37. Comfortable
Terima kasih yang udah bertahan di sini. Sebelum mencak-mencak pastikan kalian vote dan komen di bab ini. Wkwk.
Welcome yang baru join di Bel-Din. Moga kalian suka sama cerita semi dewasa ini wkwk. Oh ya, jangan lupa follow AUTHORNYA ya, biar dia semangat. Hihi.
Happy reading, Gaes!
Aku menoleh ketika mendengar derap langkah terburu-buru. Ben dengan piyama tidurnya setengah berlari menuju ke arahku. Aku cukup heran dia ada di lobi padahal sudah hampir tengah malam.
Wajahnya yang putih tampak kemerahan dan napasnya sedikit terengah. Aku yang tengah duduk di depan front desk kontan berdiri.
"Din, kamu nggak apa-apa?" tanya dia membuat mataku mengerjap. Jujur, aku bingung.
"Aku nggak apa-apa. Kenapa kamu ada di sini?"
"Aku dapat kabar kalau seseorang masuk ke kamar kamu dan—"
"Aku nggak apa-apa, Ben. Cuma ponselku hilang."
Ben tampak mengembuskan napas lega. Kalau aku nggak salah lihat ada raut khawatir yang begitu jelas pada wajahnya.
"Syukurlah."
"Aku udah minta pindah kamar. Jendela kamar yang sekarang kuncinya rusak jadi gampang dibobol. Pihak penginapan juga udah minta maaf dan akan mencari pelakunya."
"Hanya itu? Kamu nggak minta ganti rugi ponsel itu?"
"Mereka hanya akan mengganti setengahnya." Aku mengangkat bahu, nggak mau memperpanjang urusan ini. Setidaknya pihak penginapan ini sudah mau bertanggung jawab. Bahkan katanya mereka akan memberi diskon.
"Jadi, kamu pindah sekarang?"
"Ya, mereka sedang menyiapkan kamarnya."
Ben menungguiku sampai kamar yang baru siap. Bahkan dia membantuku pindah. Namun, yang mengejutkan ternyata kamar kami bersebelahan. Kami tertawa dengan kebetulan ini.
"Kalau ada apa-apa, kamu bisa ketuk kamar sebelah," kelakar Ben, meski begitu dari ucapannya aku bisa mendengar keseriusan.
"Oke, oke. Thanks, ya, Ben. Tapi mungkin untuk urusan kantor aku bisa minta tolong?"
"Ya, pasti."
Bibirku melengkung ke atas. Bahkan aku merasa lengkungannya sampai ke mata. "Thanks, Ben."
"No problem. Kamu bisa istirahat dengan aman sekarang."
Ben kembali ke kamarnya setelah memastikan aku menutup pintu kamar.
Hilangnya ponsel itu mungkin jalan yang terbaik. Setidaknya membatasi akses komunikasi Ribel. Urusan kantor aku bisa mengandalkan laptop. Kelihatannya si pencuri terlalu terburu-buru hingga nggak sempat mengobrak-abrik isi koper. Laptopku selamat.
Paginya aku langsung menuju tempat proyek. Interior sedang dikerjakan selain finishing bagian depan ketika aku ke sana. Melihat progres yang ada, aku rasa semua bakal selesai tepat waktu.
Sebuah helm terpasang di kepala tiba-tiba. Bola mataku kontan bergerak ke atas.
"Helm jangan sampai lupa dipake. Prosedur keselamatan." Ben berjalan melewatiku lalu berhenti tepat di hadapanku.
"Oh iya, aku lupa," sahutku nyengir.
"Pagi ini nggak sarapan? Aku pikir kamu ke restoran."
"Tadi aku sempat minum sereal drink."
"Tidur kamu nyenyak?"
Aku mengulum senyum lalu mengerling ke duda anak satu itu. "Nyenyak dong, kan sekarang mah udah aman."
Ben menyambut itu dengan tawa renyah. Wajahnya makin ramah saat dia tertawa seperti itu. Tambah manis juga. Ehem!
"Mau aku temani keliling proyek?"
"Boleh. Aku harus memberi laporan ke Dany sebelum jam makan siang."
"Oke, ayo."
Dany memintaku membuat detail terperinci tiap pengerjaan serta dokumentasi. Kehadiran Ben sangat membantu dalam hal ini. Aku nggak perlu berkeliling ke setiap bagian karena Ben sangat tahu perkembangan hampir semua step.
Saat dokumentasi dan beberapa penjelasan cukup, aku dan Ben menuju ke sebuah bangunan non permanen yang dijadikan kantor untuk para staf proyek. Di sana lagi-lagi Ben membantuku membuat laporan hingga tepat sebelum jam makan siang laporan itu sukses terkirim ke email Dany.
"Apa kamu akan terus di sini sampai proyek ini dikatakan selesai?" tanya Ben saat kami berjalan menuju restoran untuk makan siang.
"Maunya sih gitu. Aku mulai suka Lombok."
"Kabar yang baik."
Aku tersenyum lebar. "Kenapa?"
"Kamu teman yang asik." Mata legam Ben melirik seakan melempar kode.
"Jangan lupa aku juga teman yang selalu minta traktiran," ujarku tertawa.
"Nggak masalah. Buat kamu apa sih yang enggak?"
Kelakar kami memang receh, tapi cukup menghibur di tengah keteganganku dengan Ribel. Setidaknya saat ada Ben, pikiran tentang Ribel sedikit teralihkan.
***
Menjelang penutupan banyak yang harus ditangani. Mengumpulkan catatan proyek dan membuat berita acara serah terima, laporan close out report, laporan pekerjaan atau dokumen proyek lain untuk melakukan penutupan proyek.
Aku jelas makin sibuk karena Dany sudah menyerahkan semuanya padaku lantaran dia menerima proyek lain lagi dari Siska. Yang artinya aku tertahan cukup lama di sini.
Beberapa orang Externaise yang tinggal di sini lumayan membantu pekerjaanku. Ditambah Ben yang selalu ada kapan pun aku memerlukannya. Pertemanan kami makin akrab. Tiap malam ketika melepas penat kami biasanya akan ngopi atau sekedar berjalan di sepanjang garis pantai. Atau karaoke di pinggir pantai dengan staf lain.
"Snorkeling?"
"Ya, kamu mau? Kita mungkin bakal keliling pulau weekend ini bersama lainnya."
"Selain itu?"
"Berjemur di bawah sinar matahari, atau pijat lulur juga boleh."
Aku terkekeh. Tawaran itu datang ketika aku baru saja menutup laptop dan hendak pulang ke penginapan.
"Ada yang lebih menarik lagi?"
Ben tampak berpikir, lalu bibir tipisnya melengkung. "Aku akan berbaik hati membiarkan kamu melihatku berselancar."
Aku melebarkan mata. Itu terdengar sangat menarik. "Kamu bisa surfing?"
"Kamu nggak percaya?"
Dengan tubuh tinggi atletis dan kulit yang agak kecoklatan itu siapa yang nggak percaya?
"Aku percaya. Lebih percaya lagi kalau kamu mau mengajariku berselancar."
"My pleasure."
Ada sekitar tujuh orang yang ikut bersama kami berkeliling pulau. Ini adalah perjalanan keduaku di pulau ini. Terakhir, aku melakukan perjalanan ke Lombok bersama Baary. Saat cinta kami sedang rimbun-rimbunnya tiga tahun lalu.
Ben membawaku ke Pink Beach. Kami berencana melakukan snorkeling di sana sebelum menuju Pantai Mawi. Dulu aku melewati destinasi itu. Jadi, hari ini lumayan excited.
Aku mengenakan topi lebar dan bikini yang aku lapisi dengan cardigan panjang. Sengaja tidak mengenakan apa pun. Pakaian ganti aku simpan di tas. Tidak lupa kacamata hitam sebab cuaca Lombok luar biasa panas.
Ben akan berbaik hati membantuku memasang alat snorkeling dan sepatu katak. Aku bisa melakukannya sendiri, tapi apa salahnya sedikit manja?
"Udah pernah scuba?"
Aku menggeleng. Hanya snorkeling, itu pun sudah lama nggak pernah aku lakukan.
"By the way aku udah lama nggak snorkeling. Terakhir tiga tahun lalu," ujarku ketika dia memakaikan aku sepatu katak.
Setelah memasang dua sepatu katak dia mendongak dan tersenyum padaku. "Jadi, jangan jauh-jauh dari sisiku nanti," sahutnya.
Manis banget, tapi sayang belum cukup membuat dadaku berdebar. Pria semanis dan sebaik dia aku yakin jodohnya juga baik. Yang jelas bukan perempuan seperti aku.
"Kamu nggak mau lepas kardigan kamu? Kita pemanasan dulu sebelum turun."
Aku baru sadar kalau kardigan masih melekat di tubuhku. Tanpa banyak tanya aku melepasnya. Hanya saja suasana di boat yang tadinya riuh mendadak hening setelahnya. Bahkan Ben yang ada di depanku membeku seketika.
"Ben? Ada apa?" tanyaku bingung. Lalu menoleh pada rekan lainnya.
Ternyata mereka sama saja, bengong. Mereka buru-buru mengalihkan pandang saat aku bertanya kebingungan.
Ben berdeham seolah ada duri yang nyangkut di pangkal tenggorokannya. "Nggak ada apa-apa. Kita mulai peregangan otot saja," katanya lantas bergabung dengan lainnya.
Bibirku melipat melihat Ben mengalihkan pandang. Sesekali melirik, tapi kemudian cepat-cepat memalingkan tatap. Untuk beberapa saat aku baru sadar dengan tingkah aneh mereka.
Astaga, nggak mungkin mereka nggak pernah lihat wanita pakai bikini, kan?
"Celine Evangelista."
"Nggak, Aril Tatum."
"Atau .... Lucinta Luna?"
Entah apa yang mereka obrolin sampai nama artis dibawa-bawa. Namun, suara berisik mereka langsung hilang ketika aku datang.
"Eh, Mbak Dini udah siap?" tanya salah seorang dari mereka.
Aku nggak melihat ada Ben di sana. "Udah. Ben mana?"
"Lagi ambil jaket pelampung tadi. Mbak Dini nggak pake pelampung?"
"Kayaknya nggak deh."
"Baju renangnya bagus deh, Mbak," celetuk lainnya. Yang langsung disetujui empat teman-temannya.
"Thanks." Aku tersenyum sendiri melihat mereka curi-curi pandang.
"Mbak Dini mirip Aril Tatum deh, cantik."
Aku ternganga sebentar lantas tertawa. Jadi, ini yang tadi mereka bicarakan.
"Cukup ya. Inget pacar dan bini kalian di Jakarta." Ben muncul membawa beberapa jaket pelampung dan melempar ke arah mereka. "Kalau udah pakai pelampung masih ada yang tenggelam, aku kubur sekalian di dasar laut."
"Buset, kejam amat, Ben."
Ben tidak menanggapi. Dia memilih memasangkan alat snorkel ke kepalaku, dan ke dirinya sendiri. Ketika kami akan turun ke bawah tangan besarnya terulur. Dan begitu aku menyambut, kami berdua lalu lompat ke dalam air jernih Gili Petelu.
***
Aku tertawa lagi ketika papan selancar terguling untuk kesekian kalinya lantaran kena hantaman ombak. Tubuhku tenggelam dan hidungku kemasukan air asin laut.
Ombak di pantai berikutnya yang kami kunjungi tidak terlalu besar. Ben bilang cocok untuk berselancar bagi pemula.
Ben kembali membantuku menaiki papan selancar. Aku disuruhnya tengkurap di papan itu. Ketika yakin sudah stabil, aku perlahan bangun dengan hati-hati. Namun, baru setengah duduk, lagi-lagi aku kehilangan keseimbangan dan terguling lagi. Ben langsung menangkapku dan kami tertawa bersama. Ujung-ujungnya kami berdua malah naik papan selancar bersama sambil bermain ombak.
Dua minggu di sini bersamanya membuat kami makin akrab. Dia teman yang cukup seru. Darinya aku banyak belajar sesuatu yang baru.
Papan selancar kami terguling lagi saat ombak besar datang. Kami tercebur dan kembali tertawa dengan kekonyolan ini. Tawa cukup yang ternyata cukup merontokkan beban yang aku bawa.
"Gimana ini, Din?"
Pertanyaan tiba-tiba Ben membuat tawaku terhenti. Aku baru sadar ternyata kami tertawa sambil berpelukan. Dua lengan Ben melingkar di pinggangku, sementara dua tanganku bertengger di bahunya yang lebar.
Jarak kami begitu dekat, bahkan tubuh bagian depan kami nyaris menempel satu sama lain. Tatap kami bertemu di udara selama beberapa saat.
"Aku merasa kita—"
Aku tertegun ketika bibir Ben tiba-tiba menyentuh bibirku, dia bahkan mencoba membuka celahnya dan melumatnya sedikit. Jujur, aku terkejut.
Karenanya perasaanku mendadak nggak enak. Oke baiklah. Ben cukup menghibur selama di sini dan aku juga merasa nyaman bersamanya. Dia tidak banyak menuntut dan juga bukan pemaksa seperti Ribel. Hanya saja....
"Din, apa ini kesalahan?" tanya dia, mungkin bingung melihat wajahku yang bimbang.
Rangkulan tanganku pada bahunya terlepas dan aku menunduk dalam.
"Din, I'm sorry. Aku nggak bermaksud nyakitin kamu. A-aku mungkin hanya terbawa suasana. Maaf, ya, aku—"
Kepalaku dengan cepat menggeleng. Dan senyumku terulas lembut. Dia terlihat begitu panik tadi dan entah kenapa saat seperti itu dia malah tampak makin cute.
Ini di luar kendali. Dan mungkin Ben benar, dia terbawa suasana. Apalagi senja perlahan datang. Setengah tubuh kami yang tenggelam di air laut mulai menggelap ditelan redupnya sinar matahari senja.
"It's okay, Ben. Aku nggak apa-apa," ucapku, membuat wajah leganya memendar.
Dan, hal selanjutnya aku nggak tahu apa masih bisa disebut terbawa suasana. Karena ketika wajah Ben kembali mendekat dan memagut bibirku lagi, aku membalasnya.
INFO : Gaes, Yuk kita tengok Ribel di Karyakarsa, Hidden Part 7 udah up ya. Dia lagi bingung tuh sama hatinya. Xixi
Link : https://karyakarsa.com/IceCoffe/hidden-part-503869
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro