Red - 17
Sesampainya di perpustakaan kota, kami langsung memasuki pintu utama. Sarah mengkode gue buat simpan tas di dalam loker yang disediakan di sana. Gue menyerahkan tas gue, dan alhasil tas dia dan punya gue di simpan di dalam loker yang sama. Gue mengerjap saat melihat tas gue tiba-tiba berubah hidup dan mengejek gue karena bisa disatukan dengan tas milik Sarah.
Sialan. Dasar tas laknat.
"Ada apa Red?" tanya Sarah ikut memperhatikan tas gue di dalam loker, kemudian menguncinya.
Gue tersadar, "Gak apa-apa. Yuk isi absen."
Sarah mengangguk, berjalan ke arah buku daftar pengunjung perpustakaan kota tepat di samping tangga menuju lantai atas, lantai tempat perpustakaan. Kami mengisi nama masing-masing dan menandatangani kepengunjungan kami. Setelah itu kami diperbolehkan naik ke lantai atas, perpustakaan.
Gue berjalan terlebih dulu, menyarankan Sarah untuk memilih tempat duduk di ujung dekat jendela. "Duduknya di sini ya. Lo bebas pilih buku apa aja dulu, gue tunggu di sini."
"Oh, oke." Sarah berlalu meninggalkan gue yang kini duduk sendiri. Sesekali melihat banyak pengunjung perpustakaan yang kebanyakan anak sekolahan, ada juga pria paruh baya dan sekumpulan mahasiswa yang gue tahu lagi ngerjain tugas tepat di area free wifi.
Mahasiswa banget.
Tak lama kemudian Sarah datang dan duduk di hadapan gue dengan membawa satu buku yang tebal dan gue gak yakin bisa baca buku itu untuk satu minggu. Tebelnya kayak kitab.
"Itu buku apa, Sar?"
Sarah tersenyum, "Buku Kersik Luai. Karya LM Cendana."
Gue yang penasaran mencondongkan badan, "Buku tentang apa, sih? Ada adegan bunuh-bunuhnya gak?"
Sarah tertawa, "Jelas ada. Buku ini bercerita tentang doktrin modernitas yang bersifat dystopia. Nusantara yang telah menjadi terpecah belah, menjadi beberapa distrik. Pancasila yang sudah tidak dihargai, dan kekuasaan pemimpin tirani yang tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Pokoknya recommend banget, Red. Lo kudu baca, soalnya buku ini tuh cowok banget."
Gue melongo, kagum dengan bacaannya, "Terus, ada tokoh cewek cantiknya gak?"
"Ada. Namanya Btari Pembayun. Dia manusia kloning yang gagal. Dibuang dan gagal lagi, karena helikopter yang bawa dia disabotase. Akhirnya dia jatuh ke laut dan terdampar di daerah yang masih mengagungkan kebudayaan kearifan lokal nusantara. Di situ, gue suka tokoh cowoknya. Namanya--"
"Redista Kertanegara." potong gue menyengir.
"Bukan. Dia seorang revolusioner yang meretas keamanan penyadapan Presiden Andromeda yang bakal membuat negaranya lupa akan adat dan budaya, terus memajukan modernitas, melupakan semua kepribadian identitas Nusantara."
"Tokohnya ganteng, gak?"
Sarah berpikir, "Ganteng beraninya, ilmunya, geniusnya, berontaknya, dan setianya sama Btari. Bahkan dia rela ngorbanin nyawa demi nyawa Btari. Aneh ya, kadang cinta emang selalu bikin orang lupa diri siapa dirinya sebenarnya. Dia lupa bahwa dia punya Ibu, dan saudara-saudaranya. Dia malah milih mati demi cinta."
"Namanya juga novel. Gak usah kritis." jawab gue asal.
"Gak Red. Maksudnya, buat apa ada cinta kalau kita masih belum bisa mengatur kehadiran cinta. Jadi gini, lho, misalnya, Kakak gue udah tunangan, dan LDR. Di samping itu dia kesepian dan ada cowok lain yang sayang sama dia lebih dari tunangannya. Nah, gimana tuh, bodohnya, Kakak gue malah terlena dan bohongi tunangannya selama ini. Gimana menurut lo, Red? Cinta itu datang bawa untung apa bikin ribet, sih?"
Gue bingung. Dan gue merasa agak jengkel juga Sarah agak sentimen sama yang namanya cinta. "Gue pikir, cinta itu anugerah. Fitrah dan hadiah agung yang Tuhan berikan kepada semua mahluknya. Rasa yang membuat seseorang senang dan bahagia meskipun itu menyakitkan hatinya. Cinta gak bikin ribet, Sar, gimana kita menanggapi datangnya cinta."
"Entahlah, gue paling sebel kalau liat orang pacaran. Ngomongin cinta sampai lupa semuanya. Lupa diri. Lupa jasa orang tua dan saudara kandungnya sendiri."
Gue menatapnya berusaha mencerna semua alasan dia barusan. Dia menatap kaca jendela tajam, wajahnya nampak marah, dan tidak terbaca. Gue menjentikkan jari di depan wajahnya, hingga dia tersadar dan kembali menatap gue sambil tersenyum kecut.
"Maaf Red. Gue terlalu banyak omong."
"Gue ngerti, Sar." gue berdeham, mengeluarkan ponsel gue dan mencari chat personal gue dan Sarah yang akan gue bahas sekarang. Lupakan soal cinta, karena gue yakin Sarah gak suka merasakan datangnya cinta. Dan akhirnya gue tahu, alasan dia benci dan sulit menerima rasa cinta.
"Oh, iya, lo mau ngomongin apa?" Sarah membuka-buka novel di tangannya asal. Karena gue tahu dia udah baca buku itu.
"Gini, tadi pas waktu ngerjain PR Bahasa Arab, lo denger Gina teriak gak jelas tentang gue ke elo, kan? Je t'aime(aku mencintaimu: Prancis)?" gue memelankan suara.
"Je t'aime aussi(aku mencintaimu juga: Prancis) Red."
Gue mengerjap, kaget sumpah, "Lo jawab, Sar?"
Sarah tersenyum jengah, mengibaskan tangan salah tingkah, "Terusin dulu cerita lo."
Gue mengembuskan napas sesak, agak jengkel, "Dan saat itu lo kirim chat personal ke gue di waktu yang sama."
Gue mengangsurkan ponsel gue yang menampilkan berbagai chat pesan yang dia kirim. Dia menautkan alis, menggeleng sambil bergumam tidak jelas.
"Itu.. Kakak lo?" tanya gue hati-hati.
"Iya deh. Cuma dia yang tahu soal lo." Sarah melengos panjang, menghempaskan badan ke kursi. "Jadi, cuma ini yang lo mau omongin?"
Gue mengernyit, "Lo tahu, Sar, gue hampir marah dan salah paham gara-gara chat Kakak lo ini. Dan lo malah santai-santai aja nanggepin ini semua?"
"Lha terus?" dia membenarkan duduknya, merapatkan kedua tangan, "Maafkan Kakak saya, Tuan Red. Sekali lagi maaf."
Anjir, ini cewek mulai buat gue gak bisa ngomong apa-apa. Tanpa sadar gue tertawa pelan, tanpa suara, meraih kedua tangannya yang terkatup dan melepaskannya. Menggenggamnya. Melihat itu Sarah natap gue, kemudian menyentil kedua tangan gue dengan sadis. Refleks, gue mengaduh pelan.
Rese emang. Gak bisa apa dibawa baper bentar.
"Maaf, Red. Gue sengaja."
Mendengar dia tertawa pelan, gue hanya bisa tersenyum miris, "Parah lo, Yang."
"Je t'aime aussi, Red. Kalau mau tanya lagi."
Sebentar. Gue menatapnya kaget, terkejut, dan sialannya gue masih gak percaya omongan tuh cewek. Gak percaya sama sekali. Seakan mitos. Legenda. Gak bakal terjadi.
"A-apa, Sar?"
Dia berdecak kesal, "Pulang yuk."
Gue melorotkan bahu, "Yang tadi dulu. Ulangi lagi, bentar."
"Pulang duluan ya, Red." dia berdiri dan meninggalkan gue dengan berbagai pertanyaan jawaban Prancis dia beberapa detik lalu.
Ya Tuhan, cepat-cepat gue menyusul kepergian Sarah hingga kami bertemu di tempat loker tas kami di simpan. Gue berdeham, melihat dia membuka kunci loker dan mengeluarkan tas gue tanpa melirik gue sedikitpun. Gemes banget.
"Sar tunggu bentar!"
Gue mengejarnya sampai parkiran perpus kota. Dia tersenyum saat gue memberikan helm Reka padanya.
"Senyam-senyum, seneng liat orang menderita. Ngejar lo yang cueknya gak ketulungan. Sakit, Sar, sakit hati Abang."
Dia tertawa, sebelum akhirnya dia naik ke atas motor. Bedanya, di perjalan pulang, dia mulai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket denim gue. Refleks, gue berdebaran dan senyuman aneh terukir di bibir.
"Sekalian bilang ke Ayah lo. Gue mau minta maaf langsung." ucap gue percaya diri tanpa berpikir panjang ke sekian kalinya. Seketika gue meringis, kenapa gue mesti bilang itu, asyuuhh..
"Bagus!"
Bagus. Gue udah buka gerbang pintu keramat paling menakutkan kalau bisa bertemu dengan bapaknya Sarah. Nightmare.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro