Pria Itu Milikku!
Aulia duduk di sebuah cafe kecil yang ada tidak jauh dari tempat bertemunya dia dengan klien barusan. Klien yang ditemuinya sudah pulang, mereka berdua membicarakan pekerjaan. Sekalian saja, Aulia meminta seseorang untuk datang. Syukurlah, orang tersebut mau datang bertemu dengannya.
"Lia."
"Mbak Miska, silakan duduk." Aulia tersenyum ramah. Sementara dia melihat Miska dalam keadaan lesu. Tubuhnya sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Pipinya agak cekung, dan matanya seperti bengkak habis menangis.
"Hem, ada apa, Lia?" tanya Miska seolah tak ingin berbasa-basi. Kalau bukan karena tidak enak dengan Sean, Miska tidak mau bertemu dengan Aulia. Ya, Miska seperti punya hutang budi dengan dua orang itu. Sean dan Hendery.
"Mbak Miska apa kabar?"
"Baik, gimana dengan kamu?"
"Aku baik, mbak. Waktu itu bukannya mbak Miska bilang ada di Bangkok?"
Miska tersenyum tipis. "Iya, hanya sebentar kok. Aku hanya sekedar menemani Daniel," jawab Miska.
"Oh. Rupanya begitu, aku kira mbak sampai berpamitan dengan Hendery karena akan lama di sana," ucap Aulia.
Raut wajah Miska langsung berubah seketika. "Apa kamu kesal karna aku kembali, Lia?"
Aulia mengekeh geli. "Mana mungkin lah mbak. Ada hak apa aku untuk kesal? Itu hak mbak, juga, kan? Aku hanya sekedar bertanya," jelasnya.
"Em, maaf ya Lia. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku hari ini?"
Aulia menarik napas dalam-dalam. Dia yakin dengan tujuannya. Meski dia tidak yakin Miska bisa menerima permintaannya.
"Saya tahu Hendery pernah membantu mbak Miska, dia pernah melakukan donor hati untuk mbak, kan?"
Jantung Miska berdegup kuat saat mendengar perkataan Aulia. Bagaimana perempuan dihadapannya bisa tahu akan hal itu, batinnya bertanya.
"Aku tahu dari Hendery, mbak gak perlu tau kenapa Hendery memberitahu aku. Intinya aku yang mendesak dia agar memberitahu."
"Lia, itu hanya masa lalu." Miska tersenyum ragu.
"Kalau begitu, bisa tidak mbak Miska melupakan saja masa lalu itu? Hendery melakukannya karena dia ingin, dia rela dan ikhlas. Tidak perlu dibahas lagi, merasa tak enak atau berhutang budi."
"Lia ... tapi, mana bisa begitu. Tetap saja itu kebaikan yang tidak ternilai," geleng Miska.
"Lalu, dengan alasan balas budi, lantas mbak Miska memilih tetap merasa tak enak terus. Alih-alih membiarkan hidup Hendery bahagia dengan pilihannya yang sekarang?"
Itulah Aulia, dia selalu terus terang dan tidak suka berbasa-basi. Suka tak suka, baginya dia harus mengatakan. Meskipun yang mendengar mungkin bisa jadi akan membencinya nanti.
Miska langsung terdiam seribu bahasa ketika mendengar ucapan Aulia.
"Aku merasa risi. Bagaimanapun Hendery sekarang dan aku ingin selamanya, dia menjadi suamiku, mbak."
Mata Miska berkaca-kaca. Kalau dipikir bukannya seharusnya Aulia yang bersedih? Tapi ini kebalikannya. Aulia sangat tegar menghadapi wanita yang sudah memuji-muji suaminya. Juga berkata sulit melupakan.
"Mbak Miska sedih, padahal mbak sendiri yang mengatakan tidak ada rasa apa-apa pada Hendery. Lalu kenapa sekarang mbak malah datang lagi?"
"Lia—"
"Maaf aku belum selesai bicara, mbak. Tapi meskipun mbak Miska punya kenangan yang lebih banyak dengan Hendery dibandingkan aku. Tetap saja aku istrinya, aku tidak akan membiarkan mbak Miska merebut suamiku."
"Lia aku gak ada niat merebut suami kamu!" Suara Miska meninggi. Terdengar ada emosi yang membuncah.
"Oh, begitu?" Aulia tersenyum sarkas. "Apa bisa dijamin?"
"Aku juga sudah punya suami," kata Miska.
"Maka dari itu mbak, cintai suami mbak Miska, jangan suami orang lain." Aulia lalu berdiri.
Saat itu Miska bertambah emosi. Padahal dia berusaha untuk baik pada Aulia. Tapi tetap saja dia merasa tidak terima diperlakukan demikian oleh Aulia.
"Aulia, kamu sudah keterlaluan menuduhku." Miska menatap Aulia tak senang sekarang.
Aulia berdecih. Beruntung, dia bukan orang yang mudah kasihan.
"Aku juga punya harga diri. Kamu pikir kamu bisa mengatakan hal seenaknya?" tantang Miska. Suasana mulai memanas.
"Kenapa? Aku suka berterus-terang dibandingkan main belakang. Coba posisikan diri mbak Miska jadi aku, gimana rasanya?"
"Maksud kamu?"
"Jika suami mbak adalah orang yang sangat mbak cintai. Lantas aku datang sebagai orang dari masa lalu dan mengatakan masih cinta, bahkan sulit melupakan, apa mbak gak terluka?"
Kenapa Aulia bisa berkata begitu. Tidak mungkin Aulia tahu begitu saja tentang isi hatinya. Dia bahkan hanya menulis itu di sebuah catatan. Tidak mengutarakan langsung pada Hendery.
"Jangan bermain api, mbak. Jaga hati pasangan masing-masing. Meski mbak sedang tidak baik-baik saja, itu bukan berarti mbak bisa menganggu suami orang."
Miska meremas telapak tangannya geram. "Aulia kamu salah paham! Saya tidak begitu!"
"Ini." Aulia memberikan selembar catatan yang ditulis Miska yang diberikan Daniel pada Hendery. "Kasihan suami mbak Miska. Tak sengaja menemukan itu. Apa menurut mbak, hati suami mbak gak terluka? Begitu juga hatiku sebagai istri pria yang mbak cintai itu."
Miska langsung gemetar melihat tulisan tangannya sendiri pada kertas itu.
"Pria yang mbak cinta adalah suamiku."
Miska meneteskan air mata sambil mengambil kertas itu kemudian meremasnya kuat.
"Pria itu milikku!" tegas Aulia.
"Jangan ganggu dia, atau mbak tidak punya hati namanya." Aulia lalu mengambil tas, dia meletakkan beberapa lembar uang di bawah taplak meja cafe. "Aku permisi ya mbak. Jaga diri mbak Miska baik-baik. Aku tidak benci saat mengatakan ini, aku peduli."
"Apa gak ada gaun yang lebih pendek dari ini?" Aulia menatap dirinya di depan cermin. Dia sedang berada di butik langganannya. Mendadak dia ingin mengubah penampilan, entahlah mungkin efek sedang bad mood karena tadi.
"Ada, tapi apa gak masalah? Bukannya lo bilang suami lo gak suka yang terbuka banget, Lia?"
"Gapapa, gue mau bikin dia marah kok, sengaja."
"Wah mulai gila nih anak. Lo lagi berantem?"
"Enggak, gue cuman iseng."
"Aduh Aulia. Jangan pakai gaun ini di depan cowok lain. Bisa-bisa mereka ngira lo gampangan nanti."
"Berisik banget sih lo, Sya."
Shasya adalah teman Aulia yang memiliki sebuah butik. Aulia biasa mempercayakan masalah gayanya pada temannya itu.
"Ye dibilangin juga. Suami lo pasti marah besar tau."
"Bagus, gue emang mau bikin dia marah." Aulia menyeringai. "Apa rambut gue dipotong aja ya. Biar leher gue lebih keliatan."
"Eh buset dah ni anak malah nantang."
Aulia mengekeh. "Ya kan gue cuman tanya sama lo, Sya. Bagus gak?"
"Terserah lo sih. Kayaknya lo cantik di apain aja. Jadi gak masalah."
"Tumben lo jujur, Sya." Aulia lalu memegang rambut panjangnya. Dia ingat Sabrina selalu melarangnya memotong rambut. Kata Sabrina, rambut adiknya itu sangat cantik dan sayang jika harus dipotong pendek.
"Gak jadi deh. Kakak gue bisa ngamuk nanti," tutup Aulia akhirnya mengurungkan niatnya yang satu itu.
***
Sambil memainkan ponsel, Aulia sedikit melirik ke sebelahnya, lalu mulai mengedarkan pandangan. Para karyawan suaminya mulai menatapnya agak aneh. Mungkin benar kata Shasya, penampilannya malam ini pasti akan menyita perhatian orang-orang.
"Nona, Tuan Hendery sudah ada di kantornya. Mari saya antar," kata sekertaris Hendery.
"Hem, okey." Aulia bangun. Lalu sebagian karyawan laki-laki yang ada di sana langsung bermain mata, seperti mau melihat tapi takut, ya begitulah.
"Apa aku seaneh itu?" tanya Aulia pada sekertaris Hendery. "Nama kamu siapa?"
"Maaf Nona, saya Linda," jawab perempuan berpenampilan rapi tersebut. "Menurut saya Nona sangat mengagumkan."
Aulia tersenyum. "Kamu naik gaji sebentar lagi Linda, nanti aku bilang sama mas Hendery."
"Ah, tidak perlu Nona." Linda jadi tak enak. Tapi sebenarnya dia senang.
"Gapapa, nanti aku bilang sama suamiku."
"Hem, terima kasih Nona. Mari saya antar," kata Linda sumringah.
Rupanya enak juga jadi istri seorang CEO. Padahal dia tak yakin Hendery mau mengabulkan permintaannya menaikkan gaji Linda. Tapi dia tidak boleh gagal, dia malu pada Linda kalau janjinya meleset.
"Silakan Nona."
"Thanks, Linda." Aulia lalu masuk ke ruangan suaminya.
Hendery masih sibuk dengan tumpukan map di depannya. Ah, zaman sekarang, apa masih ada yang bekerja dengan tumpukan map? Batin Aulia.
"Sayang, kamu kok sibuk terus. Istri kamu datang nih," kata Aulia dengan suara manja, dia duduk dipangkuan Hendery.
Hendery menghirup aroma parfum yang tidak biasa dipakai Aulia, mendadak pandangannya sedikit meremang. "Kamu pakai parfum apa?" tanyanya sambil sedikit mengecup ceruk leher sang istri.
Aulia tersenyum. "Feromon."
Hendery mengernyit. "Hem, lalu ini apa maksudnya?"
"Apa?"
"Pakaian ini, kamu mau ke kelab?"
Reaksi Hendery tidak seperti yang Aulia bayangkan. "Gapapa, aku lagi pengin aja pakai baju begini."
Hendery lalu menggeleng. "Bangun dulu, saya mau ambil sesuatu."
Aulia pun bangun mengikuti yang suaminya titahkan. Dia merengut kesal. Bahkan Hendery tidak menatapnya, hanya sebentar melihat ke arah pahanya yang terbuka lalu mengalihkan pandangan.
Hendery kemudian datang membawa pakaian. "Ganti dengan ini, saya tidak mau melihat kamu pakai baju begitu."
"Ini apa?" Aulia melihat Hoodie dan juga celana panjang.
"Ini punya siapa Mas?"
"Itu baru, waktu itu saya ingin mengganti pakaian kamu yang kotor karena kesalahan saya."
"Kapan?" Aulia mendadak lupa ingatan.
"Dulu sekali, waktu kamu datang ke apartemen dan saya menumpahkan minuman tidak sengaja ke pakaian kamu."
Aulia baru ingat. Itu sudah lama sekali sebelum Aulia berangkat ke Amerika. "Selama itu kamu simpan?"
"Iya, dan anehnya hari ini saya punya firasat, saya membawa pakaian itu ke kantor."
Tak habis pikir. Apakah di luar sana ada laki-laki yang seperti Hendery? Dia sangat aneh, reaksinya tidak mainstream sama sekali.
"Kenapa kamu malah diam? Ayo ganti bajunya."
"Tapi Mas. Kamu gak kasih ekspresi apa gitu. Atau respon seenggaknya. Aku gimana malam ini?"
Saat itu barulah Hendery benar-benar menatap istrinya. Tak lama, dia langsung memejamkan mata. "Seandainya saya bisa menghapus ingatan mereka."
"Ingatan?"
"Orang yang sudah melihat penampilan kamu malam ini."
____
Bersambung ...
Baca karya baruku yuk, judulnya Suddenly, i Became a Wife
Baca selagi ongoing juga :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro