Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Kunjungan

Disclaimer :

Please, ya. Aku udah bolak-balik disclaimer. Ini memang cerita area dewasa. Yang takut, yang nggak sanggup, yang ngeri, atau bahkan yang jijik, please nggak usah klik jika memang kalian nemu cerita ini di tagar #dewasa #mature. Udah jelas kan arti tagar itu apa?

Ini hiburan semata, nothing in real life. Kalau ada nama tokoh, tempat, adegan yang sama murni itu hanya fiktif yang author ciptakan sendiri.

Sejak Papa meninggal, Mama memutuskan tinggal di Tangerang. Mama memilih tinggal di sebuah perumahan di kawasan Pinang. Alasan memilih rumah di sana lantaran ada adik Mama yang juga tinggal di salah satu perum itu.

Sebenarnya hanya membutuhkan sekitar satu jam dari residen yang Ribel tinggali. Namun, aku jarang mengunjungi beliau.

Mama sedang sibuk dengan koleksi tanamannya ketika aku datang. Wajah tua yang masih terlihat cantik itu menoleh dan sedikit menampakkan raut terkejut saat melihatku.

"Dini?"

Aku tersenyum kikuk. Ada kerinduan yang menyeruak saat dia menyebut namaku. Harusnya aku berlari, menyongsong dan segera memeluknya. Tapi yang aku lakukan malah diam mematung dan hanya menunjukkan ekspresi datar. Persis sama ketika terakhir aku datang ke sini.

Mama meletakkan gunting tanamannya lalu beringsut ke kran air di dekat teras rumah, mencuci tangan.

"Kamu mau berdiri terus di situ?" tanya Mama melihatku yang masih mematung.

Aku tersadar sejenak lalu segera menenteng bawaanku dan bergerak mendekati Mama. Terlalu banyak hal yang aku sembunyikan dari Mama, tiap kali melihatnya selalu saja ada perasaan bersalah.

Mama masuk ke rumah dengan aku yang mengekorinya. Tanpa banyak bicara wanita setengah abad itu menuju dapur dan sibuk menjarang air. Kebiasaannya kalau aku datang. Dia akan membuat teh merah.

"Ma, aku bawain kue lapis kesukaan Mama," ujarku meletakan sebuah tote bag ke atas meja makan.

"Kamu sudah makan, Din?"

"Sudah, sebelum ke sini aku makan dulu."

Tidak lama dua cangkir teh merah tersaji di atas meja. Mama duduk di depanku, mata tuanya menatapku, tapi segera berpaling seraya menghela napas.

"Sekarang ada kabar apa lagi?"

Ya, setiap aku datang memang selalu membawa kejutan untuknya.

"Nando belum ke sini, Ma?" Aku merespons lain. Bukannya menghindar, cuma merasa belum saatnya saja aku menjawab. Aku baru saja sampai.

"Ma! M A M A ... Mama...."

Itu suara Nando yang terdengar dari depan rumah. Panggilan bernadanya dari kecil masih dipelihara padahal dia sudah bangkotan.

Ternyata abang satu-satunya itu benaran datang. Dia memang memberi tahu sebelumnya akan datang lantaran bulan ini jadwal check up Mama. Tak lama batang hidungnya muncul.

"Eh, lo udah datang, Din. Tapi kok cuma sendiri?" Kepalanya celingukan, aku tahu yang dia cari.

"Ya, gue sendiri. Ribel mungkin baru besok bisa ke sini."

"Oh." Nando meletakkan kantong plastik besar ke atas meja. "Ma, ini aku beli es kelapa degan yang di depan itu."

"Kasih ke Dini satu," perintah Mama ketika Nando mengeluarkan dua buah cangkang kelapa berwarna hijau.

"Tapi aku cuma beli dua, Ma. Mana aku tau kalau Dini datangnya sekarang."

"Ya udah jatah kamu buat dia."

Nando sudah mau protes sebelum Mama melanjutkan lagi.

"Kamu makan punya Mama."

Wajah Nando kontan berubah malu. "Nggak deh, buat Mama aja. Aku biar minum sirup dingin."

"Nggak usah, itu kelapa buat lo aja. Gue masih kenyang. Gue minum teh ini aja," ujarku menunjuk cangkir teh yang masih mengepul.

Mama dan Nando tidak membahas apa-apa, aku bahkan disuruh istirahat setelahnya. Namun, saat malam akhirnya kami membahas tujuanku datang ke rumah juga.

Di ruang tengah kami bertiga kumpul. Aku nggak yakin Mama belum tahu. Mungkin saja Nando sudah memberinya bocoran meski secuil.

Aku menggigit bibir, sementara jari-jemariku saling tertaut. Kebiasaan saat gugup di depan Mama. Harapanku dia nggak akan syok mendengar kabar ini lagi.

"Ngomong gih, malah diem kek patung. Lo mau gue masukin ke museum apa gimana?"

Refleks aku berdecak mendengar ucapan Nando yang menyebalkan. Kapan sih dia pernah manis? Bahkan Mama terlihat tenang, nggak seperti dia yang tidak sabaran.

"Ma." Aku menatap Mama ragu. Sebenarnya hubunganku dengan Mama tidak terlalu buruk, tapi kadang ada saja keengganan ketika aku hendak membicarakan sesuatu. Penerimaan Mama yang kadang nggak sesuai harapan yang membuatku ragu.

"Besok, Ribel mau ke sini," ucapku akhirnya.

"Ribel yang nggak jadi nikahin kamu?"

Ternyata Mama nggak lupa. Saat minta izin pertama waktu itu, aku memang tidak langsung datang, hanya lewat telepon saja. Tidak punya nyali untuk menjelaskan perceraianku dengan Baary. Namun sepertinya Nando yang memberi tahu semuanya.

Aku mengangguk, masih menautkan jari-jemari yang mendadak berkeringat.

"Apa dia akan melamar kamu?" tanya Mama lagi.

"Nggak, Ma. Dia mau minta restu sama Mama soal hubungan kami."

Mama tampak menghela napas. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Ekspresinya sama sekali nggak bisa kubaca.

"Sebenarnya Mama cukup kecewa mendengar perceraian kamu dan Baary, apalagi bukan kamu yang memberi tahu langsung."

Aku melirik Nando. Lelaki itu memberi isyarat bahwa bukan dia yang ngasih tahu Mama soal perceraian itu.

"Baary sempat mengunjungi Mama sehabis kalian pisah. Dua kali dia datang. Terakhir dia minta Mama agar membujuk kamu kembali padanya."

Mataku mengerjap mendengar penjelasan itu. Bisa-bisanya pria busuk itu menemui Mama dan minta hal yang mustahil. Mulut manisnya dulu pintar membujuk Mama, tapi semoga kali ini Mama tidak terpengaruh.

Wanita yang tubuhnya sudah mulai ringkih itu menatapku. "Sebenarnya ada apa dengan rumah tangga kalian? Baary orang yang baik. Tapi kenapa kalian bisa pisah?"

Baik dari mana? Selama ini semua keburukannya tertutup sama mulut manisnya di depan Mama.

Sebagai menantu mungkin benar dia baik, tapi sebagai suami, jauh sekali.

"Kok Mama bisa nilai gitu?" tanya Nando dengan dahi mengernyit. "Aku udah pernah bilang alasan mereka pisah kan?"

Mama menggeleng. "Rasanya nggak percaya kalau dia selingkuh. Dia kelihatan cinta banget sama Dini."

Napasku menghela panjang. Pengaruh Baary memang sudah mendarah-daging. Begitu pertama aku kenalkan dulu, Mama langsung menyukainya. Baary pandai merebut hati Mama.

Nando mendekat padaku dan berbisik. "Semoga Mama bisa sesuka itu sama Ribel, pacarmu itu kan nyebelin banget."

Aku memutar bola mata, padahal sebelum itu dia sangat mendukungku untuk segera menerima lamaran Ribel. Dan Nando tidak ngaca dulu apa gimana? Dia juga nggak kalah menyebalkan dari Ribel. Keduanya sebelas dua belas.

***

Hingga menjelang siang, tidak ada kabar apa pun dari Ribel. Aku menghubunginya beberapa kali, tapi tidak tersambung. Mama sudah beberapa kali menanyakannya. Sampai aku bosan sendiri.

"Dia nyangkut di mana sih?" tanya Nando ikut gerah dengan pertanyaan Mama yang berulang-ulang.

"Kemarin dia sedang menyelesaikan kerjaan penting di Singapore. Baru hari ini datang, cuma waktunya aku juga belum tau."

"Telepon gih."

"Nggak nyambung."

Meski tidak terlihat bersemangat menyambut kedatangan Ribel, tapi nyatanya Mama dibantu Bibi, masak lumayan banyak.

Hingga sampai aku bangun dari tidur siang, Ribel belum muncul juga. Aku bergerak menuju teras saat mendengar suara truk di depan rumah. Sebuah truk yang lumayan besar berhenti di depan pagar rumah.

"Truk apaan?" tanyaku pada Nando yang udah lebih dulu duduk di teras.

Nando berdecak melihat supir truk itu malah turun. "Ngalangin mobil gue aja sih. Main parkir seenaknya," gerutunya yang lagi ngopi santai di teras depan.

Aku beringsut duduk di kursi sebelahnya. "Bentar doang palingan."  

Tapi ....

"Permisi!" Si supir Truk berseru di depan pagar.

"Sana gih samperin," suruhku seraya mengedikkan dagu.

"Ahelah, nyusahin aja tuh supir." Dengan langkah ogah-ogahan Nando menghampiri supir truk itu.

"Maaf, apa benar ini rumah Bu Inaya?" tanya supir itu yang masih bisa kudengar lantaran suaranya yang cukup lantang.

"Benar. Ada apa ya?" Nando terdengar menyahut.

"Oh, kami mau mengantar barang-barang ini."

Kulihat Nando mundur, setelah sebelumnya membuka pagar. Lantaran penasaran aku beranjak juga.

"Apaan?" tanyaku dengan kening berkerut ketika supir truk dan beberapa orang lantas sibuk.

"Nggak tau gue. Katanya dia nganter barang-barang Mama."

Belum habis rasa penasaran campur heran, seseorang membawa masuk dus besar TV LED, melewati pagar.

"Kami taruh di mana, Pak?"

Nando menatapku bingung, aku lebih-lebih bingung. Namun, tak urung dia cuma menunjuk ke arah halaman rumah. Satu dus TV itu diletakkan di sana. Menyusul kemudian dus mesin cuci, kulkas, dan perlengkapan elektronik lainnya.

"Mama beli semua barang ini? Buat apaan?" Nando garuk-garuk kepala bingung.

"Mama mana?"

"Tadi sih ada di belakang."

Tapi nggak lama Mama muncul, mungkin ribut-ribut dari luar ini mengundangnya keluar.

"Ada apa ini?" tanya Mama dengan raut bingung melihat banyak orang wara-wiri meletakkan semua barang ke halaman rumah.

"Harusnya kita yang tanya Mama, buat apa Mama pesan barang sebanyak ini?" sahut Nando makin ngeri melihat barang yang diturunkan dari truk.

"Pesan apaan? Mama nggak pesan apa-apa. Ini siapa yang mau boyongan?"

Hah? Aku dan Nando makin garuk-garuk kepala. Dan kami kompak melebarkan mata saat barang-barang besar seperti lemari, meja rias dan tempat tidur diturunkan.

"Ini kerjaan laki lo pasti," ucap Nando pelan.

What the fuck. Tapi buat apa? Mana sudah mengambil perhatian para tertangga lagi.

Tebakan Nando terasa benar saat aku melihat mobil yang biasa Ribel pakai tampak berhenti di depan truk parkir truk. Mobil itu baru saja sampai. Dari dalamnya keluar sosok Tommy lengkap dengan jas hitamnya.

"Astaga, si Anjing," umpat Nando mengusap dahinya sendiri saat nggak lama Ribel menyusul kemudian.

Pria itu berdandan begitu rapi kayak mau nikahan. Oh My God! Musibah apa ini? Aku melirik Mama yang ternyata juga tengah memperhatikan mereka.

"Siapa mereka?" tanya Mama ketika melihat Ribel dengan Tommy di belakangnya berjalan memasuki halaman rumah.

Aku meringis. "Dia Ribel, Ma."

Tatap Mama langsung menghujamku. "Ribel? Jadi ini semua dia yang bawa? Kamu bilang dia ke sini cuma mau minta restu Mama, kok malah bawa seserahan satu truk gini?"

Rasanya aku ingin menangis melihat keadaan ini, tapi yang bisa kulakukan hanya meluruhkan bahu seraya menggeleng.

"Selamat sore, semuanya," sapa Ribel setelah sebelumnya melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Dia berdiri di hadapan kami dengan gagah. Wajah kinclongnya tampak makin bercahaya. Sepertinya dia baru memangkas habis jenggot dan kumisnya.

Untuk beberapa saat Mama hanya diam. Tidak menanggapi, malah menyisir Ribel dengan matanya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Di samping Nando, aku menahan napas melihat adegan itu.

Ribel tersenyum lalu mengulurkan tangannya. "Perkenalkan saya Ribeldy Alexander, calon menantu idaman Mama Inaya."

Mendengar itu aku dan Nando kontan memejamkan mata. Nando sampai harus membuang muka sambil menahan tawa.

Ya Tuhan, aku belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki kepercayaan diri setinggi Ribel?

Dia yang narsis, tapi gue yang malu.

Jangan lupa vote dan ramaikan ya, Gaes.
Kira-kira si Mama bakal langsung memberi restu enggak setelah halaman rumahnya kebek sama barang-barang kiriman Ribel? Wkwk.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro