Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.Sophie Oriana Ralston

Impian terlihat begitu jauh

Sulit untuk diraih

Namun jangan menyerah

Teruslah melangkah

Maka impian pun dapat kita raih

❄❄❄❄❄

Natal menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu semua orang. Termasuk anak-anak Panti Asuhan Precious yang terletak di Toronto Kanada. Dengan wajah berseri-seri mereka menyanyikan lagu 'Jingle Bell' bersama seorang wanita berambut coklat terang. Sophie Ralston memetik gitarnya dengan wajah bahagia. Meskipun tidak bisa mendengar suara mereka tapi Sophie bisa melihat antusiasme di wajah anak-anak itu.

Benar. Sophie memang tidak bisa mendengar. Dia kehilangan pendengaran karena penyakit Meningitis yang dideritanya saat berusia 18 tahun. Sophie begitu terpukul saat mengetahui hal itu. Karena tanpa pendengarannya, dia tidak bisa meraih cita-citanya sebagai seorang penyanyi. Tapi berkat kasih sayang kedua orangtua dan ketiga kakaknya, Sophie berhasil mencintai kekurangannya dan mampu meraih cita-citanya.

Setelah lagu berakhir, Sophie meletakkan gitarnya dan berdiri di hadapan anak-anak itu. Banyak harapan di dalam diri mereka, tapi tidak semua memiliki semangat untuk harapan itu. Keinginan terbesar Sophie adalah bisa memberikan mereka semangat untuk meraih harapan tersebut.

"A-apa kalian punya cita-cita?" Sophie menggerakan tangannya untuk mengatakan pertanyaan itu dalam bahasa isyarat.

Mereka pun langsung menjawab dan menyebutkan cita-cita mereka. Meskipun tidak semua jawaban terbaca oleh Sophie melalui gerak bibir mereka, tapi wanita itu tahu masing-masing dari mereka memiliki harapannya sendiri.

"Du-dulu aku ingin jadi penyanyi. Tapi saat ... saat kehilangan pendengaranku, harapanku hancur."

Seorang anak laki-laki mengangkat tangannya, "Tapi sekarang kau jadi penyanyi."

"Be-benar. Karena kakakku berkata 'Jangan ... jangan menyerah, karena tidak ada yang mustahil ke-ketika kau mau berusaha'." Dengan susah payah Sophie mengucapkan kalimat panjang itu.

Tidak mudah bagi wanita itu untuk mengucapkan kalimat panjang dalam satu tarikan nafas. Meskipun sudah melakukan terapi, tapi butuh waktu lama bagi Sophie untuk bisa berbicara layaknya orang normal.

Seorang gadis kecil yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangannya.

"Bagaimana bisa kau bernyanyi jika tidak bisa mendengar musiknya, Miss Ralston?"

"Dengan kakiku." Sophie menunjuk ke arah kakinya yang tidak memakai alas kaki.

"Aku ... aku bisa merasakan getaran musik melalui telapak kakiku. Mau ... mau coba, Ruby?" Sophie menggerakkan tangannya untuk mengajak gadis itu maju ke depan.

Ruby pun menganggukkan kepalanya. Sophie mengambil kembali gitarnya.

"Lepas sepatumu," Sophie menunjuk ke arah sepatu hitam yang dikenakan Ruby, "tu-tutup kedua telingamu."

Ruby pun melakukan apa yang disuruh Sophie. Kemudian wanita itu memetikan gitar dengan tempo lebih cepat. Wajah Ruby seketika terkejut bisa merasakan getaran di telapak kakinya.

"Merasakannya?" tanya Sophie.

"Aku tidak percaya. Tapi ya aku merasakannya. Kau luar biasa Miss Ralston."

"Ku-kuncinya hanya tidak menyerah. Aku ... aku yakin kau bisa meraih impianmu."

"Terimakasih Miss Ralston. Aku tidak akan menyerah mengejar impianku menjadi pengacara." Gadis itu memeluk erat Sophie.

Sophie tersenyum. Mengetahui gadis kecil itu ingin menjadi pengacara, mengingatkannya pada seseorang.

※ ※ ※ ※ ※

Di apartemen Sophie, Alex tiba-tiba bersin. Caleb dan Leo yang duduk di sofa bersamanya langsung menoleh ke arah putra kedua keluarga Ralston itu.

"Kau sakit?" Caleb menatap cemas ke arah adiknya.

"Jangan coba-coba menjadi dokterku Caleb. Atau aku akan mematahkan tanganmu." Ancam pria bersurai legam itu.

Leo tertawa melihat Alex melayangkan tatapan tajamnya pada kakak pertama mereka. Tidak ada yang tahu jika alasan Alex menjaga kesehatannya agar tidak perlu diperiksa oleh Caleb. Sejak putra sulung Ralston memeriksa Alex terakhir kalinya dan membuatnya menjadi bencana. Pasalnya Caleb mengurung Alex di dalam rumah. Tidak hanya itu, Caleb juga terus mengomelinya karena alih-alih beristirahat Alex justru bekerja.

"Tapi kau bersin. Biarkan aku memeriksamu." Sang dokter bersikeras.

"Tidak akan kubiarkan. Hanya bersin sekali bukan berarti aku sakit." Alex mengangkat tangannya menunjukkan penolakan.

"Kau terlalu cemas Caleb. Mungkin saja bersin itu karena Sophie sedang membicarakan keburukan Alex dengan orang lain." Leo tidak bisa menahan tawanya melihat Alex melotot ke arahnya.

Sebelum Caleb buka suara, terdengar pintu rumah terbuka. Tatapan mereka tertuju pada adik bungsu mereka. Sophie tidak terkejut melihat ketiga kakaknya sudah berkumpul. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ketiga kakaknya pasti berusaha mengubah keputusannya untuk pergi ke Eginhard, salah satu negara yang berada di Eropa utara. Karena itulah dia membeli dua kotak pizza untuk makan malam.

"Bagaimana kau tahu kami di sini?" heran Leo melihat dua kotak pizza yang diletakkan Sophie di atas meja.

"Sudah ... sudah menjadi kebiasaan kalian menghalangiku pergi." Sophie membuka salah satu kotak dan mengambil sepotong pizza untuk dirinya sendiri.

"Bukan menghalangi Sophie. Kami hanya mencemaskanmu. Eginhard terlalu jauh. Dan kau sendirian di sana. Bagaimana jika ada orang yang menyakitimu atau memanfaatkan dirimu karena tidak bisa mendengar?" Alex memaparkan alasannya dengan begitu cepat.

"Bi-bisakah pelan sedikit, Alex? Aku ... aku tidak bisa baca gerak bibirmu." Sophie menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya tepat di depan bibirnya.

Pria berusia 35 tahun itu tanpa mengeluh kembali mengulangi ucapannya demi sang adik. Bukan tanpa alasan ketiga kakaknya begitu protektif padanya. Karena tidak semua orang menyikapi kekurangan Sophie dengan baik. Wanita itu sudah banyak melihat banyak reaksi orang-orang saat mengetahui dirinya tuna rungu. Dari tatapan iba, jijik seakan dirinya memiliki penyakit menular, atau bahkan lebih buruk lagi mereka memanfaatkan kelemahan Sophie seperti yang dipikirkan kakak keduanya. Tapi terkadang Sophie merasa sesak dengan kecemasan mereka yang berlebihan.

"A-apa kalian pikir aku begitu lemah?" geram Sophie.

Leo, pria dengan tinggi 183 itu memegang tangan Sophie untuk membuat sang adik melihat ke arahnya.

"Kami tidak pernah sekalipun menganggapmu lemah, Sophie. Maksud Alex jika terjadi hal buruk padamu, kami tidak bisa melakukan apapun karena kau terlalu jauh."

Kekesalan Sophie pun lenyap. Dia menarik nafas panjang, "Aku ... aku sudah membuktikan jika aku bisa tinggal sendiri. A-artinya aku bisa menjaga diriku sendiri."

Caleb menundukkan kepalanya. Sebagai kakak tertua, Caleb bertugas menggantikan orangtua mereka yang telah tiada untuk menjaga adik-adiknya. Sehingga bisa dipastikan Caleb-lah yang paling sulit untuk melepaskan Sophie pergi jauh darinya.

Sophie bisa melihat perubahan ekspresi dari kakak pertamanya. Dia mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan pria yang memiliki manik mata abu-abu seperti dirinya.

"Caleb, a-acara ini sangat berarti untukku. Sudah lama menantikannya. Kau ... kau tidak akan menghalanginya 'kan?" Sophie menatap memohon kepada kakak sulungnya.

"Bu-bukankah kau selalu mendorongku untuk tidak menyerah pada impianku?" tambah wanita itu.

Caleb melihat tangan Sophie dan menangkup dengan kedua tangannya. Pria itu mendongak dan tersenyum lembut pada adiknya.

"Kau benar. Aku tidak akan menghalangi impianmu."

Bibir Sophie merekah mendengar ucapan Caleb. Tapi Alex dan Leo menatap Caleb tak percaya.

"Caleb. Kau akan membiarkannya pergi begitu saja? Bukankah kita sepakat untuk mengubah keputusan Sophie?" protes Alex.

"Sophie bukan anak kecil lagi Alex. Kita tidak bisa membuatnya seperti mainan Barbie yang bisa kita atur. Beri dia kesempatan. Aku akan mengambil minum." Caleb berdiri dan berjalan menuju dapur.

Jika Caleb sudah membuat keputusan, maka Alex dan Leo pun tak bisa melayangkan protes. Sophie mengikuti kakak sulungnya. Tidak mudah mengambil keputusan itu, tapi Sophie senang Caleb melakukannya.

Caleb membuka lemari es dan mengambil empat botol bir. Dia menutup pintu itu dan hendak kembali ke ruang keluarga. Tapi sebelum melangkah dia merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya.

"Aku ... aku sangat berterimakasih karena kau mendukungku untuk meraih impianku."

Caleb melepaskan tangan Sophie dan menatapnya, "Memang sulit untuk membiarkanmu pergi. Tapi aku lebih sulit melihatmu hidup tanpa impian. Aku tidak ingin melihatmu seperti itu lagi."

Sophie tersenyum kepada sang kakak. Dia mengangkat tangan kanannya dan meletakkan di dada. Lalu menyilangkan kedua tangannya kemudian menunjuk jari telunjuk ke arah Caleb.

Caleb yang mengetahui artinya langsung tersenyum. "Aku juga menyayangimu."

Mereka pun kembali bergabung dengan Alex dan Leo untuk menikmati makan malam bersama. Tidak ada lagi pembicaraan tentang keberangkatan Sophie ke Eginhard.

※ ※ ※ ※ ※

Halo semuanya.

Akhirnya karya perdana Marrygoldie di dreame rilis juga. Di Chapter ini menampilkan tokoh perempuannya yaitu wanita tuna rungu bernama Sophie Ralston. Tidak hanya itu, ada juga ketiga kakak Sophie dengan tingkah polahnya yang unik. Kalian pilih mana nih?

Caleb?

Alex?

atau Leo?

Kalau Marrygoldie sih pilih ketiganya wkwk....#dasarmaruk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro