Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🐿️ Part 20 🐿️

Unexpected Destiny

Part 20

🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️

Esline membuka pintu sebuah ruangan yang biasa ia tempati untuk menunggu Aldrift. Sosok laki-laki yang ia ketahui teman putranya tengah bermain ponsel, sedang dua lagi tertidur lelap pada sofa.

Kalau tidak salah namanya adalah Candra ketika kemarin mereka berkenalan. "Tante," sapa Candra. Laki-laki dengan kantung mata itu membangunkan kedua temannya.

Esline tersenyum melihat grasak-grusuk mereka. Merekalah yang selalu menemani putranya ketika sedih selama ini. Dalam hati ia merasa tercubit karena menyadari Aldrift yang merasa asing dalam keluarga, dan malah mendapat kenyamanan dari orang lain.

Meletakkan beberapa makanan di atas meja, ia menatap ketiga laki-laki yang kini tengah membereskan barang-barang mereka. "Kalian mau pulang?"

Candra yang mewakili lainnya mengangguk. "Iya, Tante. Mau bersih-bersih dulu. Nanti malam kita datang lagi."

"Kalian nggak sarapan dulu. Tante bawa beberapa roti."

Mereka menggeleng. "Kami langsung pulang saja, Tante." Tidak ada kehendak baginya menghalangi. Ia menerima uluran tangan untuk berpamitan.

Setelah ketiganya pergi, ruangan kembali sepi. Esline berjalan ke arah kaca bening. Sebuah sekat untuk memisahkan dirinya dan Aldrift yang menjalani perawatan di ruangan sebelah.

Mata jernih itu kembali berkaca ketika menatap sosok yang selalu kuat kini tidak berdaya. Terbaring lemah di atas brankar dengan bantuan peralatan medis yang melekat pada tubuhnya.

Air mata tidak mampu terbendung lagi, mengalir begitu saja tanpa permisi, membentuk anak sungai pada pipi. Menutup mulut dengan telapak tangan, Esline menahan isakkan.

Tangannya pelan bergerak mendekati kaca, membelai sekat bening seolah-olah tengah memegang putranya. "Bangun, Sayang. Mama di sini. Sampai kapan kamu mau tidur terus?"

Seminggu sudah Aldrift menjalani perawatan. Dokter mengatakan kalau kondisi Aldrift stabil, tetapi entah kenapa kelopak matanya seolah tidak mau terbuka.

"Kamu anak kuat. Bangun, Sayang. Banyak yang menunggu kamu di sini." Esline tidak dapat lagi menahan tangisannya, rasa sedih itu semakin menyayat sakit ketika menatap keadaan Aldrift masih tidak sadarkan diri.

Pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka, berbarengan dengan ucapan salam dari seorang perempuan cantik yang sebentar lagi menjadi menantunya. Esline buru-buru menghapus air mata tidak ingin terlihat.

Meski yakin Kayla akan menyadari kesedihannya, ia tetap menghampiri calon menantunya itu dengan senyuman. Keduanya berpelukan sesaat. "Kamu sendiri?"

Kayla mengangguk. "Keadaan Tante bagaimana?"

"Tante baik?" Ia mengelus pundak Kayla pelan. "Kamu mau menjenguk Al?"

"Iya, Tante. Boleh?"

"Boleh." Kayla memakai pakaian gown yang memang diperuntukan untuk keluarga saat memasuki ruangan ICU. Melemparkan senyum sebentar sebelum memasuki ruang perawatan Aldrift.

Baru dua langkah memasuki lebih dalam saja tubuhnya sudah bergetar, kesedihan memang sudah melingkupi Kayla sejak kejadian naas beberapa hari lalu. Mata hazzle itu pun beriak, siap tumpah kala ia berkedip sekali saja.

Pelan, ia mendekati brankar di mana sosok Aldrift masih betah memejamkan mata. Menatap nanar tubuh berbalut peralatan medis yang menyebar. Menarik kursi, lalu duduk di sisi orang yang telah menyelamatkannya.

"Hei," sapanya pelan. "Bagaimana kabar kamu?" Meski tidak pernah mendapatkan balasan, Kayla selalu melakukan hal ini ketika mengunjungi Aldrift.

Tangannya bergerak cepat menghapus air mata ketika jatuh membasahi pipi. Memasang senyum selebar mungkin. "Hei. Anak-anak panti sudah merindukan kamu. Katanya kapan kamu ke pan ... ti."

Sudah. Kayla tidak mampu lagi menahan kesedihannya, di akhir kata isak tangis sudah terdengar. Air matanya berlomba untuk mengalir. Menelungkupkan kepala di samping tangan yang masih tergolek lemah, Kayla menumpahkan tangisnya.

"Aku mohon bangunlah," ucapnya serak, syarat akan permintaan.

Namun, mata itu masih tertutup rapat, enggan terbuka menyapa dunia. Merasa percuma, Kayla menegakkan kepala, menghapus jejak air mata. Mungkin, ini belum waktunya.

"Aku keluar. Jangan menyerah untuk kembali," ucapnya lirih. Bangkit, lalu keluar dari ruang ICU.

"Aldrift anak yang baik. Bahkan ia membantu kami dalam sengketa tanah panti." Ketika keluar, Kayla mendapati keberadaan Pak Ropik dan Bu Susi yang tengah berbincang dengan mamanya Aldrift.

Memberikan anggukan sopan, Kayla lebih dulu melepaskan baju gown lalu bergabung dengan ketiganya. Tidak lupa mencium punggung tangan kedua pasangan paruh baya itu.

"Yang sabar, ya." Ibu panti memberikan elusan pada pundaknya.

"Jadi, Aldrift sering menginap di panti?" Esline kembali bertanya. Ia cukup terkejut saat mendapat tamu yang tidak ia kenali.

"Iya, Bu."

Pintu ruangan terbuka tiba-tiba, sosok perempuan memakai seragam perawat datang dengan muka panik. "Nyonya Gautama," panggilnya.

Esline bangkit, mendekati perawat itu. "Saya. Ada apa, Sus?"

"Tuan Gautama mengalami kecelakaan di depan rumah sakit," jelasnya yang mampu membuat Esline terkejut.

"Ya Alloh." Menutup mulut dengan telapak tangan, tubuhnya terhuyung karena berita yang baru saja ia dapat. Beruntung Kayla dengan sigap menangkapnya

"Sekarang korban ada di mana?"

"Tuan Gautama sedang. ....." Tanpa kata, Esline berlari keluar menuju tempat suaminya berada, sekuat tenaga menahan lemas yang dirasa tubuh agar tetap waras untuk melangkahkan kakinya. Cukup membuat semua yang di sana terkejut dan langsung mengikuti.

"Di sini, Bu." Esline yang diikuti Kayla dan pengurus panti berhenti, menatap pintu ruangan yang tertutup dengan mata sembab. Baru saja menangisi putranya, sekarang sang suami juga mendapatkan musibah.

"Pasien mengalami banyak kehilangan darah, Dok." Seorang perawat dan dokter baru saja datang, membicarakan kondisi salah satu pasien. Suaminya kah?

"Stok darah dengan golongan A di rumah sakit tinggal dua kantung. Petugas sedang mengambil di bank darah," lanjutnya. Tangis Esline pecah kembali ketika dua orang tadi memasuki ruangan di mana suaminya tengah ditangani.

"Ya Tuhan. Apalagi ini? Kenapa keluargaku mengalami hal ini?" ucapnya di sela tangis.

Kayla yang melihat itu turut merasakan kepedihan yang Esline rasakan. Dipeluknya tubuh perempuan yang tengah terguncang itu.

"Tante harus kuat. Demi Om dan Aldrift." Melihat seseorang menangis, tentu saja hatinya turut bersedih. Air mata pun turut membasahi pipi melihat kerapuhan yang ada di depan mata.

Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar, keduanya menoleh dan mendapati Revin dengan wajah panik mendekat.

"Ma," panggil Revin saat berdiri di hadapan rumahnya. "Bagaimana keadaan Papa?"

Esline menelan ludah untuk menetralisir kesedihannya. "Papa ada di dalam. Katanya, Papa kehilangan banyak darah dan membutuhkan transfusi darah. Pihak rumah sakit sedang mengambil di bank sekarang," jelasnya meski terbata.

"Revin akan bantu Papa, Ma. Revin akan mendonorkan darah Revin." Mata Esline membeliak seketika. Terkejut dengan ungkapan putranya.

"Revin. Revin jangan, Nak," ucapnya sembari menahan Revin yang akan pergi.

"Ma. Kita tidak bisa menunggu. Lebih cepat lebih baik."

"Tap-" Suara pintu ruangan terbuka membuat Esline menghentikan ucapannya. Seorang perawat keluar membawa beberapa peralatan medis.

Revin mendekat, melemparkan pertanyaan. "Sus. Apa darah untuk papa saya sudah datang?"

"Darah masih di perjalanan, Pak."

"Kalau begitu, ambil darah saya saja dulu. Saya putranya." Revin mengulurkan kedua tangan seolah memberikan sesuatu.

Perawat itu mengangguk. "Kalau begitu, ikuti saya."

Esline semakin panik. "Revin, tunggu Revin."

"Mama tenang saja. Revin akan bantu Papa sebisa mungkin." Tanpa menunggu mamanya mengeluarkan kata-kata, Revin segera mengikuti langkah perawat tadi.

Esline duduk dengan gelisah di depan ruang IGD, pikirannya bercabang, berkecamuk dalam segala hal. Putra bungsunya yang belum juga sadar, suaminya yang masih ditangani, juga Revin yang katanya akan mendonorkan darah untuk sang suami.

"Minum dulu, Tan." Esline menoleh, ia tersenyum tipis menerima sebotol minuman yang diberikan Kayla.

Meneguknya sedikit, lalu menoleh saat Kayla mengatakan Revin sudah kembali. Esline menangkap tatapan tidak terbaca dari putra sulungnya.

Langkah jenjang yang semula terlihat tegap kini tampak lusuh. Pandangan sayu mulai terlihat jelas di pelupuk mata. "Revin," panggilnya dengan suara tercekat.

Revin mendekati mamanya, ia memandang sendu perempuan yang telah merawat dirinya dengan kasih sayang. "Ma," panggilnya lirih. Air mata yang sedari tadi ditahan kini jatuh seketika.

Esline hanya mampu mengucapkan nama Revin tanpa suara. Kesedihan yang terpancar pada wajah putranya seolah mengalir dalam rinya untuk merasakannya pula.

"Apa karena ini Mama menghalangi Revin mendonorkan darah untuk Papa?" Tangis tidak bersuara Esline semakin menyiksa, pertanyaan Revin membuat sakit dalam dada.

"Kenapa Papa dan Mama rahasiakan ini dari Revin?" tanya Revin dengan suara lirih, terdengar sangat putus asa.

Esline menggeleng, tangannya terangkat dan maju selangkah untuk menggapai putranya. "Tidak, Sayang. Bukan seperti itu."

Namun, Revin menghindar, ia memundurkan langkah dengan mengelengkan kepala. Air mata semakin menganak sungai di wajah. Mengepalkan kedua tangan, ia mencoba menahan gejolak sakit yang dirasa.

Kayla tidak mengerti akan situasi apa yang terjadi, hanya mampu diam mengamati tanpa ingin turut campur.

"Siapa orang tua kandungku, Ma?" Pertanyaan yang terasa sulit itu pun keluar seketika.

Tidak ada jawaban, hanya tangisan yang menyayat kala Esline berhasil menggapai tubuh Revin untuk dipeluk. Sebuah kebenaran yang menyiksa, baru saja muncul ke permukaan.

🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️🌵🌵🌵🐿️🐿️🐿️🐿️🐿️

HALLLOOOO

WAW!

apa ini?

Rahasia baru terungkap

Akan ke mana cerita ini berjalan?

Tunggu next partnya.

Ayo yang baca di sana bagaimana punya kabar?

☺️☺️☺️☺️☺️😘😘😘😘

Jangan lupa tekan bintang dan tulis komennya

😘😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro