PAST (2)
Finlandia, Mei 2004
"Laura Bachmeier, apakah Anda bersedia menerima Theodore Heoglir menjadi suamimu untuk saling memiliki, menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai sampai maut memisahkan?" Pertanyaan itu ditujukan oleh pendeta kepada Laura, sang pengantin wanita yang sedang berdiri berhadapan dengan pria bertuxedo. Theodore tersenyum, senyum yang sejak semula tak pernah lekang dari wajahnya.
Disaksikan oleh puluhan orang yang turut hadir di sebuah gereja di Rovemenia yang menjadi tempat pernikahan dua insan yang saling mencintai itu, Theodore memandang takjub gadis di hadapannya, menggenggam kedua tangannya dengan penuh ketulusan. Baju pengantin berwarna putih dengan potongan tanpa lengan membalut tubuh Laura anggun. Wajahnya masih tertutupi oleh sehelai kain tipis yang berpadu sempurna dengan tiara mengilap di atas kepalanya. Rambut pirang Laura ditata manis dengan dua juntaian anak rambut yang membingkai paras cantiknya yang terias.
Laura tersenyum, menarik napas sejenak lantas memberi jawaban dengan ketegasan penuh."Aku bersedia," jawabnya.
Kini giliran Theodore. Sesaat setelah pendeta mengucapkan ikrar janji yang sama seperti sebelumnya, Theodore tersenyum penuh kebahagiaan. Di depan altar, diiringi dengan serbuan tepuk tangan dari para hadirin, Theodore dan Laura memasangkan cincin di kedua jari mereka secara bergantian. Setelahnya, dengan perasaan yang sulit diartikan sebab rasa penasaran yang tinggi, Theodore membuka kain penutup wajah Laura.
Rupa cantik gadis itu, yang bertahun-tahun selalu ia dambakan, gadis yang selalu ia lindungi di saat titik terendah kehidupan Laura sulit berdamai dengan keadaan, Theodore tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa bahagia di dalam hatinya selain mencium bibir Laura dengan penuh cinta. Tepuk tangan para tamu semakin kuat, mereka melepaskan ciuman dan saling memandangi sejenak. Di deretan kursi paling depan, Mandy dan Ehrlich tersenyum lebar menyaksikan putra tunggalnya kini telah menemukan cinta sejati.
"Kau cantik sekali," bisik Theodore sambil tersenyum.
"Kau juga sangat tampan," balas Laura.
Setelah rangkaian upacara pernikahan di altar selesai, Theodore dan Laura bergandengan tangan menuju beranda depan gereja. Di sana segerombolan gadis telah berkumpul untuk menyambut buket bunga sang pengantin wanita. Riuh sorak sorai memeriahkan suasana, semua orang begitu bersemangat tatkala Laura mengambil aba-aba untuk melempar buket bunga dari tangannya. Semua orang menghitung mundur serentak, Laura melemparnya ke belakang dan seketika segerombol anak muda itu saling berebut. Buket bunga akhirnya berhasil ditangkap oleh seorang gadis berbadan gemuk dan bertubuh pendek. Dengan ekspresi hampir tak percaya dan bingung, gadis itu berteriak histeris penuh kemenangan, kemudian secara refleks, ia pun berdansa asal di tengah-tengah kerumunan tanpa rasa sungkan.
***
Resepsi diadakan di sebuah hall mewah berarsitektur ala Romawi pada sore hari di musim semi. Para tamu yang hadir semakin ramai kala menjelang malam. Mandy berjalan ke sana kemari menyambut para tamu undangan bersama Ehrlich yang selalu menyediakan lengannya untuk dikait. Balutan gaun berwarna keperakan membuat penampilan Mandy tampak mempesona bila dilihat dari sudut mana pun. Wajah khas Asianya terlihat kentara di antara wajah-wajah orang berkulit putih yang selalu memuji penampilannya.
Alunan musik menyeluruhi gedung, berpadu sempurna dengan pancaran warna dari lampu-lampu hias di atas langit-langit hall. Mandy mengambil segelas anggur yang dijajakan para pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya, Ehrlich turut mengambil satu gelas dan mereka bersulang bersama sambil tersenyum.
"Aku tidak menyangka tamu yang datang akan seramai ini," ujar Mandy selesai meneguk minumannya sekali.
"Kau menciptakan hubungan sosial yang baik semenjak kita pindah ke Rovemenia lima tahun yang lalu. Mereka semua menghormatimu, Sayang," puji Ehrlich sembari lengannya merangkul pinggang Mandy mesra.
"Hei, pada dasarnya ... mereka semua memang sangat ramah. Aku bukan lagi kepala polisi yang harus dihormati, Ehrlich. Kau sangat tahu itu."
Semburat tawa kecil tercetak di wajah pria dengan setelan tuxedo berwarna senada dengan gaun Mandy. "Baiklah, lupakan. Sebaiknya kita-" kalimat Ehrlich terjeda ketika mendengar lagu sendu berjudul Stand by me yang dipopulerkan oleh Ben E. King mengisi keramaian di dalam hall. Ehrlich Dan Mandy spontan menoleh ke arah panggung pengiring musik yang mana di sana, pasangan pengantin sudah bersiap untuk berdansa. Hampir seluruh tamu melupakan sesaat keasyikan mereka demi menyaksikan kedua mempelai menari di tengah-tengah area dansa. "Mari, kita saksikan mereka berdansa. Ini momen yang tidak boleh dilupakan," ajaknya pada Mandy.
Raja dan Ratu hari itu telah terlena dalam dansa romantis yang terlihat menyejukkan. Jemari kiri Laura bertautan dengan jemari kanan Theodore. Sementara tangan satunya bersandar di bahu pria yang sangat ia cintai itu. Senyum terulas tanpa lekang, malu-malu ia ketika para tamu bertepuk tangan untuk mereka. Theodore dengan tatapan penuh penghayatannya, menekuni setiap mili wajah Laura yang kecantikannya tak pernah pudar meskipun kacamata berbingkai perak itu bertengger di hidungnya. Theodore ingin saja melepaskan benda itu dari depan mata Laura, tapi ia sangat tahu bahwa istrinya itu tidak akan bisa berdiri tegak sebab pandangannya akan terus bergoncang tanpa ampun. Oscillopsia* belum juga minggat dari kepala Laura.
"Ini akan menjadi malam yang singkat," kata Laura saat wajah mereka menjadi lebih dekat.
"Tidak, ini justru akan menjadi malam yang panjang," balas Theodore.
"Bukankah malam akan menjadi begitu singkat bila kita yang saling mencintai menghabiskan waktu bersama?"
Theodore memeluk pinggang Laura semakin erat, membawanya sedikit berputar ke kanan. "Kita selalu bersama sebelum ini, dan akan terus bersama setelah ini, Sayang. Meskipun waktu yang kita miliki singkat, tapi akan jadi sangat berarti bila kita selalu bersama." Pandangan Theodore menyapu sejenak para tamu, menemukan kedua orang tuanya tersenyum-senyum kagum. "Katakan padaku, apa keinginan terbesarmu setelah kita menikah?"
Laura menunduk sebentar, langkah kakinya masih mengikuti irama lagu senada dengan Theodore. "Sebetulnya, aku ingin kita berbulanmadu di tempat yang tropis. Misalnya di negeri asal ibu mertuaku."
"Indonesia?" terka Theodore.
"Ya, Indonesia. Mandy bilang Negara itu punya banyak pantai. Kau tahu aku sangat ingin berjemur di bawah terik matahari bersamamu, aku sudah sering mengatakannya, bukan?" Theodore menaikkan bola matanya ke atas seperti orang yang berpikir serius. "Ayolah, kita belum membahas ini. Kita terlalu sibuk mengurus pernikahan sampai lupa soal bulan madu."
Rengekan Laura terdengar seperti anak kecil, hal-hal sederhana semacam itulah yang membuat Theodore semakin menyayanginya. "Apa saja untukmu, Sayangku. Akan kujadwalkan dalam minggu ini dan kau bebas memilih di mana saja tempat yang ingin kaukujungi."
Laura hanya tersenyum sumringah dan mengucapkan terima kasih untuk apa yang baru saja Theodore janjikan. Ia ingin mengobrol mesra lebih banyak dengan pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu, tetapi mendadak ia merasakan seseorang berdiri di samping mereka.
"Boleh aku berdansa dengan menantuku?" Ehrlich tiba-tiba muncul dan memohon santun pada Theodore yang tanpa keberatan menyerahkan istrinya pada sang ayah.
"Tentu, aku akan menemui teman-temanku di sana." Theodore hendak menjauh tetapi berbalik lagi untuk mengingatkan sesuatu. "Dad, jangan lupa kembalikan Laura padaku jika kau sudah selesai."
Laura dan Ehrlich tertawa bersama melihat Theodore bertingkah seperti orang yang takut kehilangan.
Sementara itu, Mandy yang hendak menghampiri Theodore mendadak urung ketika seorang pelayan pria mendatanginya sambil membawa ponsel. "Maaf, Nyonya Heoglir. Ponselmu berdering sejak tadi dan sepertinya ini sangat penting."
Mandy menerima ponsel yang masih berdering itu dan melihat siapa seseorang yang menghubunginya di hari penting begini. Dalam satu kali perhatian, ia tersenyum semringah ketika teman lamanya yang sudah lima tahun tidak bertemu itu muncul di layar. Seolah-olah nama itu menyapanya dalam keramah-tamahan.
Daniel.
Mandy langsung menjawab telepon dan menyapa pria di ujung sana. "Halo, Daniel. Aku senang mendapat telepon darimu."
Tidak terdengar sambutan hangat yang seharusnya disuarakan Daniel. Mandy justru merasakan keheningan sejenak, suara tarikan napas Daniel terasa sangat dekat di telinga.
"Mandy, maaf mengganggumu di hari yang sangat istimewa ini. Aku ... sejujurnya bermaksud menghubungimu nanti malam atau besok, tapi kupikir akan sangat terlambat jika aku menundanya."
Kening Mandy mengerut. Ia mulai penasaran kabar apa yang sedang ingin disampaikan mantan rekan kerjanya itu. "A-ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau sampaikan?"
"Ini ... tentang Monica Pӧlzl. Aku pikir kau belum mendengar beritanya."
Mendengar nama itu disebut, Mandy mendadak terpapar asumsi tidak baik. Ia melihat ke arah Ehrlich dan Laura berdansa, mereka masih di sana. Ia juga melirik ke arah di mana Theodore berbincang dengan tamunya, pemuda itu masih di sana dan tertawa lepas. Di saat itulah Mandy mencari tempat yang lebih sunyi untuk bisa bicara dengan Daniel tanpa gangguan musik dari band pengisi acara.
Ketika ia sudah sampai di toilet wanita, Mandy pun meminta Daniel untuk melanjutkan pembicaraan. "Baiklah, katakan sekarang."
"Monica!" serunya sedikit terbata. "Monica berhasil kabur dari penjara Lower Saxony. Dini hari tadi. Ia kabur dan membunuh lima belas petugas penjara."
Selama sepersekian detik, Mandy merasakan debaran jantung di dadanya bergejolak hebat. Darahnya mengalir begitu deras, keras dan nyaris mempengaruhi fisik tanpa jeda. Wajah Monica saat terakhir kali ia lihat seakan muncul dan mendekat secepat yang ia bayangkan. Tangannya bergetar beberapa detik. Dan ruangan sepi yang ia tempati seolah-olah menggema dan memekakan telinga.
Mandy berusaha untuk tidak terhanyut dalam bayang-bayang mengerikan yang baginya mustahil terjadi. "Bagaimana mungkin? Bukankah Monica berada di ruang isolasi selama ini? Bagaimana mungkin dia berhasil kabur?"
"Kau tidak akan percaya ini, bahkan Monica bisa mempengaruhi petugas dalam keadaan mulut tertutup dan tangan terborgol." Lantas Daniel menceritakan kronologi yang sesungguhnya pada Mandy hingga membuat wanita itu semakin ketakutan. "Kami yakin ada orang lain yang membatunya. Monica berhasil keluar dari Lower Saxony dengan mengendarai helikopter."
Mandy tentu sangat tahu seperti apa penjara Lower Saxony. Tempat itu hanyalah pulau kecil yang luasnya tak lebih 10 km. Dikelilingi oleh lautan dengan ombak deras dan batu karang terjal. Tidak pernah ada narapidana yang berhasil selamat kabur dari pulau itu kecuali lewat udara. Seperti apa yang dikatakan Daniel, seseorang pasti ada dibalik itu semua.
"Apa polisi sudah menemukan keberadaannya sekarang?" tanya Mandy.
"Hingga saat berita ini sampai kepadamu, polisi benar-benar kehilangan jejak dan belum tahu ke mana Monica bersembunyi."
Mandy meraup mukanya penuh kekhawatiran. Soal apa yang Mandy lakukan pada Felicia enam tahun lalu, memang hanya Daniel yang tahu sebab saat itu ia memang sangat butuh bantuan. Maka ketika tidak ada kata-kata keluar dari mulut Mandy selama beberapa detik, Daniel tahu apa yang dirasakan wanita itu. Kebingungan yang menerjang. Terlebih pada hari di mana Laura dan Theodore baru saja menikah beberapa jam yang lalu.
"Mandy, apa kau baik-baik saja? Di mana Ehrlich, sebaiknya kau tidak berada jauh darinya sekarang."
Tarikan napas Mandy begitu kuat dalam satu kali helaan. Sudah lama ia tidak menghadapi keadaan menegangkan seperti ini, rasanya ia begitu lemah dan pengecut.
"Daniel, apa polisi bisa memastikan bahwa Monica tidak akan keluar dari Jerman?" tanyanya.
"Kau tentu sudah tahu seperti apa gadis itu. Tidak akan ada yang bisa lolos dari pengaruhnya jika ia sudah mencengkeram mereka dengan mantra-mantra biadab itu." Mandy ternganga, tangannya bertumpu pada wstafel untuk membantunya tetap berdiri tegak. "Kami bisa saja memblokir semua pintu bandara maupun pelabuhan, tetapi tidak ada yang bisa menjamin ia gagal melewatinya."
"Daniel, ini bencana. Mengapa kabar mengerikan ini datang di hari bahagia mereka?" Dadanya serasa terhimpit, sedikit demi sedikit isakan tangisnya terdengar dan ia tidak mampu menahan ketakutan yang mengepung. "Apa kalian sudah tahu siapa orang yang membantunya untuk kabur?"
"Masih diselidiki. Tapi sepertinya ini semua berhubungan dengan suatu organisasi gelap," kata Daniel. Seharusnya ia lebih memperjelas tentang keterlibatan orang-orang tertentu, tetapi ia belum bisa menyampaikan semua sebab kemungkinan-kemungkinan lain pasti akan berdatangan satu per satu. "Seharusnya kau tidak perlu terlalu khawatir, bukankan Monica tidak tahu soal Laura? Ingatlah apa yang sudah kita usahakan enam tahun yang lalu, itu sudah sangat sempurna."
Tiba-tiba, Mandy memikirkan hal yang menjadi satu-satunya cara terbaik untuk menghalau kemungkinan buruk. Ia menatap pantulan dirinya di layar cermin wastafel, matanya yang berair dihapus dan perlahan, ia menghembuskan napas penghambat gelisah.
"Daniel, kabari aku terus tentang keberadaan Monica. Aku harus melakukan sesuatu," ungkapnya.
"Apa? Apa yang akan kaulakukan?"
"Kupikir kau pasti tahu apa yang akan kulakukan."
"Beri tahu aku, Mandy. Aku berharap kau tidak salah bertindak." Mandy membuka pintu toilet sembari telinganya masih mendengarkan Daniel. "Lima menit lagi, aku akan mengirimkan sesuatu ke surelmu. Demi Tuhan, kau pasti akan sangat terkejut dengan apa yang kami temukan di ruang isolasi Monica."
____________________________
*Oscillopsia : adalah gangguan penglihatan di mana objek tampak goyang, bergoncang, atau bergetar ketika objek itu benar-benar diam yang disebabkan oleh gangguan sistem saraf yang merusak bagian otak atau telinga bagian dalam yang mengontrol gerakan bola mata dan keseimbangan tubuh. (Sumber: halodoc.com)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro