- 1 -
"Gadis itu akan meninggal."
"Kalau kau tak merubah dirimu mulai sekarang."
Deg!
Jantungku serasa berhenti mendengar apa yang baru dikatakannya.
"K-kau jangan mengatakan hal konyol, ya! Prankmu sama sekali tidak lucu!"
"Tunggu! Dengarkan aku (y/n)!"
Jariku menghentikan niatnya untuk memutus panggilan.
"Bagaimana kau tau namaku?"
Hela nafas terdengar dari ponsel.
"Baiklah, biarkan aku memperkenalkan diriku dulu."
"Aku adalah (y/n) dari 20 tahun mendatang."
"Setelah berbagai macam penelitian dan perakitan, aku akhirnya menemukan cara untuk berkomunikasi dengan diriku di masalalu melewati ponsel."
Weh, dunia sudah maju rupanya.
"Lalu kenapa kau menelfon dirimu 20 tahun sebelumnya? Mengabarkanku kematian orang-orang?"
Dia termenung.
"Satu persatu, kau akan melihat kematian mereka dengan tangan kosong. Kau tak bisa melakukan apapun selain melihat mereka mati di depan matamu."
Sekali lagi aku terdiam, shock mendengarnya.
"Aku ingin mengubah masalalu selagi bisa. Walau hasilnya mustahil sekalipun."
"(Y/n) dengarkan aku, kau bisa merubah masa depan. Tidak–maksudku kita. Kau bisa melakukan sesuatu sebelum kematian mereka datang!"
Bibirku gemetar, bingung ingin mengucap apa.
Lantas bayangan diri yang tak bernilai kembali menghantui.
"Itu tidak mungkin. Dengan diriku yang begini? Apa kau 100% yakin aku yang sekarang bisa melakukan hal itu? Menyelamatkan orang lain? Jangan bercanda."
Cairan bening memburamkan pandangan.
Menyadari realita sendiri sudah cukup berat untukku.
Diriku dari masadepan terdiam.
Sebelum akhirnya kembali berkata.
"Aku percaya. 100%."
Suaranya terdengar begitu percaya diri.
Seperti dia sudah tau apa yang akan terjadi.
"Kau hanya perlu bekerjasama dan mengikuti petunjukku. Akan kupastikan semua orang baik-baik saja untukmu. Bagaimana?"
Aku tak juga menjawab.
Masih tak percaya kalau diriku di masa depan memohon padaku untuk merubah alur hidupnya.
"(Y/n), Aku tau kau sedang shock sekarang. Tapi kita tak punya banyak waktu selain memulainya dari sekarang."
"Maka dari itu, kumohon, izinkan aku merubah masa lalu ataupun masa depan!"
Bunyi isakan terdengar setelah dia mengatakan kalimat itu.
Dari suaranya, seperti dia sudah melihat semua kegelapan yang belum pernah terlihat olehku saat ini.
Air ludah kutelan, ini bukan sesuatu yang mudah untuk dikerjakan, tapi aku juga tak mau menyesal di masa depan.
"Baiklah."
Isakannya terhenti.
"Aku... menerimanya."
Diri masa depan terdiam, dengan lembut dia berkata...
"Terimakasih sudah mempercayaiku, (y/n)."
Sebenarnya agak aneh berbicara dengan diri sendiri, tapi ya sudahlah.
"Aku sedang perjalanan ke rumah. Kau tau tidak baik kan menelfon di jalan? Sampai sana saja kau jelaskan semua."
"Uhm! Aku akan menelfonmu lagi nanti. Jaa."
Pip!
Nada sambung terputus.
Hanya bersisa layar handphone biasa.
Mengubah masa depan ya...
Bukan hal yang mudah.
Apalagi berhubungan dengan hidup dan mati seseorang.
Urgh, apa aku bisa melakukannya?
×××××
"Aku pulang!"
Papa dan mama seketika menghampiriku.
Mama merangkul tubuhku yang basah kuyup.
"Syukurlah! Syukurlah kau baik-baik saja."
Sementara papa menatapku dengan wajah penuh khawatirnya.
Tidak, dia tak pernah marah, lebih memilih pergi begitu saja kalau naik darah.
"Maaf, hujannya deras, aku jadi harus berteduh dulu."
Mama melepas rangkulannya.
"Ah, maaf mama malah memelukmu. Jadi ikut basah, hahaha. Uhm, bagaimana kalau kau mandi dulu (y/n)? Agar tidak masuk angin."
Aku mengangguk.
Lantas berlalu dari mereka menuju lantai dua.
Bisa dibilang keluargaku cukup mampu untuk membeli rumah sendiri.
Bagaimana tidak? Sepasang kekasih dengan pekerjaan yang sama, dokter pula.
Kembali ke realita, kamar berlokasi di lantai dua dengan kamar mandi pribadi.
Walau tidak terlalu besar, setidaknya cukup untuk membersihkan diri.
Seragam basah kulepas, begitu juga rok sekolah, memasukannya ke kotak laundry. Kemudian berjalan menuju kamar mandi, membilas tubuh telanjang dengan air hangat.
Seusai mandi, pakai kering nan bersih kugunakan. Oh ya, aku lupa memasukkan sapu tangan milik Emma ke dalam laundry. Langsung saja kumasukkan.
Baru saja semua kerjaan selesai, ponselku berdering, nomer tak dikenal itu kembali memanggil.
Dengan cepat aku mencari dimana earphoneku berada, menancapkan audio jacknya ke ponsel.
"Moshi moshi, kau mendengarku kan?"
"Ya."
"Bagus–"
"Sekarang bisa kau kenalkan dirimu dulu? Kau pasti sudah tau identitasku, masa lalumu maksudku, tapi aku tak tau seperti apa aku di masa depan."
Diriku dari masa depan terdiam. Dia tampak lebih banyak diam rupanya, masih mirip denganku saat ini.
"Baik, baik, namaku–kau sudah tau namamu sendiri, tak ada yang berubah."
"Umurku sudah menginjak usia dewasa. Sekarang aku sedang bekerja di bidang kedokteran juga mempelajari psikologi dan melek teknologi. Ah ya, juga akupuntur, aku bisa menggunakan itu untuk bela diri."
Uwah.. Seram sekali.
"Aku sudah bekerja berkali-kali di bagian unit gawat darurat. Terkadang operasi juga. Tapi jauh dari segala gelar yang ingin kuraih, aku tak bisa menyelamatkan satu pun nyawa dari mereka."
Lonjakan kejut menegangkan tubuhku.
"Sepintar apapun kau nantinya, setinggi apapun kau jadinya. Kau tak akan bisa menyelamatkan siapapun."
"Kau hanya melihat mereka mati satu per satu dengan tangan kosong."
"Dari diam mu saat ini, aku tau kau shock mendengar perkataanku."
"Dengar, kita bisa mengubah ini bersama. Ingat persetujuan kita tadi?"
Aku mengangguk.
"Lalu apa yang harus kulakukan untuk merubahnya?"
Diriku dari masa depan seperti tersenyum melalui layar.
"Merubah dirimu dan menemukan siapa orang yang berharga untukmu. Entah keluarga, teman atau siapapun, aku tak peduli. Pokok mereka bisa memicu keberanian dan keinginanmu untuk menyelamatkan orang lain."
"Itu tidak mudah.. Kau tau kan kalau aku–"
"Kau menyukainya gadis itu kan? Emma maksudku."
Mulutku tertutup rapat.
Bagaimana dia bisa tau?
Gelak tawa terdengar darinya.
"Maaf sudah menyelamu. Tapi berhentilah meragukan dirimu sekarang. Kau harus fokus berubah dan meningkatkan dirimu."
"Pertama, belajarlah IPA, kedokteran lebih baik."
"APA???!!"
Suaraku terdengar begitu keras, mengundang mama yang berada di kamar sebelah.
Untungnya aku berhasil mengatakan padanya kalau aku hanya menelfon teman dan membuatnya pergi.
"Kau serius? Maksudku.. IPA! Fisika, kimia, biologi.."
"Tidak ada tapi. Pengecualian untuk fisika, kalau kau mau jatuh disana tak apa. Pokok biologi dan kimiamu harus tinggi."
"Bicara gampang, aku saja tak paham diajari guru ataupun teman."
"Siapa menyuruhmu belajar dari mereka, hm?"
"Lalu aku akan berguru pada siapa lagi?"
Diriku dari masa depan terkekeh.
"Tentu dariku, sayang. Siapa lagi? Aku paham tentang hal itu di luar kepala sudah."
Mataku berkedip berkali-kali, berusaha mencerna kata-katanya.
"Setiap pulang sekolah, aku akan mengajarimu banyak hal. Hmm, mungkin kau butuh beberapa alat maupun bahan sebelum pembelajaranku, seperti praktikum."
Aku berpikir ini tak akan mudah maupun ringan.
"Kau dengar aku? Percayalah, aku akan membuatmu menjadi sempurna dalam waktu singkat dengan beban lebih ringan."
Suara ketukan bolpen terdengar darinya.
Menunggu jawaban dariku.
Mungkin tak ada pilihan lain, dia juga terdengar meyakinkan. Tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Huff.. Baiklah, aku akan berguru padamu. Uhm, diriku dari masa depan?"
Dia kembali tertawa di dekat ponselnya.
"Panggil saja Sensei. Nama yang kau ucap panjang sekali, sudah seperti bahasa latin saja."
Aku terdiam malu mendengarnya.
Ya bagaimana dong, dia diriku dari masa depan. Memanggil namanya sama seperti memanggil diri sendiri.
"Hai' sensei... Sekarang apa saja yang kubutuhkan?"
Aku menyiapkan kertas dan pulpenku.
"Bagus kau sudah siap, catat apa saja yang kuucap."
Mulutnya mulai menyebut banyak hal.
Contohnya saja buku kedokteran papa mama, jarum akupuntur, serial buku saku psikologi.
Mendengar nama barangnya saja sudah memusingkna kepala.
"Sudah kau catat semua? Besok mulai kumpulkan, sekalian aku mengajarimu besok."
Pip!
Nada sambung putus begitu saja.
Enak sekali dia bicara, tanpa memberiku kesempatan mengucap terimakasih atau apalah.
Ah, sudahlah, lebih baik fokus saja dengan apa yang kubutuhkan.
Tubuh kurebahkan diatas kasur sebentar, melepas penat setelah mengalami hal mengejutkan hari ini.
Punggung tangan menutupi dua mataku.
Pikirku melayang di langit-langit, membayangkan apa yang terjadi pada Sensei di masa depan, dimana dia melihat semua orang mati di depan matanya.
Bahkan dia sampai mempercayakanku untuk merubah semua.
Apa aku benar-benar bisa merubahnya?
Rasanya seperti keajaiban saja.
Sekilas bayangan Emma yang tersenyum, memberikan sapu tangan padaku terbayang.
"Orang baik sepertinya harus hidup lebih lama."
Tanganku mengepal.
Lantas tubuhku bergerak bangun dari kasur, bergerak menuju dimana papa berada, lantai satu di ruang keluarga.
"Papa! Aku pinjam buku kedokteran, boleh?"
××××××
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro