Sebagai orang yang rajin beribadah, Adjie jadi tipikal cowok yang menjauhi minuman keras. Bir, vodka, atau apa pun itu tidak pernah Adjie sentuh.

Yah, Adjie memang cowok baik. Meskipun kalau di instagram tetangga suka berubah jadi tukang tikung.

Adjie tidak pernah kecanduan akan satu hal.

“Yang bikin candu itu nggak baik, bro. Harus sehat luar dalam,” kata Adjie dengan bangganya.

Kalimatnya kedengaran bagus sih. Tapi anak sekre justru geli sendiri mendengarnya.

“Luar lo bagus, dalamnya tukang tilep, Bang,” celetuk Jodi.

“Gue cuman nilep cewek yang cowoknya jelek.”

“Mau mengucap gue, Bang.”

“Mulut jaga, depan cewek lo tuh.”

Adjie ini memang pintar sekali soal provokasi begini. Dalamnya Adjie ternyata tidak sebagus luarnya.

Speaking of kecanduan, Adjie memang tidak pernah berada dalam situasi “nagih”. Dia bukan pengguna.

Tapi entah kenapa, sekarang dia sudah memasuki state of that “nagih”. Yang ini nagihnya baik sih.

Nagih buat selalu ngobrol dan dekat sama Eri.

“Bang, udah sholat?”

Begitu tanya Eri begitu Adjie menekan kunci mobil dan membuka pintu, mempersilahkan Eri untuk masuk ke dalam mobil.

“Sebelum jemput kamu aku udah sholat.”

Nah, kan. Calon imam banget. Batin Eri yang sudah tertawa di tempat.

Adjie diam untuk beberapa saat dengan kepala yang terus menoleh ke arah Eri.

“Bang, apaan sih.”

“Lagi ketagihan nih, Ri.”

“Masyaallah, Abang make begituan?” Eri spontan kaget.

Ekspresi yang Eri keluarkan membuat Adjie tertawa keras. “Mukanya biasa aja, Teteh.”

“Masa sih make begituan, Bang?”

“Make apa dulu?” tanya Adjie balik. “Kamu mikirnya ke mana?”

Eri tidak menjawab. Cewek itu hanya bergumam kecil.

“Yang ini ketagihan sehat kok,” jelas Adjie sambil menyalakan mesin mobil.

Kepalanya kembali menoleh ke arah Eri, memamerkan senyum ganteng dunia akhirat—begitu Eri menyebutnya—pada Eri. “Soalnya nagih dekat kamu sih. Jadi sehat.”

“Astaga, Bang. Receh.”

Agak sakit sih. Gombalan Adjie gagal. Tapi melihat Eri yang sudah tertawa begini justru membuat Adjie senang.

“Receh gini si tampan ini bisa bikin ketawa kan, Ri?”

“Mulai nyebut diri sendiri tampan. Duh, Bang.”

Sudah terhitung satu bulan sejak pertemuan pertama mereka, dan kedekatan mereka sudah seperti ini.

Dekat sih, tapi statusnya masih kosong.

Selagi dalam perjalanan, Adjie memikirkan sesuatu. Bagaimana kalau dia menyatakan perasaannya sekarang?

“Ri...”

“Eh, bentar, Bang.”

Waktunya ternyata kurang pas. Eri justru mengeluarkan ponselnya, mengangkat telpon lebih dulu dan menyuruh Adjie menunggu.

Ada sekitar dua menit Eri terus berbicara di telepon sampai akhirnya dia kembali menyakukan ponselnya.

“Siapa, Ri?” tanya Adjie.

“Kakak nelpon tadi, nanyain masih di kampus atau nggak.”

Adjie hanya membalasnya dengan gumaman.

“Oh iya, tadi mau ngomong apaan, Bang?” Kini giliran Eri yang bertanya.

Adjie diam sejenak, memikirkan sesuatu sampai akhirnya kepalanya menggeleng.

“Nggak papa. Manggil aja sih tadi,” balas Adjie. Cowok itu tersenyum sebelum mengacak puncak kepala Eri dengan tangannya.

Dalam hati, Adjie mencoba menguatkan dirinya sendiri.

The time isn’t right. Mungkin lain waktu.
Adjie akan coba lagi nanti.

Lagipula, kalau sudah ketagihan begini akan suka untuk berhenti.

Next time, he will do it right and choose the right time.

Dia akan memastikan kalau wine yang sudah membuatnya ketagihan ini menjadi miliknya.

He will make sure of it.

***