Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kita Menikah Saja

"Ayo. Kita cari tempat yang lebih baik untuk bicara." Hendery tidak ingin membicarakan hal yang sangat penting di dalam mobil. Kesannya mungkin tidak baik bagi Aulia, jika membahasnya di tempat yang tidak sepantasnya.

"Hentikan mobilnya." Aulia memandang Hendery dengan tatapan tidak senang.

"Kita butuh bicara, Lia."

Aulia berdecih. "Tidak. Sikapmu sudah menunjukkan niatmu, Mas. Lupakan saja jika urusanmu hanya ingin membuat mbak Miska cemburu."

Bukannya berhenti, Hendery malah menambah kecepatan. Aulia sontak melotot sambil berpegangan ke jendela karena mobil Hendery melaju dengan kecepatan tinggi.

"Sebentar lagi kita sampai."

"Kamu gila, Mas! Hentikan mobilnya!"

"Tidak. Sampai kapan kamu terus menghindar. Kamu pikir apa yang terjadi bisa dilupakan begitu saja."

"Apa maksud kamu sih!"

Aulia tidak mengerti kenapa Hendery masih tertarik membahas cinta satu malam itu. Toh pria tidak dirugikan dalam hal apa pun. Apa jangan-jangan Hendery hendak meminta ganti rugi karena keperjakaannya telah dia renggut?

"Mas Hendery apa kamu masih perjaka malam itu?!"

Mobil Hendery mengerem mendadak membuat kening Aulia sedikit terbentur  jendela.

"Astaga!"

"Lia, maaf, kamu gapapa kan?"

Sambil memegang keningnya, Aulia mendelik ke arah Hendery. "Kamu mau mati, Mas?!"

Tatapan tajam Hendery sekarang hanya tertuju pada Aulia. Gadis itu baru saja membuat terkejut karena perkataannya.

"Maksud kamu apa dengan bertanya tentang perjaka?"

"A-Ada yang salah?" tanya Aulia tidak mengerti. "Habisnya kamu bersikap seolah tidak ... rela, seperti baru saja kehilangan keperja—"

"Hentikan." Hendery memerah. Ia menghela napas berat. "Kamu membuat saya tidak nyaman karena pertanyaan itu."

Sepasang manik mata almond milik Aulia berkilau. "Oh. Maaf kalau gitu," ucapnya pelan.

Aulia terbiasa mengatakan apa pun sesuai kehendaknya. Baginya pertanyaan tadi normal-normal saja diajukan pada Hendery.

"Apa malam itu benar-benar terjadi?" tanya Hendery tiba-tiba.

"Maksudnya?"

"Apa kamu yakin terjadi sesuatu di antara kita?"

Bayangan Hendery mencumbunya bahkan masih teringat jelas. Walaupun dia dalam keadaan mabuk, tapi dia tidak pernah lupa sentuhan yang memabukkan itu.

"Ya, terjadi. Tapi aku tidak yakin aku kehilangan keperawanan ku." Aulia segera menutup mulutnya setelah sadar mulutnya berulah lagi.

"Apa?" kaget Hendery mendengar Aulia berbicara tentang keperawanan. "Jadi kamu masih perawan waktu itu?"

"Maksud kamu apa, Mas! Apa aku kelihatan wanita murahan!" sentak Aulia dengan urat leher yang menegang.

"Santai, saya hanya bertanya, bukan menuduh." Hendery berkilah. "Tidak perlu emosi," lanjutnya.

Gadis berbibir tipis itu mengembuskan napas perlahan. Pembicaraan mereka membuatnya tidak nyaman.

"Sudahlah, Mas. Lagi pula aku tidak menuntut Mas. Malam itu hanya kesalahan semata. Bukan keinginan kita, kan?"

Itu yang ada di pikiran Aulia, tapi berbeda dengan yang ada di pikiran Hendery. Baginya harga diri wanita adalah nomor satu. Dia merasa sudah merusak harga diri Aulia semenjak kejadian malam itu.

"Tetap saja saya sudah merugikan kamu, Lia."

Hela napas Aulia membuat Hendery menoleh. "Kamu tidak merasa dirugikan?"

Bukan tidak merasa rugi. Lebih tepatnya, Aulia bingung harus menuntut atau berdiam diri. Dalam kenyataannya, kejadian malam itu bukan hanya kesalahan Hendery. Dia yang meminta Hendery meminum alkohol miliknya. Kalau tidak, Aulia yakin Hendery tidak akan mabuk.

"Saya yang membuat keputusan untuk minum. Jangan menyalahkan diri kamu sendiri."

Sambil meneguk ludah, Aulia makin bingung dengan sikap Hendery. "Apa yang mau kamu lakukan, Mas." Suaranya mulai terdengar redup. Ia memijat kening karena lelah.

"Jangan berputar-putar, katakan saja apa yang kamu mau. Kita bisa selesaikan dan lupakan semua," ujar Aulia.

Jika tidak dihentikan. Mungkin sikap Hendery hanya terus membuatnya lebih cinta dari sebelumnya. Padahal dari tatapan mata Hendery, dia yakin pria itu masih mencintai Miska.

"Kita menikah saja."

"Ah, menikah." Aulia menghela napas lelah sebelum mencerna kembali perkataan Hendery barusan. "Maksudnya menikah?!"

Tidak ada keraguan sewaktu mengatakannya. Hendery yakin itu adalah kompensasi yang terbaik yang bisa dia berikan terhadap Aulia. "Apa kamu keberatan?"

"Ya!" Aulia tampak marah. "Kamu kira semudah itu menikah tanpa cinta?”

Hendery tersenyum miring. "Saya tidak percaya cinta, Lia."

"Hah?"

"Jadi bagaimana kalau kita buat kesepakatan."

"Tunggu dulu." Aulia menginterupsi. "Kamu bilang tidak percaya cinta. Lantas kamu tidak cinta mbak Miska, Mas?"

Hendery terdiam beberapa saat. Tangannya lalu menyentuh sebelah pipi Aulia. Gadis itu tertegun, sikap Hendery membuatnya bingung dan takut di satu waktu.

"Tidak," jawab Hendery seraya menghela napas. "Maka dari itu jangan bicarakan cinta."

***

Aulia baru saja sampai di rumah. Dia meletakkan tasnya ke atas kasur kemudian menjatuhkan tubuhnya dengan posisi merentangkan tangan. Matanya terpejam, lalu perkataan Hendery membuatnya kembali terngiang.

"Kalau gak cinta, kenapa kamu melamar dia, Mas Hendery?" tanya Aulia.

Hendery hanya diam tidak menjawab.

"Ah, maaf kalau aku sok ingin tahu," kata Aulia lagi. Dia mendadak tidak nyaman karena Hendery tidak mau merespon pertanyaannya.

"Berita itu cepat sekali menyebar rupanya. Apa saya ini orang terkenal sampai melamar wanita saja ketahuan," ucap Hendery.

Aulia tahu itu dari Sean, jadi seharusnya Hendery tidak heran, pikirnya.

"Bukannya kamu melamar dia di sebuah restoran, di hadapan banyak pasang mata. Jadi, kenapa kamu heran bisa ada yang tahu soal lamaran itu?"

Hendery menatap Aulia dengan tatapan dingin.

"Dia menolak saya, kamu juga tahu, kan?"

Aulia mengalihkan pandangan. Sekarang dia menatap lurus ke jalanan. "Walau ditolak, awalnya kamu tetap melamarnya. Mana mungkin pria melamar tanpa cinta."

"Menikah tidak perlu didasari cinta, Lia."

"Apa maksud kamu?"

"Pernikahan hanya sebagai status bahwa dia sudah punya pasangan. Masalah hati, tidak perlu dipusingkan, kalau memang harus cinta, maka akan ada perasaan itu dengan sendirinya."

Aulia membuka mata lebar-lebar mencoba menghilangkan pikiran tentang pernyataan Hendery. Pria itu jelas sudah keliru mengartikan sebuah pernikahan.

"Anehnya kenapa gue masih tetep suka sama dia. Malah tadi gue sempet bahagia waktu tahu dia mau ngelamar gue dan menikah dengan gue."

Tidak lama ponselnya berdering, muncul nama Anyelir dilayarnya.

"Halo, Nye?"

"Lia lo bisa ke Velvet sekarang, nggak?"

"Ngapain gue ke Velvet? Nggak mau."

"Lia, ini teman lo mabok!"

"Hah? Siapa?"

"Mana gue tahu dia siapa. Dia cuman bilang dia teman lo. Terus ... ih! Diem deh lo!"

"Apa sih, Nye? Teman gue siapa?"

Anyelir sepertinya sedang sibuk dengan orang yang mengaku teman Aulia itu.

"Argh! Gak tau! Intinya lo kesini buruan! Dia bikin gue susah!"

Anyelir mengakhiri panggilan begitu saja membuat Aulia tidak mengerti apa yang terjadi.

"Temen gue siapa sih?" gumamnya sambil berpikir siapa teman yang dimaksud oleh Anyelir.

Mau tidak mau, Aulia tetap harus pergi ke Velvet Diskotik. Kalau tidak, maka Anyelir akan terus menerornya.

**

Hendery baru saja sampai di rumahnya. Untuk ukuran pria lajang, tempat tinggalnya termasuk sangat besar. Hendery adalah putra tunggal keluarga terpandang.

Ayahnya bernama Mark, ibunya bernama Zeline. Orang tua Hendery terkesan misterius, keberadaan mereka belum diketahui oleh orang-orang terdekat Hendery. Rumor beredar, keduanya tergabung dalam jaringan organisasi rahasia (Mafia).

Sedangkan Hendery sangat tertutup. Dia bekerja dengan Sean, kakak ipar Aulia sejak memutuskan tinggal di Indonesia. Tanah kelahirannya, setelah sebelumnya ia tinggal di China.

"Halo?"

Alis Hendery mengerut sambil menyentuh salah satu ujungnya. Setelah menerima telepon itu, Hendery mengambil kunci mobil yang tadi sudah dia letakkan di nakas.

"Sialan! Mana sih Anye, kok nggak ada dari tadi gue cari."

Aulia masuk ke salah satu ruangan VIP, tempat Anye biasanya berada. Tapi di sana tidak ada siapa-siapa.

"Tadi dia bilang di tempat biasa, kan." Aulia menggaruk kepala, kesal karena tidak menemukan temannya. "Sialan emang si Anye, bikin kerjaan gue aja!"

"Cantik, sendirian aja?"

Aulia berbalik, seorang pria bertubuh gempal sedang berada di depannya sekarang. Tangan nakalnya coba menyentuh ujung rambut Aulia yang tergerai.

"Woy, Pak! Jaga sikap dong!" sentak Aulia menjauh dari pria itu.

"Ih cantik kok galak sih." Pria itu malah bersikap agresif pada Aulia. "Santai, cari siapa sih? Sini om temenin."

"Get away from me!" Aulia memundurkan diri, tapi pria itu malah tertawa kencang sambil terus melangkah mendekati.

"Kamu jangan sok jual mahal. Saya tau cewek seperti kamu, butuh berapa?"

Aulia meludahi pria itu dengan tatapan jijik. "Lo pikir siapa, brengsek!"

"Heh jalang! Lo barusan ngeludahin gue!"

Aulia tertawa sarkas. "Iya! Kenapa emang! Nggak suka lo!"

"Berani lo!"

Tangan pria tersebut tadinya hendak menampar Aulia. Gadis itu memejamkan mata, dia tidak menyesal atas perkataannya. Jadi tidak peduli jika dia ditampar, dia hanya akan mengadukan perbuatan pria itu pada kakak iparnya, Sean. Biar Sean saja yang mengurus lelaki keparat itu, geramnya.

"Jangan sentuh dia."

Aulia membuka mata dan terkejut melihat Hendery sedang memegang lengan pria itu dengan gerakan memelintir. "Lepasin goblok! Lo siapa sih!"

Hendery menghela napas. "Lia, kamu ke mobil saya sekarang."

Aulia mulanya tergagap. Kehadiran Hendery seperti superhero yang muncul di saat ia membutuhkan. Tapi akhirnya dia berlari mengikuti perintah Hendery untuk pergi ke mobilnya.

"Woy lepasin bangsat!" teriak pria gempal yang memekik merasakan sakit karena Hendery masih memelintir tangannya.

Hendery melepaskan cengkeraman itu sambil mendorong tubuh pria gempal yang meringis kesakitan.

"Menjijikkan."

Setelah itu Hendery melangkah pergi menyusul Aulia.

_______

Aku gak janji di up tiap hari, ya. Tadinya mau tiap hari, tapi ternyata aku banyak kerjaan. Cuma sejarang-jarang nya aku up, insyaallah nunggunya gak akan sampe lumutan kok 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro