Ilusi
Penulis: husni_ilham
Aku bangun dari tidur yang paling menyeramkan menurutku. Badanku penuh keringat dan nafasku ngos-ngosan seperti habis lari. Setiap malam mimpi itu terus menghantuiku. Mimpi selalu bertemu dengan adik perempuanku yang telah tewas dalam serang Japolis ke residen kami enam tahun lalu. Ketika ia berusia sembilan tahun dan aku sepuluh. Aku selalu ingin melupakannya, tapi dia selalu datang ke mimpiku. Mungkin ini karena aku terlalu merindukannya...
Lebih baik aku pergi jalan-jalan ke hutan untuk menyegarkan pikiran. Aku bersiap-siap, mengenakan jaket kulit dan memakai sepatu hitam milik ayahku. Sepatunya longgar di kakiku jadi aku bisa merasakan ruang yang sedikit luas bagi jariku. Tak lupa aku mengambil panah sebagai senjata jika ada hewan buas yang menyerangku. Aku menuruni tangga kayu perlahan agar tak membuat bunyi yang membangunkan keluargaku. Aku tak ingin memberitahu mereka jika aku pergi ke hutan, jadi kutinggalkan secarik surat yang kutempel di pintu kamar.
“Angkasa, kau mau ke mana?”
Aku terkejut lalu membalikkan badanku. Ternyata Sandra. Sandra adalah anak tetanggaku, dia sebaya denganku. Ibuku memutuskan untuk merawatnya dan tinggal di rumah kami sejak ibunya memutuskan untuk mati. Kira-kira setahun lalu. Dan, ayahnya tewas dalam serangan lalu. Kuakui dia cukup manis setiap kali senyum, tapi aku tak begitu tertarik dengan hubungan percintaan. Sudah lama aku tidak memperdulikan urusan hati sejak adikku tewas. Sejak itu, tempat yang selalu memenuhinya hanya kesedihan dan kehilangan.
“Aku hanya ingin pergi ke hutan,” kataku.
“Hutan? Kenapa kamu pergi ke–“
“Sudah, ya. Aku pergi dulu.”
Dia selalu gelisah jika aku pergi ke hutan. Mengapa? Aku juga tidak tahu. Hutan adalah tempat sempurna untuk menyendiri. Setiap kesedihan akan aku bebaskan ke sana agar dibawa angin menjauh dariku. Namun, hutan mungkin akan memaksaku mengingat kenangan masa kecilku dengan adikku.
Hutan masih belum berubah. Pepohonan begitu lebat dan udaranya sangat segar dibandingkan dengan kota. Meskipun aku sudah mengenakan jaket, hawa di sini sangat dingin. Mungkin masih pagi dan panas matahari masih belum semenyengat setiap siang. Aku pergi ke sungai dahulu, membasuh muka dan mencuci anak panah dan pisau yang tak sengaja terbawa. Airnya sangat jernih jadi aku sekalian meminumnya. Segar sekali dan tentunya dingin. Aku melanjutkan diri untuk menelusuri hutan. Sejak kecil aku ke sini jadi sangat hafal jalan yang harus kulalui.
Aku mengunjungi pohon tempat aku dan adikku selalu berisitirahat dulu. Melihat sejenak ukuran nama kami yang kubuat dahulu. Kami sering bermain di sini, makan, dan tidur siang sampai kami pulang sebelum makan malam. Aku ingin melihat apakah masih ada ayunan yang kubuat dulu. Aku tidak ingat terakhir kali kapan masuk hutan. Ayunannya ada di belakang ukuran, jadi aku harus memutari pohon.
Siapa perempuan itu? Wanita itu sedang bermain ayunan dengan riang. Aneh. Kenapa pagi hari seperti ini dia bisa sampai di sini. Pohon ini cukup jauh di tengah hutan. Apa dia sendirian di sini? Apa tidak takut. Aku perlahan berjalan ke arahnya. Saat dia berhenti berayun aku pun menghentikan langkahku. Sepertinya dia sadar akan kehadiranku. Dia membalikkan badan. Senja...
Dia Senja! Sudah lama aku tidak melihatnya. Dia masih hidup dan dia sudah besar. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Aku tidak percaya, tapi ini nyata!
“Kakak,” sapanya.
“S–Senja...”
“Kejar aku,” ucapnya.
“Senja, kau mau ke mana?”
Dia lari lebih dalam lagi. Astaga dia pelari yang cepat. Aku begitu kesusahan dalam menapaki lantai hutan yang lembap ini. Penuh dengan dedaunan dan ranting-ranting yang patah yang menyulitkanku dalam menyeimbangkan kecepatannya. Apakah dia mau pergi lagi? Aku tidak akan membiarkannya pergi!
“Senja, tunggu aku!,” teriakku.
“Cepatlah, kak.”
Sesekali dia menengok ke belakang untuk melihatku. Dia tertawa melihat kelambatanku dan gerangan yang selalu muncul ketika semak-semak mengganggu jalanku. Tak ada pilihan lain selain menembusnya. Hutan yang tadinya sepi, kini riuh oleh gelak tawanya. Dia mendaki tanah yang agak tinggi dengan mudah dan sampai di atas tanpa raut kelelahan di wajahnya. Dia sangat kuat dan cepat, aku kalah. Dia sudah di atas dan aku masih di bawah tak kuat untuk mendaki. Berapa lama kami berlari? Entahlah, yang pasti aku sudah bermandikan keringat.
“Kakak, sepertinya kamu sekarang jadi lambat. Kenapa?”
“Kamu pergi ke mana saja, Senja? Ayo pulang, ibu pasti menunggu kita untuk sarapan. Dia akan senang ketika melihatmu.”
“Kakak, Senja udah nggak ada...”
“Apa maksudmu, Senja?”
Apa maksudnya dia sudah tidak ada? Dia ada di sini. Bersamaku. Aku menghampirinya dengan sisa tenaga yang ada. Dia menunduk lalu menggeleng sembari tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca dia memandangku lekat-lekat.
“Kakak, jangan sedih terus, ya. Nanti Senja juga ikutan sedih. Kakak harus terus berjuang, masih banyak orang-orang yang perlu kekuatan kakak.”
“Aku tidak peduli dengan orang-orang. Aku hanya peduli denganmu. Ayo pulang,” kataku sembari senyum. Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. Kulitnya sangat halus dan dingin. Aku sudah lama tidak melihatnya. Aku sangat rindu. Dia tersenyum lalu melepaskan tanganku.
“Kakak tidak usah pedulikan Senja. Senja sekarang senang bisa liat kakak bantu orang-orang. Dan mereka jauh lebih butuh kakak. Apa kakak mau melihat mereka terus kelaparan sampai mati?”
“Tapi–“
“Kakak hanya butuh keyakinan. Bantu mereka, kak. Senja mohon.... Senja akan selalu ada di samping kakak.”
Ia melepaskan kalung dari leher dan memberikannya padaku. Aku mengambilnya dan kugenggam erat. Ia sangat senang melihat aku menerimanya. Aku sudah lama tidak melihatnya, tapi dia langsung sudah sebesar ini. Bagaimana reaksi ibu jika nanti dia pulang. Aku tak sabar melihat ibu akan selalu memarahinya jika aku ajak ke hutan.
“Lebih baik aku pergi sekarang, kak,” katanya.
Pergi? Pergi ke mana? Mungkin pulang. Namun, aku masih ingin melihat matanya yang sangat mempesona ini. Senja. Nama itu melukiskan keindahan ciptaan Tuhan padanya. Dia tersenyum, manis sekali. Dia mundur perlahan dan masih melempar senyuman. Apa dia mau aku kejar lagi? Gila, dia kuat juga!
“Sampai jumpa, kak.”
Senja? Tubuhnya perlahan berubah jadi partikel debu, larut bersatu dengan udara. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Apa dia? Apa dia akan pergi lagi meninggalkan aku sendiri. Kenapa dia melakukannya? Senja... Tidak. Aku tidak akan membiarkan dia pergi lagi! Tidak, Senja. Tidak! Aku berlari untuk mencegahnya untuk pergi lagi. Namun...
“Senja... jangan pergi lagi. Senja... Senja!”
Aku berlari memeluknya, tapi yang kupeluk hanyalah kehampaan yang terbawa angin. Aku tidak ingin dia pergi lagi! Tuhan, aku mohon jangan biarkan dia pergi lagi. Biarkan dia tinggal di sini bersamaku...
Dunia ini berpasang-pasangan. Ada siang ada malam. Ada fajar ada senja. Semuanya dibatasi oleh garis abstrak, ada dan tiada. Segala keindahan akan berubah, segala keburukan akan berubah. Senja terindah dalam setahun sekalipun, ia akan raib ditelan malam. Namun, dengan malamlah Tuhan ingin menunjukkan pemandangan langit penuh keajaiban...
Mawar kuncup akan mekar kemudian layu digantikan dengan mawar lainnya.
Dan, aku sadar bahwa Senja sudah pergi untuk selamanya. Setelah serangan Japolis. Apa aku terlalu sayang padanya? Apa aku terlalu rindu padanya? Hingga segala realita aku lupa dalam sekejap. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa setiap detik aku bernafas, separuh jiwanya merasuk dalam sukmaku.
“...Senja akan selalu ada di samping kakak.” Itulah peganganku sekarang. Dia pergi, tapi dia abadi mengalir dalam setiap pembuluh darahku. Aku tidak boleh sedih. Benar katanya, orang-orang lebih membutuhkanku, meskipun tidak banyak yang bisa dapat kubantu, tapi setidaknya aku berusaha. Aku akan melindungi mereka.
Untuk beberapa saat, aku biarkan diriku menangis. Menangis hingga tetes air mata terakhir. Aku selalu kuat di depan keluargaku ketika pasca-serangan itu, tapi yakinlah sekuatnya besi dia akan berkarat. Biarkan segala jeritan jiwa yang selalu kupendam dibawa angin jauh dan tak akan kembali.
Aku tak tahu sudah berapa lama di hutan. Matahari semakin meninggi dan udara juga semakin menghangat. Mungkin belum siang. Kuputuskan untuk pulang, tapi jika aku pulang tidak membawa buah tangan itu agak kurang etis dan itu juga bisa jadikan aku alasan mengapa aku di hutan sangat lama jika mereka bertanya padaku. Jadi, aku pergi berburu hewan sebentar untuk dijadikan lauk pauk nanti siang. Di sekitaran sini hewannya hanya kecil tidak sebesar di dalam hutan. Aku hanya memperoleh seekor kelinci coklat yang lumayan besar. Aku mendapatkannya hanya dengan sekali lempar pisau ketika dia berjalan di depanku seolah aku tidak ada. Kasar sekali!
Aku mampir ke sungai tempat pertama tadi. Setiap langkah yang kupijak sangatlah hati-hati dan harus kuat. Bebatuan di sini sangat licin. Aku sekalian membersihkan hasil buruanku. Mengulitinya dan memotongnya kecil-kecil untuk mempermudah ibuku ketika memasak. Lalu aku membungkusnya dengan daun talas yang kudapat dari pinggir sungai.
Sebaiknya aku mandi sekalian. Aku menyimpan semua alat lalu melepaskan semua kain yang melekat di tubuhku, telanjang Di sini sangat sepi dan jarang ada yang datang, jadi aku bisa leluasa menjadikannya tempat pribadi. Tidak perlu malu. Berendam untuk menyegarkan segala pikiran dan keringat yang membuat sekujur tubuhku lengket.
Aku kadang masih teringat kejadian tadi. Kenapa Senja bisa ada? Bukankah dia sudah mati? Lalu siapa dia? Apa hanya ilusi? Memikirkan semua kemungkinan yang berjejal memenuhi otakku dan rasionalitasku yang cetek hanya buang-buang energi saja. Jadi aku menenggelamkan tubuhku dan membiarkan diriku mengapung, seolah beban dalam diriku mencair dari pori-pori kulitku hanyut terbawa arus.
Air sungai ini masih dingin, jadi aku ingin lebih bermanja-manja pada alam sebentar hingga kulitku keriput. Matahari semakin meninggi, aku harus pulang agar orang-orang rumah tidak khawatir. Aku kembali mengenakan seluruh pakaian tak lupa daging kelinci itu kumasukkan paksa ke tas anak panahku.
Aku mendengar suara semak belukar bergesekan di seberang sungai, bukan karena angin, tapi karena suatu pergerakan benda hidup. Apakah ada orang di belakangnya? Jika ada orang apakah dia sudah lama sejak tadi? Apakah d–dia m–melihatku telanjang? Astaga!
“Siapa di sana? Aku tidak segan menancapkan anak panahku padamu,” kataku.
Yah, aku mengacungkan panah padanya. Satu hal tak aku khawatirkan, bukan soal nyawaku, tapi karena dia melihatku mandi tak berbusana tadi. Benar-benar memalukan! Sebenarnya siapa itu? Perlahan aku menyebarangi sungai dan mengendap-endap mendekatinya. Gila, siapa dia sebenarnya! Dasar cabul! Aku menarik panahku erat dan siap melepaskannya.
“Cepat keluar!” Teriakku. “Keluar dengan perlahan atau nyawamu hilang sekarang.”
“Kelu–, -ar.”
Seekor kucing melompat ke arahku. Kucing? Jadi sejak tadi dia bersembunyi di sini? Apa yang dia lakukan? Dasar tidak punya akhlak! Membuatku takut saja. Namun, kucing ini cukup cantik menurutku. Bulunya putih dengan bercak keabu-abuan dan lebat. Apa dia lari dari rumahnya? Aku mengelusnya sekali, ternyata dia jinak juga. Dia menyambutku dengan dengkuran yang dapat kudengar dan rasakan di kulitku. Bukunya lembut. Aku mengambil sedikit daging kelinci untuk kuberi dia makan. Dia makan sangat lahap. Sepertinya dia tersesat di hutan. Aku gendong dia dan kubawa pulang. Akan kurawat ia meskipun ibu selalu menolak kehadiran kucing.
Ketika masih kecil, Senja selalu membawa pulang kucing. Keesokan harinya ibu akan membuangnya dan Senja akan menangis. Lalu ibu akan menyuruhku menghiburnya, tentu akan kuhibur. Kuajak dia ke sawah melihat residen kota sebelah yang begitu glamor, penuh bangunan pencakar langit dan teknologi canggih. Yah, residen kota itu sangatlah loyal pada Japolis. Mereka diberi kebebasan seperti seluruh negara bagian negeri kecuali residenku.
Di sepanjang jalan, kucing itu sangat nyaman dalam gendonganku. Aku sangat suka kucing, dia selalu tahu cara mencintai majikannya. Meskipun mereka sering jual mahal. Aku beberapa kali berhenti untuk mengambil buah, beruntungnya aku. Aku menemukan apel hijau dan blueberry. Aku ambil sesuai kebutuhan. Biasanya ibu akan membuat minuman dari apel hijau, apalagi ketika hujan disajikan hangat dengan campuran kayu manis. Enak sekali, entah dari mana ibu dapat resep seperti itu. Sepertinya dia memang pandai dalam urusan dapur.
Kotaku pagi ini terlihat sibuk, banyak yang sudah berjualan di pinggir jalan. Mereka menjual segala hasil pertanian dan kerajinan. Dan beberapa tentara berlalu lalang memeriksa kota. Aku mampir ke salah satu toko roti langgananku, aroma panggangannya sangat harum merasuk nafasku. Bau kayu manis dan jus lemon mendominasi di sini. Aku membeli dua potong roti. Penjual di sana sangat mengenalku. Yah, karena penjualnya adalah kawan masa kecilku, Bintang. Dia anak yang baik dan hobinya adalah bermain sepak bola. Aku tidak tahu apakah dia masih suka main bola, tapi aku yakin dia sekarang lebih suka membuat roti. Dia memberikanku sebotol selai nanas. Dia bilang dia baru belajar membuatnya, dia ingin aku memberikan pendapat untuknya.
Saatnya pulang, pasti mereka mengkhawatirkanku. Terutama Sandra. Dia sepertinya begitu memperhatikan segala gerak-gerikku. Aku tahu itu, setiap dia aku dekati wajahnya langsung merah. Aku selalu tersenyum ketika membayangkannya selalu kikuk jika kutanya. Apa dia suka aku? Tentu tidak.
Seluruh penduduk kotaku tidak ada yang punya kendaraan canggih. Hanya punya gerobak dan sepeda, itu sangat beruntung. Beberapa truk tentara melewatiku, sekitar dua truk. Sepertinya mereka akan ditugaskan menjaga pintu perbatasan sebelah timur. Atau mungkin mereka akan mengawasi kerja paksa di bendungan. Yah, residenku diberlakukan aturan kerja paksa untuk membangun inilah, itulah. Bahkan beberapa petani dipaksa untuk menanam beberapa komoditi ekspor. Hanya di residen kami. Dan, umurku sudah enam belas tahun, bulan besok aku sudah wajib untuk mendaftar kerja paksa untuk memenuhi kebutuhan keluargaku.
Aku melihat Sandra sedang menyapu halaman rumah. Dia sangat membantu pekerjaan ibu. Aku memperhatikannya, wajahnya berkeringat merah akibat terik matahari.
“Angkasa...,” katanya. Aku melempar senyum padanya.
Detik berikutnya terasa cepat, dia memelukku dengan sangat erat. Aku merasakan badannya bergetar. Apakah dia menangis? Aku mendengar dia berusaha menahannya. Aku sadar, apa yang kuperbuat? Benar kata Senja. Di sini masih banyak yang membutuhkanku. Aku akan melindungi mereka. Aku gagal melindungi Senja, sebagai gantinya aku akan melindungi Sandra. Kubalas meluknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro