Juna-Aya: How To Be A Good Couple
Kalau diingat lagi, sebenarnya ini bukan pertama kali Juna mempunyai pacar. Dia sempat memiliki pacar, dan itu saat dia masih duduk di bangku SMA, kelas satu.
Waktu itu, guru pendidikan kewarnageraan pernah bilang, “SMA itu waktunya buat nyari teman.”
Oke, temannya sengaja digaris-bawahi karena punya makna lain. Bukan teman biasa soalnya.
“Pak, kita semua temenan kok.” Begitu kata Juna mengomentari kalimat si guru.
Tapi kalimat itu justru membuat gurunya tertawa.
“Yang Bapak maksud bukan yang gitu, Juna. Teman yang lebih dari teman.”
Dimas yang waktu itu duduk di depan Juna berbalik badan lalu mengeluarkan cengirannya. “Maksud si Bapak itu pacar, Ju.”
“Acar?”
“Bego, pacar.” Dimas berdecih kecil. Dia kemudian melebarkan lengannya dan bersandar di meja Juna. “Santai aja. Lo masuk aja udah diomongin sama anak-anak. Paling ntar lo dapat chat malem-malem. Lo sih pacaran gampang.”
Percaya? Nggak. Kalau pun chat paling dari grup, begitu pikir Juna.
Tapi dia salah. Malam hari dia benar-benar mendapat sebuah pesan dari teman sekelasnya. Seperti kata Dimas.
Singkat cerita, hanya karena sebulan terus-menerus berkirim chat, Juna akhirnya berpacaran. Hanya berawal dari makan di kantin bareng, sekelas sudah meneriaki Juna dengan: “Weh, pajak! Udah jadian aja!”
Dan ternyata si ceweknya baper juga.
Beberapa minggu diteriaki teman sekelas membuat Juna bosan. Akhirnya, dia meminta si cewek untuk tidak terlalu dekat dengannya. Kasarnya, Juna minta putus.
Alasan putusnya juga nggak nanggung-nanggung.
“Gue nggak ngerasa kalau kita ini pacaran.”
Lusanya, si cewek absen. Rupanya dia pindah.
“Lo putusin dia terus dia pindah tuh,” ejek Dimas dan Jodi saat wali kelas mengumumkan kalau Jesi, so-called-girlfriend-nya Juna itu pindah.
Kalau diputusin terus pindah itu hal konyol menurut Juna. Masa iya sampai segitunya?
“Itu cuman kebetulan doang, jir. Ya kali gara-gara gue.”
Meskipun begitu, pandangan Dimas dan Jodi tidak pernah berubah.
Tetap kekeuh dengan pemikiran, “Jesi pindah karena diputusin Juna.”
Kalau sudah flashback begini, Juna tidak bisa mengambil hidayah apa pun kecuali fakta kalau dia tidak tahu apa-apa soal pacaran.
Tapi meskipun kurang pengalaman begini, tiap kali melihat Aya, Juna selalu mendapat dorongan untuk menjadikan si adik tingkatnya ini sebagai hak milik.
Dan ada saatnya di mana Juna ingin tahu bagaimana agar dianggap sebagai pacar yang “baik” dan bikin bahagia buat Aya.
Contohnya ya, seperti sekarang ini.
Juna asik makan kacang atom di apartemen dengan Aya di sampingnya yang ikut menguyah kacang atom sambil menonton HBO di televisi.
Anak kuliahan tinggal di apartemen dan langganan televisi itu ada ya? Ada, yang kayak Juna begini.
Wajar sih, keluarganya raja minyak. Jadi anaknya dikasih fasilitas kelas atas.
Meski begitu, fakta yang begini tidak pernah Juna pamerkan ke orang lain. Hanya anak sekre yang tahu. Dan juga Aya, of course.
Aya masih asik menonton NICS sementara yang Juna lakukan justru nonton pacarnya yang lagi nonton. Hm, yo dawg.
“Ya...”
“Iya?”
Kepala Aya langsung menoleh ke arah Juna. “Kenapa, Jun?”
“Kamu betah kita begini terus?” tanya Juna, dan Aya langsung mengernyitkan dahinya.
“Begini gimana?”
“We oftenly waste our time in here. Cuman nonton, makan, cuddling. Kalau nggak di apartemen aku palingan di kosan kamu. Orang lain pacaran biasanya di luar, kan?”
“Kita kan udah beberapa kali keluar, Mas Jun.”
“Emangnya kamu nggak bosen, Ya?”
“Why I have to?”
Aya kini membalikkan tubuhnya agar bisa benar-benar berhadapan dengan Juna. “Lagian kok nanyanya yang beginian sih?”
Juna mengangkat bahunya cepat. “Takutnya kamu bosen.”
Mendengar ucapan Juna itu, Aya langsung tertawa.
“Nih ya, Kakak Arjuna. Kalau aku bosen, udah dari minggu-minggu lalu kali. Ini sudah hampir mau satu semester aku ngeliatin muka kamu terus. Di kampus iya, di labtek iya, sampai pulang juga iya. But I’m still here. Dan itu karena aku nggak bosen.”
Aya kemudian berdiri dari sofa, mengambil air minum dan minum sebentar.
“Aku sih prefer pacaran di dalam aja. Nggak usah ke mana-mana. Yang penting bukan tempatnya, tapi who I spend my time with.”
Juna masih diam, tapi matanya terus tertuju pada Aya.
Di detik berikutnya Aya sudah kembali duduk di samping Juna.
“Tapi kapan-kapan boleh deh keluar. Kebetulan bulan depan aku mau ke rumah Mama. Mau ikut?”
“Sekalian lamaran boleh?” goda Juna yang langsung disambut toyoran dari Aya.
“Tamat dulu sana baru ngomongin lamaran.”
Dan dengan itu, keduanya sama-sama tertawa. Selagi tertawa Juna menarik lengan Aya dan memeluk cewek itu, cuddling on the sofa while watching another movie and eating more kacang atom on the table.
Juna memang tidak begitu tahu bagaimana cara untuk membuat cewek di luar sana bahagia. Soal pengalaman pacaran, dia memang tidak tahu banyak hal.
Well, he admit it.
Tapi Juna tahu betul bagaimana cara membuat Aya-nya ini bahagia.
He doesn’t need a romantic dinner, waste his money for a sweet present.
Juna tidak perlu mencoba jadi cowok romantis atau jadi seperti pasangan di drama India yang kejar-kejaran di bawah rintik hujan.
Itu pembodohan namanya. Ngajak pacar sendiri buat sakit dan absen kuliah.
Yang harus Juna lakukan hanya... nothing. Cukup jadi Arjuna Dwi Purnama seperti biasanya.
Karena kata Aya, “I love all about you, Mas Jun. You don’t need to be another romantic-be-like man out there. Karena definisi bahagia buat aku itu ya kamu.”
“Dan buat aku kamu lebih dari sekadar definisi kata “bahagia”, Ayara.”
***
Arata’s Noteu:
Hmm in aja dulu ah. :)
Soal kalimat dari guru pendidikan kewarnegaraan itu inspired by real story. Itu kalimat guru saya dulu. SMA itu kurang asik kalau nggak punya pasangan.
But the fact is, I don’t have any. Deket sama anak cowok, tapi gender saya sebagai cewek aja diragukan sama mereka. Wkwk. Oh, saya emang cowok. Ups.
Mungkin di sini ada yang mau bagi-bagi pengalaman SMA-nya? Ada yang mirip Juna atau malah jadi korban dari cowok macem Juna?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro