Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Percobaan

BERBEKAL KARTU anggota KIR milik Sisi, kami bisa menggunakan laboratorium kimia selama yang kami butuhkan, asal nggak lebih dari pukul enam sore. Biasanya, aku menggunakan kartu Dhira untuk mendapatkan akses seperti ini. Namun, karena ini proyek rahasia, lebih rahasia daripada proyek bayi kami yang terpaksa dibekukan dulu, maka aku dan Sisi sepakat untuk memulai percobaan setelah pukul empat sore, menunggu sekolah sepi.

Sisi memakai jas labnya, aku melakukan hal yang sama. Di luar, langit senja mulai menguning. Mungkin percobaan ini akan selesai sekitar pukul enam, yang artinya aku harus menelepon Adit supaya dia menjemputku. Semoga dia nggak sedang kencan atau semacamnya.

"Mana resep salinannya?" tanya Sisi.

Aku mengeluarkan kotak kuno warisan keluarga Sisi dari dalam tas. Saat ini, di kotak itu ada tiga perkamen. Satu berbahasa Jepang, satu berbahasa Jawa, dan satu lagi berbahasa Indonesia. Hasil terjemahan Bude Miah itu kutulis di sebuah kertas buram dengan terburu-buru.

- Setelah tiga hari pengendapan, masukkan sehelai rambut Anda ke dalam ramuan, diamkan sampai tiga hari berikutnya atau hingga cairan berubah warna menjadi putih keperakan

- Campurkan satu sendok ramuan ke dalam satu gelas minuman yang hendak diberikan kepada target. Ramuan cinta tidak akan mengubah rasa ataupun warna minuman yang dicampuri

- Seseorang yang meminum ramuan cinta akan jatuh cinta kepada orang yang telah memberikan helai rambutnya ke dalam ramuan

- Satu sendok ramuan akan bekerja selama dua bulan

- Ramuan ini hanya akan memengaruhi kondisi jiwa di bawah kesadaran. Reaksi ramuan ini tergantung pada kondisi psikis serta kebiasaan-kebiasaan target. Setiap orang memiliki cara yang ber- beda-beda dalam mengekspresikan perasaannya

- Ketika dua bulan berakhir, target akan melupakan semuanya

"Lo tahu nggak, Si?" kataku tiba-tiba. "Apa tuh?"

"Kalau sampai nanti muka lo berubah jadi muka Nico, kayak ramuan Polijus di Harry Potter, gue nggak mau tanggung jawab."

"Tapi, kan, elo yang bikin percobaannya!"

Aku mengedikkan bahu. "Yang punya resep siapa?"

"Nenek buyut gue."

"Kalau gitu biarin nenek buyut lo yang tanggung jawab."

Sisi memberengut, aku tertawa kecil.

"Tapi gue beneran nggak yakin nih, Si," kataku serius. "Logika gue masih nggak bisa terima. Mana ada ramuan yang bikin orang jatuh cinta? Lagian ... iyuh! Pake rambut-rambut segala. Jorok!"

Sebenarnya aku sedang mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku nggak mau bertanggung jawab jika ramuan ini nantinya menimbulkan kekacauan. Salahkan saja Sisi dan nenek buyutnya yang menggagas ramuan gila ini. Ya, ya. Aku tahu, aku hanya sedang menyangkal perasaanku. Aku memang penasaran akut kepada Dhira, tetapi nggak seharusnya aku memberinya ramuan cinta, kan? Oke, tenang, tenang. Aku menarik napas panjang.

"Selow, Cit. Kita coba aja dulu. Kalau nggak berhasil, ya, nggak apa-apa. Yang penting, kan, udah dicoba." 

Aku diam saja.

"Kita bikin dua," kata Sisi sambil menyerahkan sebuah gelas kimia padaku.

"Tapi—"

"Kalau nggak mau ngasih ke Dhira, tinggal lo buang aja, kan?" potong Sisi.

Aku terdiam, sebelum kemudian mengangguk menyerah. Sisi benar.

Dengan segera kami meracik bahan-bahan yang telah kami beli kemarin sesuai aturan yang tertera di kertas buram itu.

"Sebentar lagi lo bakal bertekuk lutut sama gue, Nic!" harap

Sisi penuh keyakinan saat menatap gelas kimianya yang dipenuhi cairan berwarna putih susu. Aku nggak menanggapi, tetapi diam-diam kalimat Sisi mulai memengaruhi pikiranku. Oh, ayolah. Apa buruknya mencoba memberikan ramuan itu kepada Dhira? Siapa tahu dia benar-benar akan menyukaiku. Dan kalau nggak, anggap saja aku masih perlu banyak belajar untuk melakukan percobaan. Atau anggap saja resep Sisi itu palsu. Jika ramuan itu nggak berfungsi, aku masih bisa menunggu Dhira menyatakan cinta kepadaku seperti biasa. Nothing to lose.

Aku masih memikirkan hal ini sampai malam harinya, setelah kami menyelesaikan ramuan cinta itu dan membiarkannya meng- endap selama dua hari. Sisi mengirimiku chat yang isinya masih saja soal Dhira. Dia bilang: Dhira itu pemalu, Cit.

Oh

Untuk apa Sisi mengatakan informasi sepenting itu jika aku lebih lama mengenal Dhira daripada dia? Aku tahu Dhira itu pemalu. Aku juga tahu kalau Dhira itu fobia timun. Aku tahu dia nggak bisa naik sepeda, aku juga tahu Dhira alergi parfum sehingga dia memilih memakai minyak telon dan bedak bayi setiap hari. Aku tahu banyak tentang Dhira, selain bagaimana perasaannya kepadaku.

Ingatanku melayang kembali ke ruang lab. Di pojokan ruangan penuh zat kimia itu, ada sebuah rak tua yang nyaris ambruk. Itu sebabnya rak itu cuma dipakai untuk menyimpan barang-barang kecil seperti kain lap atau korek api dan benda-benda ringan semacamnya. Di kolong rak itulah, aku dan Sisi menyimpan rahasia terbesar yang sedang kami coba untuk ciptakan. Rahasiaku sebelah kanan, rahasia Sisi di sebelah kiri. Rak tua yang jarang disentuh orang itulah pelindung rahasia kami yang luar biasa rahasia. Bersama dengan kotak kuno yang sengaja kami tinggalkan di sana.

Mungkin aku memang harus mencoba ramuan itu.

***

Sambil menunggu perkembangan ramuan rahasia yang sedang bekerja di sudut tersembunyi dalam laboratorium kimia, aku benar-benar mengikuti saran dari Vina. Aku mengabaikan Dhira. Dua hari ini, aku selalu beralasan macam-macam kalau Dhira menga- jakku ke lab untuk mengecek perkembangan si bayi. Ada kegiatan di redaksilah, sibuk mengerjakan tugaslah, ada panggilan gurulah, lagi buru-buru karena kebeletlah. Apa saja, yang penting nggak menginjakkan kaki di lab selama Dhira masih ada di sana. Sebagai gantinya, aku selalu menunggu sampai pukul lima sore untuk masuk ke lab dengan kartu Sisi.

Kalau kami nggak sengaja bertemu di suatu tempat, aku akan mengikuti gaya Dhira ketika dia mengabaikanku. Menyapanya pendek dan segera menyingkir dari hadapannya sebelum dia mengajak ngobrol lebih banyak lagi. Kalau Dhira saja bisa melakukan hal itu, kenapa aku nggak?

Sayangnya, itu sulit. Mengabaikan Dhira itu luar biasa sulit. Aku sendiri nggak paham sebenarnya sedang apa. Maksudku, saat orang yang kamu sukai sengaja menemuimu dan mengajakmu ngobrol, tapi kamu malah harus mengabaikannya, kira-kira bagaimana perasaanmu? Apa itu nggak membuatmu merasa nggak ditanggapi? Rasanya seperti neraka saja. Bagaimana kalau Dhira kesal dan menganggapku sombong? Bagaimana kalau dia jadi membenciku? Banyak risiko dari aksi yang sedang kulakukan ini. Namun, Vina selalu menyemangatiku dan mengatakan bahwa setiap kebenaran memang risiko. Katanya, sebuah kebenaran yang menyakitkan jauh lebih baik daripada terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Sok bijak, memang.

"Kalau dia emang suka sama lo, dia pasti akan kehilangan. Tinggal tunggu waktu aja, dia pasti bakal segera nemuin lo. Gimanapun caranya."

Kalimat Vina, walaupun nggak berseni tinggi, juga nggak mengandung quote-quote terkenal, cukup memotivasiku.

Sayangnya, manusia memang hanya bisa berencana. Selebihnya tergantung mood Tuhan. Sore ini, aku justru terpaksa melewati senja dengan orang yang baru saja kita bicarakan. Seperti biasa, aku masuk ke lab pukul lima sore, saat aku yakin sudah nggak ada aktivitas di sana. Sisi nggak bisa ikut, karena dia ada les piano. Namun, di lab masih ada orang. Sialnya lagi, orang itu adalah Dhira.

Sudah kepalang tanggung, sebelum aku sempat kabur, Dhira memergokiku.

"Hai," sapanya dengan senyum tipis yang semenawan biasanya. Yah, lagi-lagi, sial!

"Hai," balasku sedikit kaku. "Pake kartu siapa?" tanyanya.

Aku menunjukkan kartu milik Sisi di tanganku sambil nyengir lebar. "Lagi ngapain?" tanyaku sok tertarik.

Dhira menoleh sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya. Dari punggungnya aku mengintip, Dhira sedang membongkar tangan robot proyek kami.

"Karena lo sibuk," katanya tanpa menoleh. "Terpaksa gue kerja sendirian."

Aku menelan ludah. Dia nggak peduli kepadaku. Yang dia pedulikan hanya robot itu! Dia bahkan nggak peduli mengapa aku "sibuk banget". Huh!

"Oh," kataku singkat sambil garuk-garuk kepala. "Ya udah, gue balik dulu, deh."

"Kok, balik?" tahan Dhira cepat.

Aku, kan, ke sini karena pengin mengecek perkembangan ramuan cinta yang rencananya mau aku berikan ke Dhira. Kalau dia ada di sini, masa iya aku sebodoh itu membongkar rencanaku di depan hidung Dhira?

"Yaaa ... tadi gue ke sini mau nengokin si bayi," jawabku beralasan. "Tapi karena udah ada lo, mendingan gue balik aja."

Dhira mengangkat alis heran. "Kan, kita bisa kerjain bareng-bareng? Biasanya kita begitu, kan?"

Oh, oke. Aku tahu betapa bodohnya alasanku tadi. Aku memang nggak berbakat untuk jadi pembohong.

"Lagian udah sore. Nanti balik bareng gue aja."

Aku nyengir kecut. Kalau saja dia tahu, tiga hari ini aku dan Sisi baru pulang setelah pukul enam sore, ketika satpam sekolah sudah nyap-nyap menyuruh kami pulang.

Pada akhirnya, aku dan Dhira kembali bekerja sama memperbaiki bayi logam itu, sementara di luar langit semakin menguning. Dari jendela kaca di lantai tiga ini, kami bisa melihat proses matahari tenggelam. Ini pertama kalinya aku menikmati senja hanya berdua dengan Dhira.

Setidaknya, karena kebersamaanku dengan Dhira sore ini, aku kembali memikirkan ulang rencana untuk memberikan ramuan cinta kepadanya. Jika aku berhasil membuat Dhira jatuh cinta kepadaku karena ramuan cinta ini, aku dapat apa? Cinta Dhira yang kudapat pun nggak tulus, kan? Dhira nggak benar-benar suka kepadaku. Dan, setelah dua bulan nanti, hubunganku dengan Dhira akan kembali seperti biasa.

Aku bingung, sebenarnya apa gunanya ramuan cinta itu? Sudahlah. Lagian ramuan ini cuma berefek dua bulan. Nggak selamanya. Paling nggak, aku punya waktu dua bulan untuk mem- buat Dhira benar-benar mencintaiku. Ini bukan kejahatan, kok. Pasti bukan. Ini adalah sebuah perjuangan.

Bukankah cinta memang perlu diperjuangkan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro