PAST (3)
Monica tiba di tempat yang disebut James Broke sebagai markas pada pukul delapan pagi. Pria setengah tua berambut putih dengan kulit pucat itu bagaikan pemandu wisata khusus bagi Monica. Helikopter mengeluarkan suara berisik meskipun Monica masih menggunakan headphone untuk membuntukan telinga. Monica melihat ke bawah, tempat tujuannya ternyata berada di kawasan industri. Wilayah tandus dan panas, jumlah pepohonan bisa dihitung, di belah oleh jalan raya yang didominasi oleh truk-truk pengangkut barang.
Bangunan yang berdiri, yang James sebut sebagai markas, memiliki atap berwarna keperakan yang sangat lebar. Asap berwarna hitam pekat membumbung dari menara berbentuk pipa, menandakan bahwa tempat itu punya aktifitas besar. Sekeliling bangunan itu di sekat oleh pagar kawat setinggi dua meter. Semakin helikopter mendekat ke daratan, Monica bisa melihat beberapa orang pria berseragam sedang berpatroli di sekeliling area tersebut.
Kendaraan itu turun perlahan di area helipad. Lagi-lagi, Monica belum mau bertanya pada James Broke mengenai tempat itu. Ia membuka headphone dari kepalanya kemudian keluar, menginjakkan kakinya ke tanah kasar. Angin dari baling-baling helikopter membuat rambutnya berkelebat kencang. Debu-debu yang berterbangan membuat matanya sakit. Ia memandangi pintu masuk tempat itu, yang bila ia terka bukanlah pintu utama.
"Mari, ikutlah denganku," ajak James. Pria itu berjalan di depan Monica sebagai penuntun.
Udara dingin berubah hangat ketika Monica melewati ambang pintu. Ia bisa melihat kesibukan para pekerja melakukan aktifitas mereka. James menerangkan tatkala membawanya melewati mesin-mesin berbau minyak gemuk. Para pekerja menatapnya seperti orang asing menakutkan ketika Monica berjalan melewati mereka, meski langkahnya sedikit terhuyung.
Kebanyakan dari mereka adalah wanita berkulit kecokelatan, kemungkinan berasal dari bangsa Myanmar atau Kamboja. Monica menatap mereka satu per satu. Orang-orang itu mengenakan seragam kaos berwarna biru dan mengenakan penutup kepala yang terbuat dari kain katun. Perawakan mereka sepadan, kurus dan seolah tidak tampak kehidupan yang layak di baliknya.
"Di sini, kami memproduksi kardus untuk kebutuhan Negara bagian Utara," terang James ketika mereka berada di ujung ruang mesin yang suaranya kasar dan memekakan telinga.
Ya, Monica bisa melihat tumpukan kardus berbagai ukuran di dekat pintu masuk tadi. Ini tidak seperti yang terlihat dari luar. Awalnya Monica berpikir ini adalah tempat industri sesuatu yang mengerikan. Mungkin pusat penjagalan hewan, minuman ilegal, atau tempat pembunuhan masal manusia tidak berguna. Namun ia justru melihat sesuatu yang normal justru berjalan normal sebagaimana yang pernah ia lihat enam tahun sebelum ia dipenjara. Tepatnya sebelum ia kehilangan segalanya.
Ia merasa semakin lemas di belakang James. Lelaki itu membawanya masuk ke dalam lorong, berbelok ke kiri bersama dengan ketidakacuhannya meskipun suara ringisan Monica terdengar. Perut Monica mulai terasa sakit dan ia hampir tidak sanggup menahan bobot tubuhnya sendiri. Kini James berhenti sejenak dan menoleh ke arah Monica sebelum menuntunnya menuruni tangga.
"Kau butuh bantuan?" tanyanya. Raut wajahnya sama sekali tidak menunjukkan simpati, tetapi juga tidak menampakkan rasa keinginan besar untuk membantu.
Monica meremas perutnya. Satu tangannya menapak pada dinding dengan wajah yang dikuat-kuatkan. "Aku baik-baik saja."
"Tenanglah. Sebentar lagi kau bisa beristirahat di kamarmu." Kedengarannya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Monica berusaha mati-matian bertahan. Kini ia kesulitan membedakan antara rasa sakit dan kelaparan. James membuka tuas yang terpasang kokoh di lantai, di sebuah ruangan yang sulit dijangkau oleh orang awam karena letaknya yang sangat rahasia. Seperti bilik tersembunyi di dalam ruangan terbengkalai dengan kebersihan yang terjaga. James masuk lebih dulu, kakinya menginjak tangga yang menghubungkan ke sebuah ruangan di bawah sana. Wajahnya yang tersisa mendongak pada Monica, mengisyaratkan tamunya untuk ikut masuk.
Terus terang Monica lelah dengan penelusuran lorong yang tidak ada habisnya setelah itu. Ia baru bisa bernapas lega ketika James berhenti di depan pintu. Tangannya merogoh kantong jas. Sebuah anak kunci dicolokkan dan putarannya terdengar keras. Pintu itu terbuka, James mempersilakan Monica masuk.
"Ini kamarmu. Masuklah," pintanya.
Ruangan itu tidak terlalu luas. Kamar yang sebagaimana disebut kamar. Berisikan sebuah tempat tidur single, dua buah sofa dengan meja kecil berlampu hias di tengah-tengah. Tidak ada jendela. Suara bip terdengar ketika James memencet remote pendingin ruangan. Secara keseluruhan ruangan itu seperti kamar hotel kelas bawah dengan tarif murah. Setidaknya Monica lega karena toiletnya jauh lebih bersih dibandingkan sel penjaranya.
"Sebentar lagi seseorang akan mengantarkan makanan dan memeriksa kondisimu." James berdiri memperhatikan ketika Monica terduduk lelah di atas kasur. Mereka berpandangan, tanpa bersinggungan. "Nona Pölzl, kupikir kau akan melontarkan banyak pertanyaan padaku. Apa kau tidak mengkhawatirkan sesuatu?"
Monica diam, terus memandangi James, kemudian berkata, "Aku lapar."
***
James bergegas masuk ke dalam ruangan pribadinya yang tampak seperti rumah. Ruangan itu masih berada di basemen yang sama dengan Monica. Hanya saja James memiliki porsi ruangan yang lebih besar dan mewah dibanding anggota yang lain. Lagipula ia sudah mengabdi di tempat itu selama belasan tahun, hidup sendiri tanpa keluarga meskipun ia sudah menganggap orang-orang di organisasinya adalah keluarga.
Suara telepon yang berdering membuat James terburu-buru menuju ruang tengah. Ia meraih telepon yang terpasang di dinding kemudian menempelkannya ke telinga.
"Halo," jawabnya.
"Apa dia sudah siap?" Suara di seberang sana terdengar mendoktrin namun tenang dan berat. James langsung tahu siapa orang itu. Ia menyeka peluh di pelipis, kecanggungan menyertai.
"Sudah, Tuan. Dia sudah lebih baik setelah dirawat oleh dokter," jawabnya dengan kalimat santun dan penuh hati-hati.
"Apa dia sudah tahu?"
"Tidak. Kupikir dia belum tahu apa pun." Pria di seberang telepon mengembuskan napas pelan lalu memberi instruksi pada James. "Persiapkan dia dengan baik. Aku akan tiba dua jam lagi."
James sedikit terkejut mendengar rencana mendadak itu sampai ia tergugup. "Ba-baik, Tuan."
Sejak tadi, sejak James membawa Monica bersamanya, ia berusaha keras menahan ekspresinya untuk tidak gugup. Wanita itu memiliki aura mistis yang entah bagaimana caranya mampu membuat James tidak bisa berpikir tenang. Ia dirundung kegelisahan, tetapi syukurnya James bisa mengendalikan diri untuk tidak terpengaruh. Pertama kalinya sejak ia menjadi orang penting di organisasi Black Mountain, James bertemu dengan wanita seperti Monica. Ia bisa merasakan isi kepalanya ada yang tidak beres saat Monica menatap matanya lalu mengeluh lapar. James tidak dapat bertahan lebih lama di dekat Monica. Tangannya gemetaran, matanya sedikit kabur kemudian secepat mungkin ia keluar dari kamar itu untuk menyuruh bawahannya mengurus Monica.
***
"Sepertinya ini akan menjadi hari yang serius," ujarnya pada diri sendiri saat ia mematut di depan cermin.
Monica mengganti pakaian penjaranya dengan pakaian yang jauh lebih layak. Orang suruhan James menyediakannya celana jin hitam yang ukurannya sangat pas, blouse berwarna merah hati, dipadukan outfit blazer hitam berbahan wedges premium. Monica telah segar bugar sehabis mandi dan keramas. Sedikit polesan lipstik merah di bibir, alis yang digambar sempurna, bedak yang membuat wajahnya tampak segar, serta parfum mahal yang tidak sangka ia dapatkan juga. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendandani diri. Tentu saja, enam tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menjalani hukuman isolasi level tiga. Status narapidananya disejajarkan dengan pembunuh berantai, pria kanibal dan manusia psikopat yang tidak tertolong.
Selama bertahun-tahun Monica menunggu hukuman mati itu datang. Ia telah melewatkan masa remajanya yang cemerlang dengan menghabiskan waktu di sel terkutuk. Perubahan itu tidak terlalu signifikan, tetapi ia merasa bahwa kini ia telah berubah menjadi wanita dewasa yang bebas melakukan apa saja. Monica juga telah membekali dirinya dengan kemampuan baru yang tidak dapat dijangkau orang lain. Meditasi yang dilakukannya selama lima tahun terakhir telah membuat ambisinya menguat, tidak tertandingi dan ia bersumpah untuk tidak tergoyahkan.
Bahkan membaca isi pikiran lawan bicaranya saja tidak sulit. Konon lagi mengendalikannya. Monica memiliki apa yang disebut, master of mind.
Ia masih memandangi pantulan dirinya di depan cermin. Bibirnya tersimpul kecil. Senyum itu melebar sepersekian detik. Kedua matanya mematung, menyerupai penglihatan yang berada pada satu titik. Ia tahu, Monica tahu segalanya. Ia bahkan tidak perlu penjelasan panjang dari pria berambut putih itu untuk maksud mereka membawanya ke tempat tersembunyi ini.
Di saat bersamaan, ia mendengar pintu kamarnya diketuk. Monica mempersilakan mereka masuk. James muncul paling pertama, pria itu membawa empat orang pria berpakaian serba hitam turut masuk di belakangnya. Monica menoleh, berdiri tegap di depan James yang masih sama gagahnya saat terkahir kali mereka bertemu enam jam yang lalu.
"Tuan ingin bicara denganmu," ujar James memberi tahu.
"The Meredith?"
James ternganga mendengar Monica menyebut nama itu. Ia bahkan belum mengatakan apa-apa tentang tuannya. Ia mengedipkan mata, berusaha untuk tidak tampak kaget.
"Kau bisa memanggilnya Tuan Maximilian."
Monica mengangguk lalu berkedik. "Okey, itu terdengar lebih baik."
Tidak banyak kata lagi yang James lontarkan. Ia membawa Monica berjalan melewati lorong yang belum Monica lewati sebelumnya. Suara langkah kaki terdengar hampir serempak. Di kiri-kanan dinding lorong, terdapat foto-foto dengan gambar aneh terpajang. Frame foto itu tampak usang, warna foto dominan hitam putih. Mungkin banyak diambil di tahun 40 - 60an. Monica tidak terlalu memperhatikan, tetapi ia bisa melihat gambar-gambar orang tersiksa itu tampak menderita. Foto itu seakan menjerit, penderitaan yang tiada ujung. Manusia dikuliti hidup-hidup, kepala yang dibor, wajah-wajah penuh dosa itu bagai berada di neraka. Mulut mereka terbuka, mata melotot, pisau menyayat kepala atas, lalu dengan gampangnya saja orang lain mengambil gambar dengan kamera.
Monica ngeri membayangkan itu semua. Jika benar apa yang mereka inginkan dari dirinya, Monica berharap tidak diperintahkan untuk berbuat sekeji itu pada manusia lain.
Mereka tiba di sebuah ruangan berukuran sedang. Hanya tersedia meja dan satu kursi yang dihuni oleh seorang pria tua bertubuh tinggi. Pria itu mengenakan setelan jas mahal, jam tangan yang terbuat dari emas asli, rambut putihnya sedikit botak di bagian belakang, wajahnya dipenuhi kerutan dengan tatapan mata yang sulit diartikan.
Pria itu masih berada di tempat duduknya. James bergeser dua langkah ke kiri untuk menunjukkan bahwa ia telah membawa tamu untuk tuannya.
"Monica Pölzl sudah ada di sini, Tuan."
Empat pria pengawal tadi keluar ruangan. Pintu di tutup. Kini tinggal Monica, James dan pria yang dijuluki The Meredith saling terdiam bersama aura yang terasa gelap.
"Aku telah menunggumu selama enam tahun lamanya." Suara pria itu terdengar gemetar sebagaimana orang tua yang sudah lelah untuk hidup.
"Terima kasih karena sudah membantuku keluar dari rumahku." Monica membuat penekanan khusus pada kata yang terakhir. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku blazer, berdiri di hadapan Maximillian seolah-olah ia memiliki sesuatu yang berharga di dalam dirinya.
Maximillian masih duduk di kursi kayu dengan busa berbalut kulit sintetis di bagian bokong dan sandaran. Kakinya menyilah, satu tangannya berada di sandaran lengan sedangkan satunya lagi memainkan jemari di atas perut.
"Tidak," katanya. "Ini rumahmu. Ini adalah rumahmu yang sesungguhnya. Nenek buyutmu, Margareth Pölzl seharusnya memiliki kesempatan untuk mewarisi apa yang telah ia bangun pada keturunannya."
Monica diam. Ia mendengarkan dan ia belum ingin berkomentar apa pun.
"Di masa perang dunia kedua, Margareth berperan dalam upaya pemberantasan kaum minoritas Yahudi dan para bangsawan kala itu. Ia berada dalam jajaran paling atas Freemason, menguasai seluk beluk operasi yang tengah mereka jalankan. Ada misi terstruktur yang tersembunyi di dalam organisasi itu. sesuatu yang sangat membahayakan eksistensi umat manusia di masa mendatang."
"Apa itu?" Tiba-tiba saja, Monica teringat dengan perkataan Drouf Müller saat ia disandera dan dipaksa untuk menjadi pengikutnya. Tentang penyimpangan visi nenek buyutnya hingga membuat formasi mereka kacau dan terbantainya para bangsawan yang sebagian besar adalah orang-orang Freemason.
"Tatanan dunia baru. Kau tidak akan bisa membayangkan bagaimana manusia di seluruh dunia dikendalikan oleh satu sistem. Peradaban akan bergeser. Orang-orang berjalan seperti terprogram, remote kontrol dipegang oleh satu orang yang sangat berkuasa." Maximillian berdiri. Tubuhnya sedikit bungkuk tetapi ia tidak tampak kesulitan ketika berjalan mendekati Monica. "Margareth tidak ingin anak cucu dan saudara-saudaranya hidup dalam penderitaan seperti itu."
Maximillian menatap kedua mata Monica yang bereaksi sedikit terkejut. Kemudian kembali bicara panjang lebar.
"Kau, memiliki mata yang mirip dengannya. Meskipun Margareth melakukan kekejaman pada orang-orang, tetapi ia masih memiliki hati. Ia sangat mencintai keluarganya. Aku tahu ... kau juga memiliki kepribadian yang tidak jauh beda dengannya."
"Kau tidak tahu apa pun tentangku," bantahnya.
"Aku mengenalmu, Monic. Lebih dari kau mengenali dirimu sendiri."
Kening Monica berkerut tajam. Ia berusaha membaca isi kepala pria tua di hadapannya, tetapi sesuatu yang rumit menghalangi dan ia tidak tahu kenapa kekuatannya tidak berpengaruh sama sekali.
"Dengan membunuh para bangsawan biadab itu, Margareth berharap agar kekuatan para Freemason melemah. Dengan begitu, tidak ada lagi penerus, tidak ada lagi rancangan gila, dan misi soal tatanan dunia baru itu bisa lenyap. Tapi sayang, keluarganya sendiri justru melihat hal yang sebaliknya. Margareth dianggap gila karena telah terpengaruh buku itu hingga memiliki kekuatan untuk mensugesti orang lain."
"Bukankah itu yang sebenarnya terjadi? Buku itu memiliki nyawa. Apa yang Margareth dapatkan, nyatanya juga aku dapatkan setelah menguasainya."
"Ya," katanya sedikit mengangguk. "Tetapi Margareth mampu mengontrol emosi di dalam dirinya sehingga ia tidak melampiaskannya pada orang yang tidak bersalah. Kau masih harus banyak belajar, Monica." Maximillian membalikkan tubuh untuk kembali ke kursinya. "Aku bahkan bisa tahu, kau sejak tadi berusaha membaca pikiranku."
Sunggingan bibir pria itu membuat Monica geram. Ia menggigit kecil bibirnya untuk meredam sesuatu yang seakan ingin meledak. "Kurasa waktu berdongengmu sudah habis. Sekarang katakan, apa tujuanmu sebenarnya membawaku ke tempat ini?"
"Apa sekarang waktunya kita serius untuk bekerja?" Lagi-lagi, pria tua itu tersenyum, menganggap hal yang dibicarakannya merupakan sesuatu yang lucu.
Oh, ayolah, Monica geram dan ia benci basa-basi.
"Sebelumnya kuucapkan, selamat datang, kini kau adalah salah satu petinggi Black Mountain." Itu tidak terdengar menyenangkan bagi Monica. Sambutan itu bukan sesuatu yang perlu dibanggakan untuk saat ini. "Kami memproduksi kardus di atas sana, tetapi di bawah sini, kami menyelamatkan manusia yang kehilangan arah untuk mendapatkan kehidupan baru. Aku membutuhkan keahlianmu sebagai seorang keturunan legenda hipnosis untuk membantu klien kita mendapatkan apa yang mereka mau.
"Rekonstruksi kejiwaan. Itu nama produk kita."
Maximillian menyeringai. Kini James yang sejak tadi berdiri di belakang Monica juga menyeringai. Sedangkan Monica, belum tahu. Ia belum tahu apakah ia akan melibatkan diri ke dalam struktur organisasi yang aneh.
Hai, maaf aku updatenya lama. Entah kenapa setiap kali nulis adegan si Monic aku tu lama banget. Aura karajternya ituloh, aku sampe kelimpungan buat menggambarkan adegannya.
Yah, aku gak berharap banyak apakah bab ini bagus atau enggak, tapi kutulis sampai 2000an kata dan kurasa juga kurang banyak, hahahah...
Butuh brainstorming lebih. Makasih semua,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro