41. Takdir Semesta
Tambahan Bab kemarin aku rangkum di POV Ribel ya, Gaes. Udah ada di Karyakarsa sejak beberapa hari lalu.
Hidden Part of UNDER COVER (9) dengan jumlah 4000 kata lebih, marem kan?
Berisi part di Lombok dan juga kejadian enam bulan lalu.
Link : https://karyakarsa.com/IceCoffe/hidden-part-of-under
Pastikan follow akunnya di sana ya. Biar nggak ketinggalan updatenya.
*Enam Bulan Kemudian*
Kantor sedang sibuk. Beberapa staf turun ke lapangan. Ada juga yang ditugaskan ke luar kota. Aku sendiri baru kelar meeting dengan calon klien baru. Seperti biasa, tidak ada calon klien yang bisa lolos dari jaring-jaringku.
Sekarang aku punya ruang kerja sendiri. Meskipun nggak seluas ruangan Siska, aku nyaman bekerja tanpa harus diributkan oleh para tim lain. Ngomong-ngomong juga, aku sudah tinggal di apartemen baru. Seminggu setelah kejadian Siska ke-gap selingkuh dengan Bryan aku mendapat informasi tentang apartemen dari Raka. Begitu merasa cocok, aku langsung pindah keesokan harinya. Bisa dibayangkan kalau aku berlama-lama tinggal dengan Siska? Sebulan mungkin sudah jadi zombie.
Aku mendongak ketika pintu diketuk. Nggak lama kepala Raka menyembul. Dia pasti akan membicarakan tentang perjalanan ke Pulau Batam yang akan aku lakukan besok.
"Thanks ya, Din," ucapnya sambil berjalan mendekat. Begitu sampai meja, dia meletakkan sebuah bungkusan plastik.
"Apa itu?" tanyaku melirik sesuatu yang dia bawa itu.
"Cibay level 5 dan squisy orange spesial buat kamu."
Sontak tawaku pecah. Dia mencoba membayar waktuku dengan potongan adonan aci yang digoreng dan diberi bumbu pedas.
"Murah sekali hargaku." Aku pura-pura kesal tapi tanganku menarik bungkusan plastik itu juga.
"Sekarang yang murah dulu siapa tahu besok bisa traktir Bebek Haji Slemet."
Aku memutar bola mata, lalu membuka plastik. Sebuah paper box yang isinya benar-benar cibay lengkap dengan sumpitnya.
"Thanks ya, kamu tau aja kalau aku lagi pusing."
"Tau dong. Makanya harus tetap fit, persiapan buat besok." Dia nyengir sambil menggerak-gerakkan alisnya.
Jadi sebenarnya tugas ke Pulau Batam adalah tugas dia. Meninjau lokasi yang akan dibangun sebuah apartemen. Rancangan Raka terpilih oleh salah satu klien kami. Namun, karena ada sedikit masalah terkait bininya yang lagi hamil muda, dia izin untuk tidak bisa keluar kota. Berhubung aku partnernya di sini, so aku-lah yang dijadiin tumbal.
"Makan gih, habisin. Jangan malu-malu. Aku cabut ya." Raka lantas kembali keluar seraya cengar-cengir nggak jelas.
Aku menghentikan pekerjaan, dan lebih memilih menyantap makanan pemberian Raka. Sekotak cibay dengan satu gelas squisy orange dingin adalah kombinasi yang klop.
Baru juga membuka bungkus sumpit, sebuah notifikasi pesan masuk muncul.
"Din, boleh aku mengunjungi kamu?"
Pesan singkat yang lantas aku abaikan. Entah sudah berapa kali Ribel mengirim pesan yang sama. Padahal beberapa hari lalu aku sudah bilang sedang masa sibuk.
Sejak pertemuan kami di apartemen Siska enam bulan lalu, aku belum pernah melihatnya lagi. Kami sedikit membuat kesepakatan waktu itu. Meski diterima dia dengan wajah merah padam.
Ribel sepertinya sempat menghubungi Nando. Karena setelah itu kakak satu-satunya yang paling baik sejagat itu membujukku soal pernikahan. Tapi setelah penjelasan panjang lebar yang aku utarakan, dia menyerah untuk memberiku berbagai wejangan lagi.
***
Batam Island
Sudah banyak pembangunan yang dilakukan di pulau kecil ini. Masuk ke salah satu deretan Kepulauan Riau yang padat akan investor. Ya, banyak investor asing yang mendirikan perusahaannya di sini. Lokasinya yang dekat dengan Singapura membuat Pulau Batam menjadi salah satu akses mudah untuk keluar masuk negara itu hanya dalam sekali menyeberang. Tidak heran kalau pemkot memberi keluasan izin proyek-proyek pembangunan kota. Aku rasa sebentar lagi pulau ini bakal menjelma seperti Singapura.
Aku cukup kaget setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Bandara Hang Nadim lantaran mobil jemputan membawaku ke salah satu hotel yang terkenal dengan fasilitas mewah.
"Kamu nggak salah, Mbak?" tanyaku via telepon kepada Siska saat memasuki lobi hotel yang luas dan lux.
Tatapku mengedar memperhatikan interior lobi yang dobel fungsi bergandengan dengan lounge. Bukannya aku nggak bersyukur, siapa sih yang nggak suka nginap di hotel mewah tapi masuk tagihan kantor?
Hanya saja biasanya Siska cuma memberi budget hotel bintang tiga. Itu pun paling pol. Jadi, saat tiba-tiba dia menempatkan aku di hotel mewah ini, memunculkan pertanyaan besar di benakku. Takutnya salah, bisa-bisa aku ketempuhan.
"Nggak dong, Din. Mumpung aku lagi baik jadi nikmatin aja. Oke? Oh ya satu lagi, tepat di belakang hotel itu Harbour Bay, kalau kamu kangen Ribel bisalah nyebrang sebentar," ujar Siska di ujung sana.
Aku berdecak. Bisa-bisanya dia berpikir begitu. "Aku di sini kerja, Mbak."
"Ahelah, setali tiga uanglah. Emang kamu nggak kangen gosok panci bareng? Karatan lama-lama kalau sumur bor kamu dianggurin terus. Hihi."
"Ish. Makin ngaco. Udah ah, aku mau check in dulu."
"Oke, Babe. Kerja baik-baik ya."
Aku rasa Dany memberi dobel orgasme semalam, jadi bawaan singa betina itu happy terus. Saat check-in pun aku dibuat terkejut lagi dengan pilihan kamar yang Siska booking.
"Are you sure?" tanyaku pada resepsionis hotel yang mengurus bagian check-in.
"Yes, Miss. According to the order that was received about two days ago."
Aku menghela napas panjang setelahnya. Masih menjadi misteri kebaikan yang berlebihan ini. Siska memesan tipe suite yang memiliki fasilitas paling top dari semua tipe.
"Serius, ini aneh, Mbak. Buat apa coba kamu buang-buang uang perusahaan kayak gini?" Aku kembali menghubungi Siska saat berhasil memasuki kamar itu.
Kamar yang memiliki ruang tamu dan tempat tidur terpisah. Bukan hanya itu selain mini bar ada juga mini kitchen yang sama sekali nggak aku perlukan. Siapa pula yang mau repot masak di hotel.
"Heh, siapa yang buang-buang uang. Aku ngasih fasilitas itu berdasarkan jenjang karir karyawan. Kamu nggak sadar jabatan kamu sekarang apa di perusahaan? Jangan samain kayak dulu dong."
Siska malah mengomel. Aku paham sekali apa yang dia katakan. Memang ada upgrade akomodasi bussines trip, tapi ya nggak pernah berlebihan seperti sekarang ini.
"Udah deh, Din. Jangan banyak tanya lagi. Nikmati aja dan kerja yang bener. Jangan sampai ngecewain aku," pungkasnya, habis itu panggilan mati sepihak. Padahal aku belum selesai bicara.
Aku menarik mini travel bag menuju kamar tidur. Hamparan selimut putih langsung bisa kutangkap di atas ranjang tidur king size. Di sisi kanan ranjang terdapat sofa panjang dengan beberapa bantalan lengkap satu set sama meja. Sofa panjang itu menempel dengan dinding kaca lebar yang menampilkan pemandangan laut biru. Good view.
Aku sampai ke kota ini agak sore. Jadi masih punya waktu sedikit berleha-leha sebelum benar-benar mulai bekerja besok.
Setelah membersihkan diri, aku memutuskan ke bar and lounge yang ada di rooftop. Dari beberapa ulasan yang aku baca, hotel ini memiliki bar rooftop yang istimewa sekota ini.
Suasana tidak terlalu ramai ketika aku datang. Seorang pelayan wanita dengan ramah menyambut dan menawarkan bantuan. Dia lantas memberiku meja yang memiliki posisi bagus untuk menyaksikan matahari terbenam.
Warna langit berubah jingga, sinar matahari pun mulai meredup tidak segagah saat siang. Ternyata benar menakjubkan. Perpaduan awan dan matahari senja di atas laut beneran indah. Aku yakin bakal betah lama-lama di sini.
Dari sini aku juga bisa melihat lampu-lampu indah dari negara seberang, Singapore. Ah, negara singa itu selalu mengingatkan aku tentang Ribel. Sedang apa dia di sana?
"Dini? It's real you!"
Suara itu ... aku menoleh cepat dan langsung bisa melihat senyum manis yang rasanya sudah lama nggak pernah kulihat lagi.
"Ben?"
"Oh My ...." Dia tampak terkejut dan bahagia secara bersamaan. "Can I sit here?"
"Of course. How about you?"
"I'm good. Never as good as now."
Aku tertawa kecil. Sangat tahu maksudnya. Ben terus menatapku masih seperti orang syok.
"Nggak usah sok kaget gitu kali, kita kan masih di Indonesia," ujarku menyenggol lengannya.
"Nggak, aku masih nggak nyangka aja kita bisa ketemu di sini. Kamu menginap di sini?"
"Ya, baru check-in sore ini."
"Berapa hari rencananya?"
Aku mengangkat bahu dan menjawab ragu. "Dua atau tiga hari mungkin. Sekelarnya kerjaan aja, sih."
"That's good. Sebenarnya aku baru menyelesaikan pekerjaan di sini. Besok mestinya check out. Tapi lihat kamu di sini kayaknya perlu tambahan menginap lagi deh."
Aku tertawa. Apalagi melihat ekspresinya sekarang.
"Kamu ditunggu anakmu by the way," ucapku mengingatkan.
Bibir Ben sontak mencebik kecewa. "Oh, kamu benar. Aku sudah ngasih tau dia kalau besok pulang."
"Nah kan."
"But I miss you so much, Din. Sejak kita pisah di Lombok waktu itu kita nggak pernah komunikasi lagi. Aku pernah menghubungi kamu, tapi kayaknya kamu sibuk jadi nggak keangkat ya."
"Masa? Kapan?"
"Sekitar dua Minggu setelah kamu pulang ke Jakarta."
Aku mencoba mengingat. Setahuku nggak pernah ada panggilan tak terjawab darinya. Aku pikir dia sibuk dan lupa.
"Aku juga pernah kirim pesan ke kamu, tapi nggak kamu balas. Bahkan masih centang abu," aku Ben lagi.
Dahiku sampai mengerut. Panggilan atau pesan nggak pernah aku terima sama sekali.
"I'm sorry mungkin aku melewatkan itu. Kamu benar aku menggelamkan diri sama kerjaan beberapa bulan belakangan."
"Aku pikir kamu menikah dengan pria itu jadi menjauhi aku. Makanya habis itu aku nggak pernah hubungi kamu, takut ganggu."
Mulutku terbuka dan dua alisku terangkat, lalu tawaku pecah. "Pikiran kamu terlalu jauh, Ben. I'm not married."
Ben tersenyum lebar. "Itu kabar bagus."
Lebih tepatnya kabar buruk. Bicara pernikahan pikiranku selalu tidak pernah lepas dari Ribel. Mungkin karena dia satu-satunya laki-laki yang ngotot mengajakku menikah.
Aku kira akan melewati sore ini sendirian sambil melamun bersama segelas cocktail. Siapa sangka secara ajaib aku bertemu Ben.
"Kamu percaya kan nggak ada yang kebetulan di dunia ini? Semua sudah terencana semesta," ucap Ben tiba-tiba ketika kami sedang sama-sama menyaksikan bola merah turun ke cakrawala. Aku hanya membalasnya dengan gumaman.
"Begitu pun pertemuan kita sekarang." Bisa kurasakan dia menoleh, menatapku. "Semesta kayaknya masih berpihak padaku."
Sayangnya semesta tidak berpihak padaku. Takdirku tidak sesuai dengan keinginanku.
"Din, apa aku masih punya kesempatan itu?"
Hayoloh! Kira-kira Dindin mau jawab apa nih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro