Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aku Bukan Patung

Aulia mematung di posisinya duduk. Dia tidak menangis karena kakaknya pergi ke Korea. Hidup mandiri sudah menjadi jalannya sejak ia memutuskan kuliah di luar negeri. Namun, yang jadi masalah sekarang, adalah pria bertubuh tinggi yang sedang berdiri di depannya. Hendery, dia tidak berbicara satu patah kata pun, hanya terus menatapnya.

"Jadi, apa kamu mau saya tidur di sini? Atau kamu lebih nyaman kalau kita tidur terpisah?"

Pertanyaan macam apa itu. Ketika menjadi pasangan suami-istri, sudah jelas mereka harus tidur bersama, bukannya pisah ranjang.

Aulia mendongak, dia menghela napas berat.

"Senyaman kamu saja, Mas Hendery," jawab Aulia, dia sedang tidak berselera untuk berdiskusi.

"Baik, saya akan tidur di sini. Begitu kamu siap, saya ingin kamu pindah ke rumah saya."

Aulia menatap Hendery lagi. "Maksud Mas? Aku tetap mau tinggal di sini," gelengnya.

"Kamu harus ikut suami, Lia, tidak boleh membantah."

Sialan. Rupanya begini Hendery yang sebenarnya. Bodohnya Aulia masih tetap cinta. Padahal sejak pertama bertemu, Hendery tidak ada manis-manisnya berlaku padanya.

"Mas. Sebelum saya pindah ke rumah Mas Hendery, aku mau tanya sesuatu," kata Aulia.

"Tanya saja."

"Kemana orang tua Mas Hendery, kenapa tidak datang sewaktu kita menikah?"

Hendery terdiam. Aulia jadi penasaran.

"Saya tidak punya orang tua. Jangan bertanya tentang itu, Lia. Malam ini tidurlah, kamu pasti lelah."

Hendery kemudian pergi ke kamar kecil. Aulia menggeram tertahan. Dulu dia bersikap sangat agresif pada Hendery, sebelum semuanya berubah. Awalnya dia menyukai Hendery yang tidak ada rasa padanya. Tapi, tekadnya mendekati Hendery sudah dia hapus setelah tahu bahwa Hendery mencintai wanita lain.

"Gue cukup tahu diri. Gue akan kejar dia kalau dia emang lagi free. Tapi kalau di hatinya ada orang lain, gimana bisa gue coba masuk ke sana."

***

Hendery melihat Aulia sudah terlelap. Dia menghela napas lalu menghampiri sang istri yang kelihatan sangat lelah. Ditariknya selimut kemudian ia selimuti Aulia hingga menutup dada.

"Semoga yang saya lakukan sudah benar." Hendery kemudian tidur di samping Aulia, lalu mematikan lampu.

Pagi harinya, Aulia membuka mata dan tekejut melihat Hendery sedang memeluknya. Ia melotot tanpa bisa menggerakkan badannya.

"Kamu sudah bangun?"

Aulia makin terkejut melihat Hendery rupanya sadar telah memeluknya.

"Mas Hendery ngapain pe-peluk aku?" tanya Aulia.

"Tidak tahu, terjadi begitu saja." Kemudian Hendery bangun dan pergi ke kamar kecil.

Aulia menatap heran. Kenapa Hendery sangat santai seolah tidak masalah sama sekali. Hendery belum mencintainya, dia yakin itu.

"Bisa gila lama-lama."

"Kalau masih ngantuk kamu tidur saja. Saya akan buat kopi."

Hendery keluar dari kamar setelah mencuci mukanya.

"Ya Tuhan, dia santai banget padahal ini rumah gue. Apa dia benar-benar sudah siap jadi suami gue?"

Aulia bingung dengan keadaan. Dia menatap ponselnya yang terus berdering di atas nakas.

"Halo, Nye?"

"Lia! Lo gila ya! Emang beneran lo udah nikah?"

Aulia menjauhkan ponselnya dari telinga.

"Iya, sorry gak ngabarin lo."

"Gila sih lo, apa lo hamil makanya nikah buru-buru? Seenggaknya, temen lo di undang dong! Gak asik banget!"

Anyelir memang tidak pernah menyaring kata-kata selama berbicara.

"Mulut lo bisa dijaga, gak. Siapa yang hamil sih!"

"Emang lo gak hamil, Lia?"

"Diem! Ini semua gara-gara lo!"

Aulia berfikir kalau dia tidak kembali ke bar waktu itu untuk menyusul Anyelir, mungkin dia tidak akan di jemput Hendery dan dipaksa menikah mendadak.

"Kok gara-gara gue?"

"Lo waktu itu ngapain minta gue dateng ke Bar? Lo sendiri gak ada di sana?"

"Kapan?"

"Waktu itu lo bilang ada temen gue mabok di Velvet. Masa lo lupa?"

Aulia bahkan tidak tahu siapa teman yang dimaksud Anyelir.

"Oh, sorry gue pergi ke hotel sama dia. Abisnya dia bikin gue—"

Terdengar suara tawa anyelir dari balik telepon.

"Lo tidur sama dia, Nye?"

Anyelir makin terkekeh. "Ya, gimana, habisnya terjadi begitu aja."

Aulia memijat kening. Dia tidak heran dengan kelakuan Anyelir, tapi dia masih penasaran siapa teman yang dimaksud Anyelir itu.

"Emang dia siapa sih? Temen gue yang mana?" tanya Aulia.

"Em, namanya Jasson," jawab Anyelir.

"What? Jasson?"

"Iya, temen lo kan?"

Jasson memang temannya. Tapi itu tandanya Jasson sudah tidur bersama Anyelir?

"Jadi lo dan Jasson udah tidur bareng?"

"Santai aja kali, dia bukan cowok lo kan?"

"Bukan!" geleng Aulia.

"Ya jelas dong bukan. Lo udah nikah dadakan. Gue masih kesel sama lo. Bahkan gue gak tau siapa suami lo!"

"Sorry, kapan waktu gue akan cerita ke lo. Sekarang gue mau mandi dulu ya."

"Ck. Iya deh, yang penting gue pengen ucapin turut bahagia ya, Lia."

"Makasih, Nye. Gue tutup ya."

"Okey, bye."

Rencana Tuhan memang selalu mengejutkan. Sekarang dia kaget karena Jasson malah tidur dengan Anyelir. Itu tandanya Anyelir lah yang menjadi wanita pertama. Jasson pernah cerita, bahwa dia belum pernah berhubungan dengan wanita mana pun sebelumnya.

***

Aulia berjalan ke ruang makan tempat Hendery tengah membuat kopi. Tiba-tiba saja ada seorang wanita tengah duduk berhadapan dengan sang suami sambil menatap sinis.

"Mas Hendery."

Hendery menoleh. Ia lalu berdiri begitu melihat Aulia baru saja muncul.

"Oh, ini istrimu, Hen?"

Hendery menghampiri Aulia, menarik tangannya, membawanya menjauh.

"Mas dia siapa?"

"Em, dia itu Sandra."

"Sandra?"

Wanita itu sepertinya berumur di atas Hendery. Awalnya Aulia berpikiran mungkin itu kerabat Hendery.

"Sandra Zeline."

"Dia siapa?" tanya Aulia penasaran siapa itu Sandra Zeline.

"Dia ibu saya, Lia."

"Oh." Aulia mengangguk. "I-Ibu??!"

Aulia tertunduk menghampiri wanita bernama Sandra itu. Kemudian dia tersenyum kaku kepada wanita tersebut.

"Salam kenal, Bu, saya Aulia."

"Kamu istri Hendery?"

Aulia mengangguk ragu.

"Jadi kamu sudah berapa lama berpacaran dengan anak saya?"

Aulia diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Kedatangan Sandra sangat tidak terduga. Padahal seingatnya, Hendery bilang dia tidak punya orang tua. Lantas kenapa sekarang ibunya malah datang tiba-tiba.

"Hentikan." Hendery berdiri di samping Aulia. Ia menatap Sandra dengan tajam lalu membiarkan Aulia bersembunyi di belakangnya.

"Kenapa? Kamu tidak mau memperkenalkan ibumu sendiri, pada istrimu, Hendery?"

Situasi tersebut membuat Aulia jadi tidak dapat berkutik. Dia hanya bisa bersembunyi di balik badan Hendery.

"Saya sudah terlanjur mengatakan, saya tidak punya orang tua," terang Hendery pada Sandra.

Aulia menutup mulut serentak. Dia tidak menyangka jika Hendery akan mengatakan hal seperti itu pada ibunya sendiri.

Sandra terkekeh. "Oh Tuhan."

"Jadi, berhenti mengaku sebagai ibu saya, Nyonya Sandra."

Hanya bisa bersembunyi di belakang Hendery, Aulia justru merasa sangat bodoh sekarang. Dia tidak tahu, kenapa Hendery dan ibunya tidak akur. Baru kali ini dia menemukan kasus ibu dan anak yang sangat kaku seperti hubungan Hendery dan Sandra.

"Sudahlah. Kalian harus pulang ke rumah Ibu. Kalau tidak, maka ibu akan tinggal di sini bersama kalian."

Sandra tersenyum sebelum mengambil kacamata dari dalam tasnya kemudian memakainya.

"Ibu pergi dulu. Ingat, besok kalian tinggal di rumah, atau Ibu yang akan tinggal di sini."

"Astaga." Aulia mengusap wajah kasar. Ia tidak mengerti sama sekali tentang perseteruan Hendery dan ibunya. Tapi sekarang dia harus terlibat mau tidak mau.

"Lia, kamu tunggu di sini."

Hendery keluar mengejar Sandra yang baru saja hendak masuk ke dalam mobilnya.

"Tunggu," cegah Hendery.

Sandra berbalik, dia yakin putranya akan mengejarnya. "Yes, my son?"

"Tolong jangan buat keputusan semaumu."

Sandra mengerutkan kening. "Semau ibu maksudmu?"

Hendery berdecih. "Ini hidup saya, jangan ikut campur."

Sandra lalu mendekati Hendery sambil menyentuh kerah baju putranya itu. "Hendery, kamu lahir dari rahimku, Nak."

Hendery mengalihkan pandangan. Dia malas mendengarkan. 

"Meski kamu tidak suka denganku, tapi hanya kamu yang aku punya sekarang."

Sambil menghela napas, Hendery menatap Sandra tak senang mendengar ucapan itu. 

"Ayahmu tidak tahu kemana, dan aku sudah lelah. Apa salah jika aku ingin hidup damai dengan putraku sendiri?"

Hendery memandang sengit. "Sudah terlambat. Kenapa tidak dari dulu saja. Sekarang hidup saya sudah jauh lebih baik tanpamu."

Sandra menarik napas dalam sebelum mundur.
Di mengelus dada mendengar penolak Hendery yang ke sekian kalinya.

"Sudahlah, ini keputusanku. Ibu tunggu besok di rumah ya. Kamu masih ingat kan di mana rumah ibu?
Ajak istrimu, ibu akan baik padanya."

Aulia melihat itu semua dari balik jendela. Meski dia tidak tahu persis apa yang tadi dibicarakan oleh Hendery dan Sandra. Tapi di yakin mereka sedang tidak baik-baik saja.

"Sedang apa kamu di sana?"

Aulia terkejut karena Hendery sudah muncul di depannya. "Sedang mengintip. Mas kenapa begitu sih dengan ibu Mas sendiri?"

Tentu saja Aulia heran, seharusnya hubungan orang tua dan anak itu baik, bukan sebaliknya. Walaupun ada juga hubungan yang kurang harmonis. Tapi sikap Hendery menurutnya sangat tidak sopan terhadap ibu kandung sendiri.

Hendery hanya diam lalu pergi begitu saja. Aulia mengejar Hendery kemudian menarik tangannya. "Mas Hendery, kamu gak bisa diam gini. Aku harus tahu, aku juga mau tidak mau akan terlibat kan?"

Alis Hendery bertaut menatap Aulia dengan tatapan tajam kemudian menatap ke arah tangan Aulia yang menggenggam tangannya. Aulia menyadari itu kemudian melepaskan pegangannya pada Hendery. 

"Saya tidak ingin dia mengusik rumah tangga saya. Tapi sepertinya kita memang harus pindah ke sana sementara. Kamu tidak keberatan kan?"

Hanya Hendery yang tahu bagaimana Sandra. Wanita itu sangat keras kepala yang sulit dihadapi.

Walaupun pernikahannya dadakan. Tapi Aulia sudah sah menjadi istri Hendery. Apalagi kakaknya sudah memperingatkan agar dia mematuhi Hendery apa pun yang terjadi.

"Ya, aku akan ikut kalau itu mau kamu, Mas," jawab Aulia.

"Rupanya kamu sudah memutuskan untuk menerima pernikahan ini, Lia," kata Hendery.

Aulia memejamkan mata sesaat. "Sampai kapan harus menolak."

"Ya, saya kira kamu tidak akan menyerah secepat ini."

Keduanya saling memandang satu sama lain.

Sebenarnya Aulia senang bisa menjadi istri Hendery. Dia hanya takut jika Hendery selamanya tidak bisa mencintainya. Namun sekarang, dia memutuskan untuk merebut hati Hendery seutuhnya. Mungkin ini takdir Tuhan yang menginginkan itu semua. 

"Perlakukan aku seperti istrimu. Aku bukan patung," tegas Aulia pada sang suami.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro