PAST (6)
Halo, Thorjid balik setelah sekian lama nggak lanjutin cerita ini. Semoga kalian masih penasaran dan masih mau lanjut baca ya.
seperti biasa, jangan lupa Vote dan komennya
Semua keperluan untuk keberangkatan sudah dipersiapkan dengan baik. Kemarin malam, ketika hujan deras mengguyur dan membuatnya tidak bisa tidur karena suara petir yang bersahutan, Theodore menyalakan komputer dan memesan tiket daring dari website resmi. Rencana soal liburan sudah dibicarakan dengan penuh antusias bersama Laura di momen paling menyenangkan. Lagi pula, Theodore sudah menjanjikan destinasi wisata ini jauh hari sebelum mereka menikah.
Apa pun akan Theodore lakukan untuk Laura. Sulit mengungkapkan rasa cinta yang begitu besar pada wanita yang sangat dikagumi.
"Ini akan menjadi liburan panjang yang menyenangkan," ujar Laura antusias ketika mereka baru saja duduk di kursi penumpang pesawat
"Dan perjalanan yang sangat panjang," sambung Theodore. "Semoga kau tidak bosan." Theodore tersenyum, tangannya sibuk membetulkan jaket berbahan jin untuk menghangatkan tubuh.
Perjalanan mereka dimulai ketika matahari mulai tenggelam tepat di akhir bulan Maret. Suhu udara di luar mencapai 11 DC, tidak terlalu dingin, tetapi tidak cukup hangat di dalam pesawat. Pesawat masih akan terbang di atas langit Eropa dalam empat jam ke depan hingga tiba di bandara internasional Istanbul, Turki untuk permberhentian pertama. Theodore cukup bersyukur ketika ia berhasil mendapatkan jadwal penerbangan satu kali transit untuk sampai ke Jakarta.
Laura duduk di dekat jendela pesawat. Senyumnya sesekali terukir. Namun desiran di dalam dadanya tidak mampu ia tahan ketika pesawat mulai lepas landas. Ia melihat ke luar jendela, ketinggian semakin membuatnya gelisah dan sesuatu yang entah apa membuat ia tiba-tiba begitu ketakutan. Pemandangan di bawah sana tampak semakin mengecil, menciut dan berkabut.
Jantung Laura berdegup kencang, napasnya terasa sesak. Ia memegang dada, merasakan kecemasan yang sulit diartikan. Ia sendiri tidak tahu sejak kapan ia punya akrofobia, takut pada ketinggian. Suhu di dalam pesawat cukup dingin, tetapi bulir keringatnya jatuh melewati dahi.
"Laura, kau baik-baik saja?" tanya Theodore. Ia melihat tangan Laura sedikit gemetar dan wajahnya pucat. "Hei, katakan sesuatu. Kau takut sesuatu?"
Laura menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Bahunya terasa berat ketika Theodore merangkulnya. Ia menatap Theodore, berusaha untuk tenang. "Apa ini yang dinamakan fobia ketinggian? Aku merasa seolah-olah pesawat ini hendak menumpahkanku ke bawah."
Perasaan khawatir terlintas cepat di benak Theodore. Ia bertanya-tanya, mungkinkah trauma jatuh dari ketinggian masih membekas di dalam ingatan Laura?
Theodore menggenggam tangan gadisnya yang terasa dingin dan lembab. "Tidak apa-apa. Tidak perlu takut. Kita bisa bertukar tempat supaya kau merasa nyaman."
Itu tidak menjawab rasa penasaran Laura. Ia tidak ingat kapan terakhir kali berada di ketinggian, bahkan di atas gedung atau gunung. Jadi, ia bertanya pada satu-satunya orang yang paling dipercaya. Suaminya.
"Seharusnya aku tidak duduk di sini jika kau tahu aku takut pada ketinggian."
"Laura, kau hanya panik. Tenanglah."
Sulit dipercaya. Laura tidak mendapat jawaban dari Theodore dan itu membuatnya nekat menguji nyalinya sekali lagi. Pesawat sudah berada di ketinggian tiga ribu kaki ketika ia melihat ke bawah.
Mendadak, ia merasakan gaya gravitasi menekan tubuhnya ke bawah. Ia merosot, terdorong kuat dari atas. Tangannya tidak mampu menggapai sesuatu pun. Jantungnya seakan terlepas, keluar dari balik kulit dadanya. Di saat bersamaan, kepalanya terasa sangat sakit, matanya terpejam, dan Laura menjerit histeris.
"Laura! Tenanglah!" Theodore melepas sabuk pengaman dan langsung memeluk Laura. Semua orang di dalam pesawat melihat ke arahnya. Sang pramugari pun langsung datang untuk menanyakan apa yang terjadi. "Tidak apa-apa. Maafkan aku. Pesawat ini sangat aman dan kau akan baik-baik saja, sayang."
Sepatah kata pun tidak keluar dari mulut Laura kecuali isakan tangis. Ia membayangkan bagaimana jadinya jika tubuhnya jatuh dan remuk dalam sekejap? Setidaknya, ia sedikit terlindungi berkat dekapan Theodore yang begitu kuat.
Seorang pramugari berambut pirang dan berseragam biru muda menawarkan bantuan pada Theodore, tetapi Theodore menolak dan berkata bahwa ia bisa mengatasinya.
"Istriku fobia pada ketinggian. Aku akan menenangkannya. Terima kasih," katanya dengan yakin.
Mereka bertukar posisi tempat duduk. Ini memang bukan penerbangan pertama Laura, Theodore hanya terlalu ceroboh membiarkan Laura duduk di dekat jendela. Ia hanya berpikir barangkali Laura akan merasa senang dan terhibur melihat pemandangan menakjubkan. Bagaimana darat dan laut tampak luas dari atas langit. Namun itu justru menjadi pemicu trauma yang tertinggal di dalam memori lama Laura.
Empat jam kemudian--pukul 22.25--Theodore dan Laura tiba dengan selamat di Istanbul. Mereka memutuskan untuk menunggu di bandara selama tiga jam untuk melanjutkan penerbangan berikutnya. Makan malam di launge adalah pilihan terbaik walau mereka sudah mengisi perut saat di pesawat tadi.
Megahnya bandara Istanbul membuat Laura takjub. Bagian langit-langit didesain istimewa dengan lengkungan kubah yang dihiasi motif bulan sabit. Para penumpang yang berseliweran datang dari berbagai negara dan Laura sama sekali tidak merasa asing. Ketakutannya beberapa jam lalu sudah tidak lagi membayangi. Theodore adalah pria berbakat yang selalu membuatnya merasa aman dan nyaman.
Bahkan di saat Laura butuh privasi untuk ke toilet, Theodore seakan-akan takut sesuatu terjadi padanya. Bandara itu terlalu luas dan Theodore takut kalau mata Laura tidak bisa membaca petunjuk arah.
"Santailah sedikit, Theo. Aku bukan anak TK apalagi orang tua yang harus dituntun ke mana-mana."
Kali ini, Theodore membiarkan Laura berkelana dengan caranya sendiri sementara ia duduk tenang di kursi launge. Ia berusaha untuk merelaksasikan tubuh alih-alih melihat Laura berjalan sampai gadis itu benar-benar hilang di kerumunan.
***
Tidak ada yang lebih menyulitkan dibanding harus berkelana mencari orang asing di negara asing pula. Monica terpaksa menyetujui rencana gila Maximiliam dengan mengirimnya pergi ke negara tropis hanya untuk membawa pulang tanaman Saurauia cauliflora. Bahkan mengingat nama tanaman tersebut lebih sulit daripada menghapal bahasa Koene.
"Tanaman langka itu hanya tumbuh di pulau Jawa, Indonesia. Zat di dalam buah tersebut sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan formula yang sedang kukembangkan. Satu-satunya petani yang mengembangbiakkan tanaman itu cukup sulit diajak bekerja sama karena dia adalah pemasok utama perusahaan biologis raksasa Amerika. Pengawasannya cukup ketat, jadi kalian harus berhati-hati."
Monica masih berusaha merentangkan bebas logikanya ketika Maximilliam melanjutkan kalimat. Di sebelah Maximilliam, berdiri seorang pria yang sempat membuat Monica pangling. Mereka saling berpandangan untuk beberapa saat.
"Peter Baren adalah mantan anggota BND*, bagian direktorat EA yang berpengalaman dalam hal menjalin kerja sama dengan pihak luar secara rahasia. Kau bisa mengandalkan Peter untuk urusan komunikasi, koordinasi, dan banyak hal yang tidak kau kuasai soal diplomasi."
Monica meringis sedikit tawa. "Kedengarannya seperti agen intelejen yang akan menjalankan misi berbahaya padahal aku hanya pergi untuk mengambil tanaman tropis."
"Sudah kubilang aku bisa melakukan pekerjaan ini sendiri, Tuan." Nada suara Peter begitu datar dan tenang saat menanggapi cepat omongan Monica.
Monica mengendikkan bahu. "Ya, itu saran yang bagus. Peter tidak membutuhkan orang amatiran sepertiku jika dia bisa melakukan segalanya."
Maximilliam meneguk minumannya sekali, lalu berdeham. "Ini bukan tentang kecakapan seseorang dalam melakukan tugasnya, tapi tentang pengalaman. Aku ingin kau memulai pengalaman pertamamu, Monic. Nantinya, kau bakal lebih sering kuterjunkan dalam urusan-urusan seperti ini. Bahkan yang lebih penting dan rahasia."
Ini pertama kalinya Monica mendapat mandat. Entah apa yang membuat Maximilliam begitu percaya padanya padahal pria itu mungkin tahu kalau Monica bisa saja mengkhianatinya kapan pun Monica mau. Ada beberapa orang yang jauh lebih berkompeten di Black Mountain untuk melakukan tugas tersebut. Tidak bisa dipungkiri, ia sedikit tersanjung. Sulit membedakan antara perasaan tidak pantas dengan bangga.
Setelah pertemuan itu, Maximilliam pergi. Sedangkan Monica memutuskan untuk menetap sebentar di mini pub, menghabiskan minumannya. Peter duduk lebih dekat ketika Monica menuang minuman ke gelas. Barangkali Peter bisa menggunakan kesempatan itu untuk mengenal Monica lebih dekat sekaligus berterima kasih. Ia ingin bercerita tentang latar belakang mengapa ia sempat menjadi pasien di tempat penampungan itu, tetapi Peter mengurungkan niat. Sikap Monica masih terlalu dingin untuk menerima informasi tidak penting. Jadi, mereka hanya bertukar cerita tentang peristiwa penting yang terjadi di berbagai belahan dunia selama Monica terkungkung di penjara.
***
Paspor dan visa palsu milik Monica dan Peter sudah selesai seminggu kemudian. Monica kini memiliki identitas baru dengan nama Chloe Edelmar, berusia 27 tahun, seorang akuntan publik, dan masih melajang. Ia bagai terlahir kembali dengan gaya rambut lurus kecokelatan yang membuatnya tampak lebih segar dan riang. Monica tersenyum-senyum saat melihat foto dirinya di lembaran paspor.
Peter Baren juga mendapat identitas palsu yang tak kalah menarik. Garrick Landolfo, nama yang lumayan keren tetapi tidak sepadan dengan wajah tampan dan pembawaannya yang serius. Alih-alih merasa penting memiliki identitas baru, Peter justru mengkhawatirkan karakter baru itu muncul di dalam jiwanya yang menurutnya sudah mampu dikendalikan.
Seperti yang Maximilliam rencanakan, Monica dan Peter berhasil melewati pintu pemeriksaan petugas bandara tanpa kecurigaan sedikitpun. Mereka cukup yakin kalau status Monica sebagai buronan telah tersebar di segala terminal moda transportasi domestik maupun internasional. Wajah Monica terekam dalam daftar pencarian orang paling berbahaya. Akan tetapi, Monica dan Peter tidak mengalami kesulitan sedikitpun saat di area bandara Breman.
Mata dan pikiran para petugas itu seakan terkontrol oleh sesuatu yang berpengaruh kuat. Monica tidak perlu mengerahkan tenaga yang begitu besar hanya untuk mengelabui orang-orang. Peter hanya berdiri di belakang Monica ketika proses pemindaian berlangsung. Ketakjubannya diungkapkan Peter lewat pujian singkat yang tidak perlu dibanggakan. Monica hanya berjalan sesuai porsi dan kewajiban.
Perjalanan mereka menuju Indonesia memakan waktu hampir satu hari satu malam dalam dua kali penerbangan. Mereka transit di Istanbul pada jam sepuluh malam waktu Turki, menunggu tiga jam lagi untuk pesawat tujuan Jakarta.
Peter mengajak Monica bersantai sejenak di Sturbuck untuk minum kopi sembari menunggu panggilan boarding. Lagi pula, sedari awal perjalanan, Peter berperan dominan dalam mengambil keputusan. Monica hanya menuruti kemauan Peter ke mana pun pria itu menuntunnya sambil mendorong koper.
Hal terpenting yang diketahui Monica saat dekat dengan Peter beberapa hari belakangan, pria itu cukup cekatan dan teliti dalam melakukan tugasnya. Peter mengajarinya beberapa hal tentang budaya Asia Tenggara yang jauh berbeda dengan Jerman. Norma-norma penting mengenai tata krama sedikit bertolak belakang dengan kepribadian Monica. Namun ia merasa yakin mampu mengatasinya dengan kemampuan kognitif yang ia miliki secara lahiriah.
Monica pernah menjadi pemeran pendamping dalam drama kolosial semasa sekolah. Jadi, ia berpikir tidak akan sulit menjadi seorang gadis ramah yang doyan tersenyum seperti Chloe Edelmar. Meski kenyataannya, ia lelah harus membohongi diri sendiri dan orang-orang asing di sekitarnya.
"Kau melakukannya dengan sangat baik sejauh ini," puji Peter saat mereka telah duduk di cafe. "Terus terang aku mengagumi kepintaranmu."
Bahasa Jerman Peter terdengar sangat jelas dan mengesankan. Monica menyeruput Americano miliknya lalu tersenyum. "Ayolah, Gerrick. Kau tidak serius mengatakan itu. Aku payah soal urusan ini."
"Tidak juga. Kau termasuk pemula yang berbakat. Aku bahkan tidak bisa melakukannya semulus itu." Peter memang tidak seluwes Monica dalam menyamar saat usahanya kabur dari incaran intelejen. Pujiannya memang terlalu berlebihan bila ditujukan pada seseorang dengan kemampuan memanipulasi pikiran lawan bicara sehebat Monica. Bahkan tanpa menyamar pun, Monica bisa saja berjalan seperti warga biasa. Namun jaringan mata-mata dan kamera pengawas tidak bisa mengelabui sosoknya.
"Baik, terima kasih untuk pujiannya. Aku semakin mencintaimu."
Peter hampir saja menyemburkan minuman di mulutnya saat Monica mengatakan itu. Ia hampir lupa kalau sekarang mereka sedang berpura-pura sebagai sepasang kekasih yang hendak berlibur ke pulau Jawa. Reaksi Peter membuat Monica ingin tertawa, tetapi ia menahannya sebisa mungkin agar pria di hadapannya itu tidak lepas kontrol. Faktanya, Monica baru tahu kalau ternyata Peter lumayan humoris di balik wajahnya yang super serius.
Kedengarannya, percakapan mereka tidak terlalu penting. Akan tetapi, obrolan mereka ternyata menarik perhatian seorang pria yang duduk dua meja di belakang Monica. Sesekali Theodore melihat punggung gadis itu. Suaranya yang khas dan sulit dilupakan membuat Theodore terperangah beberapa detik. Semakin gadis itu bicara, rasa penasaran Theodore semakin meledak-ledak.
Theodore dengan cepat membuang muka sambil menyeruput kopi saat Peter meliriknya. Ia langsung memakai kacamata hitam agar upaya pengawasannya tidak terlalu kentara.
Dalam skala yang tinggi, Theodore bertanya-tanya apakah firasatnya tentang gadis itu benar?
"Aku perlu ke toilet sebentar," kata gadis itu sambil berdiri.
Theodore memperhatikannya dari balik kacamata hitam saat gadis itu beranjak dari kursi. Dari sisi samping, Theodore bisa mengenali dengan jelas. Semakin jelas ketika gadis tersebut menoleh sesaat ke arahnya.
"Monica?"
Jemarinya langsung gemetaran detik itu juga. Kecemasan di dalam dadanya melanda bagai asap kayu bakar yang menggumpal. Theodore diam selama beberapa detik yang panjang sampai akhirnya ia menyadari kalau Laura juga sedang berada di toilet.
***
Sepasang ibu dan anak berbicara dalam bahasa Jepang dan suaranya menggema di depan deretan wastafel saat Laura sedang mencuci mukanya dengan sabun skrub. Anak perempuan berusia sekitar lima tahun itu lumayan hiperaktif, melompat-lompat entah karena senang atau ingin meraih sesuatu, Laura tidak bisa melihat karena matanya tertutup saat membilas wajah. Ia mendengar suara benda jatuh lalu mengumpat pelan saat menyadari kalau kacamatanyalah yang terjatuh akibat tangan usil anak perempuan yang sudah kabur entah ke mana.
"Oh, tidak!"
Ia menarik dua lembar tisu di dinding sebelahnya lalu mengeringkan wajah. Lantas, apa yang bisa Laura lihat? Ia bahkan tidak berani membuka mata tanpa kacamata khusus miliknya, atau ia akan kehilangan keseimbangan seperti orang yang terkena gempa.
Toilet itu sangat sepi dan ia tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun. Laura berjongkok, meraba lantai sekitar untuk menemukan alat bantu terpentingnya. Setidaknya, ia tidak tampak seperti orang tolol terlalu lama saat seseorang menyentuh pergelangan tangan dan menyerahkan sesuatu.
Laura tersenyum dan berkata, "Thank you for your helped."
Penglihatannya langsung jelas begitu ia mengenakan kacamatanya. Senyuman rasa syukur Laura tujukan pada gadis di hadapannya. Cara gadis itu memandanginya--bibir setengah menganga dan mata yang tidak berkedip--membuat Laura canggung dalam waktu singkat. Gadis itu memegang lengan atas Laura untuk membantunya berdiri.
"You're welcome."
Hening sesaat. Laura merasakan sesuatu yang aneh dengan tatapan gadis itu. Ia gugup, tersenyum-senyum sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Memangnya ia harus mengatakan apa lagi selain terima kasih agar gadis itu tidak berdiri terus di sampingnya?
"Sorry, do you need something? Why are you looking at me like--
"Are you Germany?"
Tentu saja aksen Jerman Laura sangat kentara terlebih bahasa Inggrisnya sangat payah. Namun ketika gadis itu menebaknya, Laura malah tersenyum lebar. Ia cukup lega kalau ternyata orang yang membantunya juga orang Jerman.
"Aku Chloe Edelmar. Salam kenal."
Caranya berjabatan tangan, mengesankan aura yang sulit dijelaskan. Ia ingin memungkiri, tetapi wajah gadis yang kini berjabatan dengannya sangat mirip dengan mendiang adiknya, Felicia. Jika saja Felicia masih hidup, mungkin bakal persis seperti gadis itu.
"Senang bertemu denganmu, Chloe. Aku Laura."
Monica menaikkan sebelah alisnya. "Hanya Laura?" tanyanya sambil tersenyum.
"Ya, Laura Heoglir. Maaf, aku terlalu bersemangat."
Heoglir?
Mendengar nama belakangnya, detak di dalam dada Monica pun menerjang hebat.
Catatan kaki:
BND : 'Bundesnachrichtendienst' (BND) atau Federal Intelligence Service adalah luar negeri Republik Federal. (Sumber : Wikipedia)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro