NOW (4)
Hai - hai, Thorjid Publish setelah sekian lama ingkar janji. Maafken Thorjid yang belakangan sibuk bukan main dan kesehatan juga menurun. Silakan nikmati bab ini, dan mudah-mudahan kalian makin penasaran dengan kelanjutannya.
HAPPY READING!
Theodore sedikit terperangah mendengar apa yang diceritakan Anitha. Percakapan itu terhenti di tengah-tengah. Theodore tahu akan ke mana arah pembicaraan itu. Jadi, ia meminta maaf pada Ted untuk memberikan ruang untuknya dan Anitha. Pembahasan ini akan sangat sakral, jikapun Laura menceritakan semuanya, cukup Anitha saja yang tahu. Theodore tidak ingin ada orang lain yang mengusik masa lalunya hanya karena mendengar cerita-cerita dari satu pihak.
"Oke, aku mengerti. Sebaiknya aku pulang karena kupikir sudah ada Anitha, dan kau baik-baik saja, Pak," ujarnya. Ted bangkit kemudian berjalan menuju pintu keluar.
Suasana hening sejenak ketika pintu tertutup, dan Theodore memastikan pria itu benar-benar sudah keluar dari pekarangan rumahnya saat mengintipnya melalui tirai jendela.
Ia kembali duduk di hadapan Anitha. "Oke, Anitha. Apa yang dikatakan Laura padamu?"
Wajah Anita tampak begitu serius setelah meneguk minumannya. Ia menatap mata Theodore lekat-lekat, seolah sedang membaca mimik wajah kejujuran.
"Laura bercerita, kalau dia mengalami hilang ingatan atas masa lalunya." Anitha meletakkan kaleng minuman di meja. "Karena sebuah kecelakaan."
Napas Theodore terhela singkat, lalu berkata, "Apa lagi yang Laura ceritakan?"
"Ia datang padaku dalam keadaan kacau waktu itu. Sakit kepala hebat. Aku bisa melihat ia begitu tersiksa. Ada sekelebat ingatan masa lalu yang sepertinya datang kembali."
"Masa lalu seperti apa? Apa yang dia ingat?"
"Kenapa, Norbert? Kenapa kau malah bertanya padaku?"
Theodore mengerjapkan mata, menyembunyikan kegugupan ternyata cukup sulit. "Lalu aku harus bertanya pada siapa? Laura yang bercerita padamu."
"Apa kau tidak tahu selama ini Laura sakit?" tanyanya sedikit curiga.
"Dia ... tidak pernah mengeluhkannya padaku. Memang beberapa hari belakangan ini, dia tampak lebih pendiam. Aku sering bertanya, tapi dia lebih banyak menghindar dan tidak mau mengatakan apa-apa."
Anitha menyandarkan punggungnya ke sofa, masih menatap lawan bicaranya serius. "Norbert, rumah tanggamu sedang tidak baik-baik saja. Jika istrimu tidak mau mengeluh padamu, itu artinya ada sesuatu yang sedang dia sembunyikan." Atau Laura sengaja menyembunyikannya karena tidak ingin Norbert bertindak sesuatu jika ingatannya kembali, pikir Anitha dalam hati.
"Demi Tuhan, Anitha. Aku sangat peduli padanya, aku sangat mencintainya. Seandainya aku bisa menebak isi hatinya, aku pasti akan melakukan apa pun yang dia butuhkan."
Laura kehilangan kepercayaan pada suaminya sendiri, lagi-lagi Anitha bersenandika dalam diam.
"Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Itu yang Laura eluhkan padaku," kata Anitha.
"Sudah kuduga." Theodore menghela napas sesaat. "Belakangan, ladang kakao sedang butuh perhatian khusus, aku tidak bisa terus berada di rumah seharian. Kau tahu, kan? Ada banyak pekerja di sana, dan mereka harus terus bekerja supaya bisa bertahan hidup di cuaca ekstrem ini."
"Norbert, aku bisa memahamimu, begitu juga Laura. Tapi ada sesuatu yang sepertinya kau sembunyikan darinya selama ini. Kupikir itulah yang membuatnya merasa tidak aman."
"Aku tidak menyembunyikan apa pun."
Anitha mengangkat sebelah alisnya seolah berkata, aku tidak percaya. Ia berdeham kecil, raut wajahnya tampak menggampangkan omongan suami sahabatnya. Sesuatu sedang dimainkan oleh Anitha untuk membuktikan ketidakbohongan pria tersebut.
"Anitha, aku sedang berada di masa sulit. Kumohon kerja samamu untuk dapat menemukan Laura. Apa kau tidak merasa kehilangan sahabatmu?"
"Pertanyaan macam apa itu?" Anitha tahu bahwa Theodore sedang memutarbalikkan keadaan agar dirinya tidak dihakimi. "Fokuslah pada permasalahanmu, Norbert."
"Kau terkesan menyudutkanku."
"Aku tidak menyudutkanmu. Astaga!" Terdengar lenguhan tipis keluar dari mulut Anitha. "Kau pikir aku polisi yang sedang menginterogasimu? Aku sahabat istrimu, aku juga berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Laura selama ini."
Kedua telapak tangan Theodore mengusap wajah. Ia tertunduk kesal.
Anitha bangkit lantas duduk di sebelah kiri Theodore sambil memegang bahunya. "Aku paham perasaanmu. Tapi kau harus mengesampingkannya saat ini. Bicaralah, ceritakan semuanya padaku dan aku akan membantumu." Jeda sesaat. Anitha melihat tatapan suami sahabatnya yang tersirat rasa keberatan, tetapi juga keinginan untuk mengatakan sesuatu. Anitha kembali membujuk Theodore, "setiap orang memiliki rahasia, aku tahu itu. Mungkin sudah saatnya kau membuka kotak hitam milikmu. Demi Laura dan putrimu."
Separuh hati Theodore belum siap untuk mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Namun, di saat bersamaan, ia merasakan gumpalan di dalam dadanya hampir meledak ketika ingatannya kembali pada momen menegangkan saat di bandara Turki beberapa tahun silam.
***
Sesuatu menangkap penglihatan Theodore saat ia mulai mendekati ambang pintu toilet wanita.
Ia tidak ingin benar-benar masuk karena mengerti soal etika. Akan tetapi, ini bukan perihal etika, melainkan sosok wanita dengan rambut keriting burgundy yang Theodore yakini sebagai Monica, kakak ipar kriminalnya, dan baru saja ia lihat beberapa detik lalu. Theodore digerayangi rasa cemas dan takut, terlebih ketika Monica masuk ke dalam dan dipastikan bakal bertemu dengan Laura jika istrinya itu tidak berada dalam bilik toilet.
Wajahnya sedikit masuk ke dalam untuk melihat situasi, tetapi sekat dinding menghalangi pandangan. Seorang wanita paruh baya berkebangsaan Turki tiba-tiba memukul pundaknya dan menegur menggunakan bahasa Turki yang tidak dapat Theodore pahami sedikitpun.
"Do not enter!" kata wanita itu pada akhirnya, dengan jari telunjuk memperingatkan.
Theodore lega mendengar wanita itu bicara menggunakan bahasa Inggris. Ini akan lumayan membantu. "Sorry, I just want to make sure that my wife is inside," katanya. Wanita itu merespon dengan mengangguk kecil seakan mengerti. "Umm ... Mam," panggil Theodore menahan si wanita berambut putih tersebut. "Could you help me, please?"
"Yes, Sir. What can I do for you?"
"I just want to know. Is the girl with glasses talking with someone inside? She's been too long and I worry about her." Theodore melihat ekspresi sang wanita paruh baya yang tampaknya sedang mencerna kata-katanya. Keninngnya mengerut lalu tersenyum dua detik kemudian.
"Sure, just a minute, I will check her."
Theodore mengucapkan terima kasih. Wanita itu kemudian masuk. Samar-samar, Theodore mendengar percakapan dua orang menggunakan bahasa Jerman. Jantung di dalam dada Theodore berdesir tidak keruan.
"Ini seperti akan kiamat!" ujarnya dalam hati. Wajahnya kembali mengintip ke dalam. Sialanya, malah Monica yang muncul keluar dan berjalan menunduk sambil memasukkan sesuatu ke dalam tas tangannya.
Secepat kilat Theodore menarik kembali wajahnya dan berjalan dengan langkah lebar ke dalam toilet pria. Akan sangat fatal kalau sampai Monica melihatnya. Gumpalan pertanyaan memenuhi otak Theodore saat itu juga. Ia menatap wajahnya di cermin, di depan wastafel putih mengilap yang sangat bersih. Ia mencoba menormalkan napas. Wajahnya berkeringat dan kedua tangannya gemetar saat menampung air keran untuk membasuh wajah.
Rasa penasarannya seakan ingin meledak. Ia mengintip keluar untuk memastikan bahwa Monica sudah jauh dari sekitar toilet umum. Para pria melihat tingkah Theodore yang terlihat aneh, tetapi mereka tidak terlalu peduli apalagi mempertanyakannya. Ketika ia melihat punggung Monica berjalan menjauh kembali ke cafe tempat tadi mereka duduk, kepala Theodore terasa seperti disiram air. Ia sedikit lega dan memberanikan diri keluar, kembali ke depan toilet wanita.
Si wanita Turki tengah berdiri di posisi tadi mereka berbincang, celangak-celinguk mencari seseorang. Theodore dengan cepat menemuinya dan bertanya tentang istrinya. Wanita itu mengatakan kalau istrinya baru saja selesai berbincang dengan seorang wanita berambut keriting.
"What are they talking about?" tanya Theodore.
Wanita itu menjawab tidak mengerti, karena mereka berbincang menggunakan bahasa Jerman. Theodore kembali diterpa rasa cemas. Bahkan lupa mengucapkan terima kasih ketika wanita itu masuk kembali ke dalam toilet.
"Sayang? Sejak kapan kau berdiri di situ?" suara Laura tiba-tiba menyembul dan Theodore terkejut setengah mati saat melihat istrinya sudah berdiri di sampingnya dengan wajah yang seolah tidak pernah terjadi apa-apa. "Hei, kau terlihat aneh. Seperti orang ketakutan."
Theodore menggeleng, memegang lengan Laura, menatap wajahnya intens untuk memeriksa apakah ia baik-baik saja?
"Kenapa kau lama sekali?" tanyanya. "Kau mengobrol dengan seseorang di dalam?"
Laura mengerutkan kening. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Jawab saja pertanyaanku, Laura. Kau bicara dengan siapa di dalam tadi?" Kedua telapak tangan Theodore menyentuh bahu Laura, hampir mencengkeram dan itu membuat Laura sangat tidak nyaman.
"Theo, apa yang sedang kau pikirkan? Aku cuma mengobrol sedikit dengan seorang wanita yang kebetulan berkebangsaan Jerman. Dia membantuku mengambilkan kacamataku yang terjatuh di lantai."
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Bukan sesuatu yang penting," jawab Laura sekadar.
Theodore jelas tidak dapat mempercayai jawaban Laura. Ia menurunkan kedua tangan yang semula berada di bahu Laura. "Kau yakin? Apa kalian berkenalan?"
"Ya, namanya Chloe Eldemar dan dia baik. Kalau dia tidak membantuku, mungkin aku bakal tergeletak di lantai."
Bibir Theodore setengah menganga mendengar penuturan Laura. "Astaga!"
Mendengar itu, Laura semakin menganggap ada yang tidak beres dengan Theodore. "Apa ada masalah? Apa kau melarangku mengobrol dengan orang asing?" tanyanya.
"Tidak, Sayang," sanggahnya. "Aku penasaran apa saja yang kalian bicarakan di dalam sana sampai aku khawatir karena kau terlalu lama." Paling tidak, Theodore mampu menyembunyikan ketakutan yang sebenarnya di depan Laura.
"Kau terlalu ingin tahu," ketus Laura sambil berjalan meninggalkan Theodore tak peduli.
"Laura!" panggil Theodore sembari meraih lengannya dari belakang. "Ayolah, Sayang. Ceritakan padaku apa yang kau bicarakan dengannya. Karena kulihat wajahmu agak berbeda saat keluar dari toilet tadi. Kau tampak, lebih ceria atau ...."
Langkah Laura berhenti lalu menatap wajah Theodore seperti becanda. "Akan kukenalkan kau padanya. Kita ada di penerbangan yang sama menuju Jakarta." Senyum Laura begitu lebar dan manis. "Aku senang, karena kami bakal mengobrol banyak dengannya selama perjalanan."
Kedua mata Theodore mengerjap. "Bencana apa lagi ini?" ujarnya dalam hati. Sementara ia masih mendengarkan Laura yang tampak antusias bercerita tentang perempuan yang menurutnya orang asing baik hati.
"Kau tahu?" kata Laura meneruskan langkahnya. "Gadis itu bilang, aku mirip dengan adiknya. Tapi sayang, adiknya sudah meninggal sekitar enam tahun yang lalu. Dia senang bisa berkenalan denganku, begitu juga denganku. Mungkin kami bakal menjadi sahabat dekat setelah ini. Dia bahkan setuju dengan usulanku untuk berlibur bersama ke Bali." Laura tertawa.
Sedangkan Theodore tidak bisa menanggapi satu patah kata pun selain berpikir, mencari cara agar Laura dan Monica tidak berada di penerbangan yang sama. Ia melihat jam tangan Rolexnya. Kesempatan untuk mengubah rencana tinggal dua jam lagi. Tak peduli bakal semarah apa reaksi Laura padanya, yang terpenting mereka harus menjauh dari Monica.
Theodore yakin, kedua wanita itu tidak hanya membicarakan hal-hal umum sebagaimana yang diceritakan Laura. Monica bisa saja mempengaruhi Laura dengan suatu sugesti yang tak bisa diterka.
Just info, Thorjid punya novel terbitan baru dari Penerbit benito group. judulnya "The Lady Hammer" mungkin ada sebagian dari kalian yang sudah baca ceritanya di Wattpad. Tapi versi cetaknya beda banget, dan di sana juga ada Monica Polzl dengan versi yang lebh jahat loh. Pokoknya komplit dan kalian bisa kepoin promonya di akun instagram aku (I.Majid_)
Yang udah tahu gimana Thorjid bikin karya, ayo diPO mumpung masih ada waktu (3 - 17 November 2022) kalau beli melalui Thorjid bakal dapat diskon 10%
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro