Saya Boleh Melakukannya?
Hendery mengekeh setelah melihat ekspresi Aulia yang sangat antusias dengan ajakannya. Perempuan yang polos dan blak-blakan itu lantas keheranan dengan tawa Hendery yang menggema seolah ada sesuatu yang sangat lucu.
“Kamu kenapa? Emangnya ada yang lucu?”
Bukannya menjawab, Hendery malah memeluk Aulia.
“Mas Hendery kamu aneh. Kenapa sih?”
“Kamu sangat polos Aulia, itu sebabnya kamu sulit dihadapi.”
“Polos apanya?”
Mata Aulia membulat kelihatan kesal dengan ungkapan polos yang Hendery tujukan padanya. “Kamu menghinaku, ya?”
“Bukan.” Hendery tersenyum lalu mengacak rambut Aulia. “Saya sedang memuji. Hidup di Amerika dan masih polos, itu bukannya langka sekali?”
Aulia menunduk, sepertinya dia mulai memikirkan sesuatu lagi.
“Apa kamu belum pernah berhubungan intim dengan siapapun, Lia?”
Sontak pertanyaan Hendery itu membuat Aulia tercengang. “What's the point of your question?"
“Hem, kenapa? Apa ada yang salah dengan pertanyaan saya?” sahut Hendery.
“You asked something sensitive.”
Hendery malah tersenyum lagi. Pembawaannya yang santai, tidak jarang membuat Aulia kerepotan. Sikap keduanya sangat bertolak belakang satu sama lain.
“Kenapa? Apakah di Amerika tidak ada pria yang berhasil menarik perhatian kamu?” tanya Hendery sambil mengelus pipi Aulia.
Bukan karena tidak ada, tapi Aulia yakin dia tidak membutuhkan orang lain, selain Hendery. Selama di Amerika, dia hanya fokus pada studi dan juga pekerjaan. Masa depannya harus baik agar bisa meraih cintanya pada Hendery. Pria yang disukainya itu bukan pria sembarangan. Aulia merasa dirinya harus sebanding agar layak bersanding dengan Hendery.
“Tidak ada yang menarik di mataku, selain kamu, Mas Hendery.”
***
Aulia langsung berlari ke toilet mencari-cari kemana kiranya Hendery pergi. Pukul enam pagi, Hendery tidak ada di kamar, di toilet pun ternyata tidak ada.
“Kemana dia, ya?” gumam Aulia, lalu dia yang masih mengenakan pakaian tidur berlari ke dapur.
“Pagi.”
Pria itu menyapa dengan santai, berikut penampilannya yang tidak biasa. Hendery mengenakan celemek, seperti baru saja selesai memasak.
“Kamu habis ngapain Mas? Aku cari gak ada, jadi kamu di dapur dari tadi?” tanya Aulia kemudian dia duduk di meja makan melihat Hendery yang tengah sibuk di depan kompor.
“Make breakfast. What do you like for breakfast?"
Aulia senyum kecil. Tumben sekali, batinnya.
“Kamu bisa masak?”
“Kalau hanya sarapan, saya bisa. Kamu tidak keberatan dengan omelette?”
“Em, it's one of my favourites.”
“Kebetulan, saya hanya membuat omelette untuk sarapan.”
“Boleh kubantu?” tawar Aulia.
“Hem, tidak perlu. Sudah selesai.”
Aulia tetap berdiri, dia mengambil gelas dan juga susu dari dalam lemari pendingin.
“Kamu suka kopi, kan?” tanya Aulia.
“Ya, boleh,” angguk Hendery.
“Akan aku buatkan.” Aulia lalu mengambil cangkir dan juga kopi. Tidak lupa dia memanaskan air dulu sebelumnya.
Sambil membuatkan kopi untuk Hendery, Aulia tidak berhenti tersenyum. Salah satu impiannya adalah, bisa berada di dapur bersama Hendery. Seperti sekarang, membuatkan kopi untuknya. Malah ditambahkan sesuatu yang lebih manis. Ia dapat melihat Hendery membuatkan sarapan untuknya.
“Kenapa? Kamu kelihatan senang sekali,” kata Hendery melihat Aulia senyum-senyum sendiri.
“Em.” Aulia langsung memasang wajah cemberut. “Kata siapa, aku tidak senang. Biasa saja.”
Malah sekarang Hendery yang tersenyum. “Benarkah, saya kira kamu senang karena dibuatkan sarapan.”
Setelah kopi siap, Aulia lalu menghampiri Hendery yang tengah mencuci tangan di wastafel.
Gadis itu lalu memeluk Hendery dari belakang.
Hendery hendak berbalik, tapi Aulia menahannya. “Tetap begini, sebentar saja.”
“Ada apa? Apa kamu sedang bersedih?” tanya Hendery keheranan.
“Tidak. Jantungku serasa akan meledak saking senangnya,” jawab Aulia.
Hendery lalu berbalik, ia menatap Aulia yang berbinar. Ada rona merah muda di pipinya yang putih. Mata indahnya kelihatan sedikit berkaca-kaca.
“Apa kamu bahagia karena saya?”
Aulia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengekeh geli.
“Kenapa malah tertawa? Apa yang lucu?”
“Kamu,” jawab Aulia lalu berhenti tertawa.
“Saya bertanya apakah kamu bahagia karena saya?”
Mungkin benar Hendery ingin tahu. Sementara Aulia merasa itu sebuah pernyataan yang tidak perlu ia jawab.
“Kalau menurut kamu gimana? Apa aku bahagia karena kamu?” Aulia malah balik bertanya.
Keduanya saling menatap. Aulia terdiam, begitupun Hendery. Pria itu kelihatan mencari suatu jawaban dari sorot mata bening gadis dihadapannya. Sedangkan Aulia mulai tidak sabar, ia merasa gemas dengan segala sikap yang ditunjukkan pria di depannya itu.
“Aku tergila-gila dengan kamu, Mas.”
Dibalik sikap dingin Hendery, ada sesuatu yang kalau di sentuh maka akan meledakkan seluruh bongkahan es dalam dirinya. Saat ini, sepertinya Aulia sudah berhasil menyentuh sesuatu itu darinya.
“Jadi, jangan bertanya apakah aku bahagia karena kamu atau bukan. Kamu sudah pasti tahu jawabannya, kan?”
Suara degup jantung yang menyiksa membuat Hendery kemudian menyentuh pipi Aulia. Ia perlahan mengelusnya, masih sambil menatap matanya. Tangan satunya mulai menarik pinggang Aulia hingga lebih mendekat ke arahnya.
“Kenapa harus saya? Di luar sana masih banyak pria yang mungkin lebih pantas untuk kamu, Lia.”
Aulia menggeleng. “Tidak ada yang lebih pantas untukku. Aku hanya ingin memantaskan diri untuk pria dihadapanku.”
Apa yang harus dilakukan kalau sudah begini. Jawaban Aulia benar-benar tidak dapat di prediksi oleh Hendery. Seolah-olah semua yang keluar dari bibir tipis gadis itu, selalu berhasil membuatnya kehabisan waktu. Tak ada lagi kesempatan memperdebatkannya, apalagi menyangkal.
Aulia, gadis itu benar-benar berbahaya.
“Apa kamu benar-benar lapar sekarang?”
Mata Aulia berkilat melihat tatapan Hendery yang sangat intim. Kenapa sekarang dia mengartikan perkataan itu seperti ajakan bercinta?
“Lapar dalam hal apa?” tanya Aulia memastikan.
“Ingin sarapan,” jawab Hendery.
“Oh, tidak terlalu.” Aulia menunduk malu. Apa otaknya benar-benar mesum? Sialan! Aulia jadi malu sendiri kalau sudah begitu.
“Baguslah,” ucap Hendery.
Aulia kembali mendongak menatap Hendery. Pria itu segera menggendongnya. Hal yang tidak pernah Aulia bayangkan. Hendery membawanya menuju ke kamar.
“Kita mau kemana?”
Tentu saja Aulia bingung. Bukankah tadi, mereka akan sarapan?
“Kamu bilang belum lapar,” kata Hendery serius.
“T-Tapi, kamu mau kemana? Kenapa kita malah ke kamar?”
Tanpa banyak basa-basi, Hendery langsung menutup pintu setelah menjatuhkan tubuh Aulia ke atas tempat tidur. Wanita itu kebingungan, Hendery berjalan ke arahnya sambil membuka kimono tidurnya.
“Astaga. Kamu mau apa?” tanya Aulia sambil melotot melihat Hendery yang sudah bertelanjang dada.
Hendery lalu mendorong tubuh Aulia yang baru saja bangun untuk duduk. Sekarang dia berada di atas tubuh gadis yang kelihatan bingung dalam satu waktu.
“Saya ingin melakukannya pagi ini.”
Jawaban Hendery kontan membuat Aulia diam membisu.
“Tapi kenapa tiba-tiba? A-aku belum mempersiapkannya,” ucap Aulia pelan sekali.
“Mempersiapkan apa?”
“Aku belum mandi.” Aulia menutupi wajahnya yang masih polos, dia belum mempersiapkan dirinya untuk tidur bersama.
“Tidak masalah, kamu tetap saja—”
“Tetap saja apa?” tanya Aulia penasaran kenapa Hendery tidak melanjutkan kata-katanya.
“Tetap saja cantik di mata saya.”
Semalam tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Hendery. Akibat pengaruh obat yang dikonsumsi Hendery, pria itu tertidur setelah kembali ke kamar. Mereka berdua memang tidur di ranjang yang sama, tapi karena kelelahan Aulia pun ikut tidur menyusul kemudian.
Saat ini Hendery benar-benar kelihatan serius. Apalagi pujian Hendery barusan terhadapnya, membuat Aulia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Dirinya terperanjat, hingga ingin menyerahkan jiwa raganya hanya untuk Hendery.
"Saya boleh melakukannya?”
_______
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro