Bab Tiga: Jatuh
Aku menunggu satu jam sebelum kesabaranku habis. Berapa lama waktu yang dia habiskan untuk berganti pakaian?
Aku pergi ke dapur untuk mencari Ella.
"Hei, bisakah kamu membantuku dan bertanya pada Tobias untuk lebih cepat? Kami akan terlambat."
"Terlambat untuk apa, jika aku boleh bertanya?"
"Makan siang dengan orang tuanya."
"Aku tidak berpikir makan siang itu hari ini. Tuan Tobias memiliki pertemuan terjadwal dalam setengah jam."
Aku diterjang oleh gelombang kemarahan, dan aku menghentakkan kaki menuju kantor Tobias, membanting pintu tanpa mengetuknya.
"Bisakah kamu berhenti?" Aku membentak padanya begitu masuk.
Dia melihat ke arahku, ekspresi bosan di wajahnya. "Berhenti apa?"
"Bermain denganku! Kenapa kamu menyuruhku untuk bersiap untuk makan siang yang bahkan bukan hari ini?"
"Aku tidak melakukannya."
"Wanita pirang bodohmu yang melakukannya."
"Penelope?"
"Ya, pak?" Suara bodohnya muncul dari suatu tempat.
"Apa kamu memberi tahu ... um ...." Dia berhenti. "Maaf, siapa namamu?"
Aku menatapnya dengan mulut menganga. Apa dia serius?
Aku mendengar tawa kecil dari sisi belakang ruangan.
"Talia," gumamku.
"Benar. Apa kamu memberi tahu Talia makan siangnya hari ini?"
"Tidak, pak. Aku memberitahunya makan siang itu besok, seperti yang Anda minta," ujarnya tanpa dosa.
Aku memutar kepalaku da menatapnya. Wanita jalang itu.
"Maaf jika Anda salah mengartikan saya." Dia menyeringai.
Aku melesat keluar ruangan, darahku mendidih.
Aku membanting pintu menuju kamarku, mengganti baju dengan sepasang leggings dan kaus tanpa lengan dan memakai sepatu lariku.
Aku pergi ke gym kickboxing-ku, dan aku langsung mulai memukul samsak tinju sekeras yang aku bisa begitu masuk.
Aku mengeluarkan semua rasa frustasiku, meninju karung berat itu hingga lenganku sakit.
Aku memikirkan semua hal dalam hidupku yang sekarang aku benci. Pernikahan palsuku. Tinju. Ibu pemaksaku yang membuatku berada di posisi ini. Tinju. Kehilangan cinta dalam hidupku. Tinju.
Pemikiran terakhir itu membuatku berhenti. Aku mencoba berhenti memikirkan Jason beberapa bulan terakhir, sia-sia. Sudah beberapa bulan semenjak Jason meninggal, dan memikirkannya masih terasa sangat sakit.
Aku berdiri di sana cukup lama, suara dentuman dan pukulan mengelilingiku. Aku merasakan air mata menuruni wajahku dan aku menghapusnya segera. Jason benci jika aku menangis.
Aku mengemudi ke rumah perlahan, membuat diriku utuh kembali. Aku duduk di jalan masuk mobil untuk beberapa saat, hingga akhirnya aku tertidur.
*
"Boo!"
Aku bangun dalam kepanikan, berteriak. Aku melihat ke sekeliling untuk melihat Cassie berada di depan mobilku, ekspresi konyol pada wajahnya.
"Cassie! Kamu mengagetkanku!"
"Itu gunanya. Itu mengapa aku mengatakan boo."
"Yah, jangan lakukan itu lagi," ujarku, keluar dari mobilku dan menarik napas panjang untuk menenangkan detak jantungku
"Bolehkah aku bertanya mengapa kamu tidur di sini dan tidak di dalam rumah nyaman yang hangat?"
Itu bukan rumahku, aku ingin berkata.
"Aku kira aku hanya lelah dan tertidur."
Dia melihatku tidak percaya namun membiarkannya berlalu, meraih tanganku dan menyeretku ke dalam rumah.
Aku disambut oleh wangi makanan yang luar biasa, dan aku langsung lupa tentang semuanya dan pergi ke dapur.
Aku baru saja akan mengambil piring dan mengisinya sampai Ella menghentikanku. "Tunggu, Nona Talia. Anda akan makan malam dengan Tuan Tobias dan Nona Cassi malam ini. Mengapa Anda tidak mandi dan bersiap?"
Aku menghela napas dengan kecewa. Yes, sekarang bagian favorit dalam hariku akan dirusak oleh kehadiran orang yang menyebalkan.
Namun aku melakukan apa yang Ella katakan. Aku pergi mandi. Aku berdandan. Lalu, aku turun ke lantai bawah lebih lapar dari sebelumnya.
Cassie dan Tobias, yang merupakan teman baik, sudah duduk di meja makan, dan apa yang aku lihat hampir membuat rahangku jatuh.
Tobias... tersenyum?
Apakah itu kecelakaan? Aku yakin dia bahkan tidak tahu caranya tersenyum. Atau tertawa. Atau bercanda. Atau apa pun yang berkaitan dengan kebahagiaan.
Aku duduk di samping Cassie untuk menghindari duduk di samping Tobias, yang berada di ujung meja, namun Ella memiliki rencana lain untukku.
"Nona Talia, jika Anda tidak berkenan untuk duduk di sini," ujarnya, menunjuk kursi di sebelah Tobia. "Itu akan sangat baik. Aku sudah menyiapkan tempat Anda."
Aku mengerang namun berdiri dan duduk di tempat yang disediakan.
Makan malam disajikan, namun aku tidak berselera. Itu yang terjadi jika kamu duduk di sebelah orang berengsek.
Cassie bicara terus dan terus dan terus, menghiraukan kecanggungan di udara, dan mencoba beberapa kali agar Tobias dan aku memulai percakapan, namun gagal.
Setelah hidangan penutup dibersihkan, kue cokelat yang tidak bisa aku nikmati dan Tobias tidak makan, Cassie mampu meyakinkan aku dan Tobias untuk menonton film bersamanya.
"Jadi apa yang akan kita tonton?" tanya Cassie.
"Apa saja," gerutu Tobias. "Aku tidak peduli."
"Aku ingin film romansa," ujarku dengan keras. Dia tidak peduli bukan?
"Oh bagus! Maka The Notebook!" ujar Cassie.
Aku melihat rahang Tobias mengeras dan aku pikir dia akan memprotes namun dia malah melihat ponselnya.
Filmnya dimulai dan aku mendapati diriku tertawa dan menangis bersamaan dengan para tokohnya.
Aku mendengar Cassie terisak di sampingku, namun ketika aku melirik ke arah di mana Tobias, dia duduk dengan ekspresi bosan di wajahnya dan terus memeriksa ponselnya.
Di akhir film Cassie dan aku tersedu-sedu, meringkuk pada satu sama lain saling menenangkan. Tobias, daripada itu, hanya berdiri dan pergi.
Cassie berhenti menangis beberapa saat setelah film selesai, namun untuk beberapa alasan aku tidak bisa berhenti.
Paling tidak Allie dan Noah berakhir bersama. Mereka bersama, hal itu menenangkan.
Sesuatu tentang film itu mematahkan sesuatu dalam diriku, dan aku tidak bisa berhenti menangis. Pertamanya Cassie pikir itu lucu, namun ketika dia sadar bahwa aku benar-benar menangis dia mulai merasa khawatir.
"Talia apa kamu baik-baik saja? Ada apa?"
Aku mencoba menjawabnya, namun kata-kataku tertahan di tenggorokan dan diganti oleh isakan.
"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?"
Aku berdiri dan berlari menuju kamarku, mengunci pintu, membutuhkan privasi untuk luka yang aku buka kembali.
Cassie mencoba mengetuk pintu, namun aku tidak menjawab, dan setelah menguras semua air mataku, aku terlelap tidur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro