"Kau juga."

"Jangan lupa untuk bahagia di masa mu."

"Masa muda adalah masa terindah. Jangan sia-sia kan momenmu disana."

Kami berdua saling tersenyum.
Dua orang yang memiliki satu tubuh, terpisah dalam dimensi waktu.
Berbicara hanya lewat layar, saling mengabarkan peristiwa beda masa.
Bersama meraih masa depan cerah.
Bersama berjuang melawan ketakutan, tumbuh menjadi seorang yang lebih hebat dari sebelumnya.

"Sekarang, boleh kuakhiri panggilannya?"

Aku mengangguk, seraya air mata hangat bergerak turun setitik ke pipiku.

"Sampai jumpa, diriku di masa depan."

Senyumku berhias air mata bahagia.
Akan peristiwa yang bisa jadi terlukis sebagai perpisahan.

"Sampai jumpa, diriku di masa lalu."

Pip!

Panggilan berakhir.
Tak tau akankah kami bisa mendengar masing-masing suara lagi di hari mendatang.

Hatiku sudah mantap.
Tak ada lagi rasa takut.

Tak ada lagi berjalan mundur.
Hanya jalan setapak yang mengarah lurus padamu.

Padamu, yang kini bergerak menuju masa depan cerah.

×××××××
To be continued






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro