PAST (4)
Mandy keluar dari toilet seperti ombak laut yang menerjang, meretas keramaian pesta bersama wajah yang diselubungi kalut. Ponselnya tergenggam erat di tangan kiri, sedangkan tangan satunya lagi menjinjing gaun untuk melebarkan langkah. Orang-orang memandanginya. Seorang wanita bergaun biru tua meraih lengannya seolah ingin mengajak bicara, tetapi Mandy tidak punya waktu bahkan hasrat untuk menuruti keinginan tamunya.
"Maaf, Madam. Ada hal darurat yang harus kuurus. Nikmati makan malammu." Ia tersenyum, mencoba meramahkan diri. "Sekali lagi mohon maaf."
Wanita itu membalas senyum seakan paham tatkala Mandy berbalik untuk meninggalkannya.
Mandy masih memikirkan apa yang disampaikan Daniel. Kalimat-kalimat itu seakan membayangi punggungnya, menekan kepalanya, dan menegangkan otot wajah secara praktis. Orang pertama yang ia cari adalah Ehrlich, dan beruntungnya Mandy tidak butuh banyak waktu untuk menemukannya. Suaminya baru saja selesai berdansa dengan Laura beberapa detik lalu sampai akhirnya Mandy berhasil mencengkeram ringan bahu Ehrlich.
Mata Mandy tajam dan tegas saat Ehrlich menoleh ke arahnya. Keterkejutan itu melahap Ehrlich, keningnya mengerut tajam dan ia menebak-nebak tentang apa yang membuat istrinya begitu serius.
"Hei, Sayang," sapanya. "Kau ... terlihat sedikit panik. Apa ada masalah?"
Ehrlich bisa melihat dada Mandy naik-turun seakan sedang menstabilkan napas. Wajahnya menoleh ke arah kiri, Ehrlich mengikuti, dan ia tahu kalau Mandy sedang melihat Laura. Gadis itu kedapatan sedang mengobrol dengan teman-temannya. Tampak bahagia, begitu lepas dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Itu adalah pandangan orang yang sedang mewaspadai sesuatu. Ehrlich pun semakin dibuat penasaran oleh Mandy yang kini menarik lengannya untuk menjauh dari kerumunan.
"Ada sesuatu yang harus kubicarakan," kata Mandy sembari berjalan menuju sudut ruangan.
Kelihatannya sangat penting. Ehrlich tidak protes, ia justru merangkul Mandy agar orang-orang tidak tampak curiga dengan gelagat mereka. Sesampainya di sudut ruangan yang sedikit remang, Mandy menghentikan langkah. Suara musik tidak terlalu keras di tempat itu, tapi bagaimanapun Mandy harus tetap menjaga volume suaranya sendiri.
"Ada apa, Sayang?" tanya Ehrilch.
"Ini bencana. Ehrlich, ini benar-benar gawat." Mandy menarik napas dalam-dalam. Ia memijat pelipisnya, matanya terpejam sesaat dan ia mendengkus pelan.
"Okey, bicara pelan-pelan. Tenangkan dirimu."
"Aku tidak bisa tenang. Bagaimanapun aku tidak bisa tenang," keluh Mandy.
"Ayolah, kita sedang berpesta, hari bahagia keluarga kita. Dan kau tampak seperti orang frustrasi yang kacau."
"Ehrlich, bagaimana aku bisa tenang? Tolong katakan padaku! Bagaimana aku bisa tenang kalau seseorang berpotensi mengancam kebahagiaan keluarga kita. Putra kita!"
Ehrlich mengerutkan kening, wajahnya mundur ke belakang. Ia masih belum mengerti. "Apa maksudmu?"
"Ini tentang Monica. Monica Pölzl" kata Mandy. Ia kembali menarik napas, menatap serius suaminya. "Daniel baru saja menghubungiku. Dia memberitahu kalau Monica Pölzl kabur dari penjara."
Itu terdengar mustahil. Ehrlich tidak mungkin salah dengar ketika istrinya mengatakan berita buruk. Ia sampai terdiam, kehilangan akal selama sepersekian detik. Tatapannya bingung dan linglung secara bersamaan.
Ia bertanya pada Mandy. "Bagaimana mungkin? Itu mustahil."
"Tenaga medis penjara lengah dan menjadi boneka gadis itu. Dan kurasa kau tahu, tidak ada seorangpun yang bisa lolos dari cengkeraman sugesti Monica."
"Peristiwa pembantaian penjara terulang lagi?" Mandy membenamkan bibirnya dan mengangguk cemas. "Lalu apa yang membuatmu begitu khawatir?" tanya Ehrlich.
"Ehrlich, Monica bukan manusia biasa. Ditambah Monica begitu terobsesi dengan Felicia. Semua hal di luar akal sehat kita bisa saja terjadi. Bagaimana jika dia tahu kalau Laura adalah--"
"Mandy!" Ehrlich memotong omongan istrinya. Tepat dan cepat. Satu tangannya menyentuh bahu Mandy menenangkan sebab ia tidak pernah melihat istrinya sepanik itu. "Itu tidak akan terjadi. Tidak akan!" ucapnya tegas. Mandy menggeleng, menyangkal perkataan Ehrlich seolah kenyataan terlalu sulit diterima. "Sayang, dengar. Felicia sudah meninggal. Tidak ada lagi Felicia Pölzl di dunia ini. Yang ada hanya Laura. LAURA. Kau dengar?"
"Monica dibantu oleh Black Mountain. Organisasi gelap yang tidak bisa dikejar bahkan oleh CIA sekalipun. Itu artinya, Monica tidak mungkin bisa didekati, apalagi ditangkap. Gadis itu bisa berkeliaran ke mana saja. Dia bisa sesuka hati berkeliling dunia hanya untuk mencaritahu kebenaran. Tidak akan ada yang bisa menghentikannya, apa kau tahu itu?"
Mandy bersikeras pada asumsinya sendiri. Kepanikan membuat ia sulit mengendalikan emosi. Pada situasi seperti ini, Mandy seakan lupa bagaimana prosedur seorang aparat penegak hukum harusnya bersikap. Lagipula ia sudah lama tidak terlibat dalam kasus-kasus kriminal.
"Itu sebabnya Laura bersama kita, apa kau ingat?" Ehrlich tidak menyangka, sesulit itu membuat Mandy berpikir tenang. "Kita sudah berhasil menyelamatkannya dan dia selalu aman selama bersama kita. Akan selamanya seperti itu. Theo tidak mungkin membiarkan sesuatu terjadi pada Laura. Lagipula, Monica cuma tahu kalau seluruh keluarganya sudah tiada. Tidak ada lagi yang tersisa. Seharusnya dia tidak punya alasan untuk mencari tahu soal saudara perempuannya."
Tarikan napas Mandy terdengar jelas. Ia menjatuhkan kepalanya ke dada Ehrlich, diam di sana beberapa detik sebelum akhirnya teringat sesuatu. "Tapi, Daniel bilang, petugas penjara yang memeriksa sel isolasinya menemukan sesuatu yang mengerikan. Sepertinya Monica merencanakan sesuatu."
"Apa?" Ehrlich dan Mandy terkejut tatkala suara Theodore tiba-tiba muncul di sebelah mereka. Lelaki yang mengenakan setelan toxedo mahal dan tampan itu memandangi kedua orang tuanya bergantian. "Aku mendengar kalian menyebut nama Monica. Katakan padaku apa yang sedang kalian bicarakan."
Bagaimana cara Mandy dan Ehrlich menjelaskan semuanya. Mereka bahkan belum bisa keluar dari kantung penasaran. Masih harus memikirkan solusi, atau paling tidak sebuah cara agar hal yang ditakutkan tidak terjadi. Akan tetapi, Mandy harus mengatakannya. Ia harus membahas ini dengan sangat serius. Di dalam pikirannya, Mandy sedang mencari tahu kapan waktu yang tepat untuk menerangkan semua itu.
***
Malam setelah pesta yang melelahkan, Laura masuk ke dalam rumah yang sudah tiga bulan ditempatinya bersama Theodore. Ia mengangkat bagian bawah gaunnya tinggi-tinggi, melepas heels kemudian melangkahkan kakinya cepat ke dalam kamar. Theodore mengekor di belakangnya sehabis menutup pintu.
Laura membuka segala macam aksesori yang menempel di tubuhnya di depan cermin. Ia tidak banyak tersenyum, tidak seperti apa yang ia lakukan saat berada di acara resepsi. Bagaimanapun caranya, Laura berusaha untuk tidak merusak aksesori yang dilepas saat menaruhnya ke dalam peti penyimpanan. Jemarinya bergerak kasar. Ia melepas gaunnya tanpa hati-hati, seakan ingin merobeknya menjadi beberapa bagian.
Ini adalah hari pernikahannya, seharusnya Laura dibiarkan untuk menikmati acara sampai selesai. Maksudnya, sampai acara benar-benar selesai sesuai jadwal. Akan tetapi, ia dikejutkan dengan tindakan Mandy yang tiba-tiba naik ke panggung band, merebut mikropon sang penyanyi lalu mengumumkan bahwa pesta terpaksa disudahi sebelum waktunya. Semestinya, mereka masih punya waktu dua jam lagi sebelum malam benar-benar menyudahi acara. Laura sedang berkumpul bersama para tamunya ketika ia dikejutkan dengan pengumuman yang dibuat Mandy.
Theodore langsung berdiri di samping Laura ketika Mandy bicara pada semua tamu. Meski nadanya sopan dan permintaan maafnya diucapkan berulang kali, Laura merasa bahwa ia satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa. Ia sama sekali tidak tahu apa alasan dibalik Mandy melakukan hal itu. Tidak ada diskusi, tidak ada informasi. Ia mematung di tengah-tengah aula seperti halnya para tamu yang kebingungan. Theodore sendiri terlihat seakan sedang menyembunyikan sesuatu meskipun pria itu mengatakan alasan yang sulit diterima.
Mandy dan Ehrlich menghampirinya begitu selesai membuat pengumuman. Satu per satu para tamu undur diri, menyerang Laura dan Theodore untum mengucapkan 'selamat atas pernikahan mereka'. Di situasi mendadak seperti itu, Laura tidak tahu harus bereaksi bagaimana selain tersenyum. Pura-pura tahu dan meminta maaf seperti yang dilakukan Theodore. Tidak ada celah untuk bertanya lebih banyak, sebab ia bakal membuat nama baik keluarga suaminya jelek hanya karena ketidaktahuannya yang dangkal.
Laura melihat Theodore yanh berdiri di belakangnya lewat pantulan cermin. Pria itu sudah membuka jasnya sejak perjalanan pulang, kini hanya menyisakan kemeja putih yang bagian lengannya digulung dan celana bahan.
"Sayang, aku minta maaf," ucap Theodore yang kini sudah sangat dekat dengan punggung Laura.
Jemari Laura membuka anting sebelah kiri ketika Theodore mulai memeluk tubuhnya.
"Kau sudah mengatakannya puluhan kali," balas Laura. "Pemadaman listrik darurat di kota. Bagaimana mungkin hal semacam itu di luar sepengetahuan kita sebelum menggelar acara? Kupikir kita sudah mengurus semua izin pengadaan."
"Kau marah? Itulah yang kulakukan pada pemilik gedung untuk tidak mempersingkat acara kita. Tapi pemerintah kota mendesak semua orang dalam keadaan darurat."
Theodore membantu Laura yang kesulitan membuka risleting gaun di bagian punggung selagi gadisnya bicara. "Kau menghilang selama lima belas menit tanpa memberitahuku, hanya untuk berseteru dengan staf gedung? Pengantin macam apa yang meninggalkan pasangannya untuk hal yang bukan menjadi urusannya?"
"Hufft ... kau pasti merasa kehilangan tanpa aku di sisimu, bukan?"
"Ini bukan waktu yang tepat untuk menggombal, Theo." Dengan bantuan Theodore, Laura menanggalkan gaunnya. Ia menggantungnya di hanger hati-hati lantas menaruhnya ke bilik khusus pakaian. Kini tubuhnya hanya tinggal berbalut hotpants ketat dan backless bra.
Dari belakang, Theodore menyergap Laura. Memeluknya. Laura tidak bisa berkutik sedikitpun setiap kali Theodore memperlakukannya semesra itu. Ia bisa meraskan napas hangat Theodore memukul leher belakangnya. Bibir lembut pria yang kini telah menjadi suaminya menyentuh permukaan kulit. Kekesalan Laura pun berangsur memudar. Ia tersenyum, membalas perlakuan Theodore dengan cara lebih intim.
"Jangan marah lagi. Mom melakukan itu karena terpaksa. Kau tidak boleh merusak momen spesial kita." Theodore memeluk Laura semakin kuat seakan tidak ingin melepaskannya.
"Lupakan," kata Laura. "Kita sudah melewatinya. Itu pesta yang sangat menyenangkan dan aku merasa bahagia. Bagiku, itu sudah cukup."
Theodore mengecup kecil hidung Laura seperti yang sudah menjadi kebiasaan. "Yah, tidak boleh marah. Kau jelek kalau marah."
Laura tertawa menggemaskan dan berkata, "okey ... tidak boleh marah. Aku janji."
"Bagus! Aku punya kejutan." Theodore menarik tangan Laura ke kamar lalu mendorong pelan tubuh gadis itu ke atas kasur. Laura tertawa, kasur melesak begitu Theodore ikut membanting tubuh di sebelahnya. "Besok malam, kita akan ke Bali."
Laura terperanjat kaget. "Kau serius?"
"Yah, kau pasti tidak menyangka akan secepat itu, bukan?"
"Bagaimana mungkin kita mempersiapkan semuanya dalam waktu sehari?" Kening Laura mengerut, teringat sesuatu. "Pekerjaanmu. Kau belum menyelesaikan proyek tambang bersama teman-temanmu."
"Itu bukan masalah, kau tidak perlu memikirkannya. Yang penting kita bisa bersenang-senang berdua."
Laura bertanya pada Theodore berapa lama mereka akan berlibur, tetapi Theodore justru diam, tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa tersenyum dan kembali memeluk Laura.
Berapa lama? Theodore sendiri tidak tahu akan berapa lama mereka pergi. Bersembunyi, dari seseorang yang bisa saja datang tanpa diduga. Theodore sudah bersikeras untuk mempertahankan diri tetap tinggal di tempatnya sekarang. Ia sudah membeli rumah itu dengan tekad penuh menghabiskan usia bersama Laura. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak saran ibunya sendiri untuk pergi dari Rovemenia. Keluarga Heoglir sudah lama pergi dari Jerman, tetapi jejak mereka bisa saja terendus dari teman-teman lama mereka.
"Monica kabur dari penjara tepat di hari pernikahan kami," kata Theodore saat berdiskusi dengan orang tuanya di ruangan kantor gedung ballroom. "Apa menurutmu itu hanya suatu kebetulan?"
Mandy langsung mengajak Ehrlich dan Theodore ke ruang kantor untuk meminjam komputer yang tersambung internet setelah Daniel mengabarinya soal penemuan yang dikirim lewat surel.
Layar komputer menampilkan halaman situs e-mail. Mandy membuka akunnya sambil menanggapi Theodore yang berdiri di belakangnya. "Sulit mengatakan kalau itu hanya kebetulan. Kita tidak tahu bagaimana cara Monica berhubungan dengan Black Mountain padahal selama ini dia tidak pernah bertemu dengan siapa pun. Aksesnya sulit ditembus."
Mandy mengeklik kotak masuk dari Daniel. Ada sebelas file gambar yang dibuka Mandy. File pertama menunjukkan dinding sel yang ditempati Monica dipenuhi coretan yang diukir menggunakan benda tajam. Awalnya tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi setelah Mandy membuka file-file berikutnya, mereka terkejut bukan main.
Tulisan-tulisan itu dibuat dalam bahasa Koene dan Jerman. Di bagian bawah gambar, polisi penyidik menerjemahkan bahasa asing tersebut ke bahasa Jerman. Dari sanalah mereka tahu apa yang selama ini menjadi incaran Monica.
'Aku mencintaimu, Dad.
Aku menyayangimu, Krill.
Aku membencimu, Mom.
Dan aku membutuhkanmu, Felice'
'Keluargaku tidak mati, mereka hanya tidur. Aku akan membangunkan kalian suatu hari nanti'
'Felice, Felice, Felice. Kau di mana? Aku kesepian'
'Aku pasti akan menemukanmu suatu hari nanti'
'HIDUPKAN'
'HIDUPKAN'
Gambar terakhir. Tulisan berbahasa Jerman. 'Kekuatan baru. Aku akan mengembalikan keluargaku'
Lalu, tidak ada jalan lain kecuali membawa Laura pergi ke tempat yang sangat jauh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro