30. Meet You
Halo! Ada yang kangen Ribel nggak nih? Bab kemarin kan dia nggak nongol.
Bab ini berjumlah 1700an kata, kalau nggak rame aku pundung di pojokan.
Sudah dua bulan sejak Ribel di Singapore, dan selama itu aku terus disibukkan dengan bertumpuk pekerjaan yang nggak ada habisnya. Lelah memang, tapi aku bersyukur bisa mengalihkan semuanya. Ribel masih sering video call atau telepon seperti biasa. Namun, itu nggak lantas bikin rinduku jadi meluntur. Ehem! Oke, aku harus akui itu. Sudah lama rasanya tidak memiliki perasaan aneh seperti ini.
Bunyi tik tik jam meja mengingatkan bahwa sebentar lagi aku harus segera pulang. Dua bodyguard di depan sana sudah beberapa kali melotot ke ke sini karena aku masih betah di kursi panas.
Oh iya, soal bodyguard ini. Aku sudah mencoba bicara pada Ribel untuk menghentikan mereka, tapi pria itu bersikeras ingin agar aku tetap dikawal. Dan aku terlalu lelah untuk membantah. Buang-buang energi.
Gesekan mesin print menimbulkan bunyi sedikit bising. Biasanya aku meminta teknisi untuk memperbaiki, tapi untuk sekarang belum ada waktu. Setelah membundel kertas-kertas hasil cetak itu, aku bergegas membawanya ke ruangan Siska.
Dan, aku sama sekali nggak curiga ketika melihat meja Dany kosong. Harusnya aku bisa menduga dia ada di mana. Namun, dengan ceroboh tanganku malah membuka pintu ruangan yang sontak menjelma menjadi ruang sauna. Kesialan yang hakiki, karena aku harus melihat adegan itu.
Siska bersandar di sofa. Dua pahanya terbuka lebar dengan kaki menekuk. Rok spannya tergulung hingga pinggang. Sementara Dany berlutut di depan wanita itu dengan kepala tenggelam di antara kedua pahanya.
Suara desahan Siska menggema di mana-mana dan dengan tololnya mereka tidak mengunci pintu.
Harusnya aku segera pergi, bukan malah terpaku dengan mulut ternganga. Namun, kakiku sama sekali tidak bergerak. Tanganku meremas handle pintu, dan tangan sebelah lainnya mencengkeram dokumen lebih erat.
Aneh, biasanya melihat adegan mesum seperti itu aku sudah histeris, tapi kali ini tidak. Ada gelenyar aneh yang tiba-tiba menyerang dan dadaku juga berdegup kencang. Aku menelan ludah ketika Siska menjerit keenakan sambil menengadah. Tangannya meremas rambut Dany seolah nggak ingin lelaki itu menjauh.
Sebelum mereka menyadari kedatanganku, dan begitu kewarasanku kembali, aku segera menutup pintu.
Aku berdiam diri selama beberapa saat di depan pintu, menetralisir perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar. Dadaku naik turun, masih deg-degan, tapi kabar baiknya kakiku nggak terasa lemas sama sekali.
Raka yang baru datang memandangku dengan tatapan aneh saat kami berpapasan.
"Kenapa kamu? Muka kamu merah gitu," tanya lelaki itu seraya duduk di kursinya. Dia langsung menancapkan sebuah flashdisk ke laptop.
Aku menggeleng kikuk. "Nggak apa-apa."
"Kalau capek jangan paksain lembur kali, Din. Kita paham kok."
Bukan itu masalahnya, tapi aku cuma bisa meringis. Masih saja kebayang adegan di ruangan Siska.
"Loh, si Dany mana? Bukannya dia lembur juga?" Raka celingukan. Jangan bilang dia lagi butuh Dany.
"Dia lagi di ruang Siska," ujarku pelan sambil menghadap laptop lagi. Terpaksa mencetak ulang dokumen, karena kertas-kertas dokumen tadi sudah kusut kuremas-remas.
"Ahelah, banyak kerjaan juga. Gatel banget apa ya sampai harus digarukin di kantor?" celetuk pria berkacamata itu, membuatku menoleh cepat.
"Kamu tau kalau—"
"Ya, ngapain lagi coba? Udah berapa lama dia di sana?"
Aku mengangkat bahu. Masuknya saja nggak lihat. Namun sekitar lima belas menit kemudian, Siska keluar dari ruangannya. Dia berpenampilan rapi, tidak kusut masai seperti yang kulihat di dalam. Heelsnya mengetuk lantai dengan nyaring menuju ke mejaku.
"Mana dokumennya?" tanya wanita itu sembari menadahkan tangan. Wajahnya kemerahan, dan dari balik kerah kemejanya, sebuah tanda merah mengintip.
Aku menyerahkan dokumen yang baru kucetak ulang. "Mbak lain kali jangan di kantor napa, sih," ujarku sedikit cemberut, tapi dia malah tertawa.
Wanita penyuka gincu merah itu membungkuk dan mendekat padaku. "Udah nggak tahan, Cin. Kamu beruntung deh liat kami tadi. Anggap aja syok terapi," bisiknya lalu menjauh sambil cekikikan.
"Ish," decakku, nggak habis pikir. Dia nyaris sama seperti Ribel, nggak kenal tempat. Aku baru lihat Dany keluar dari ruangan Siska beberapa menit kemudian. Rambutnya basah, euy!
"Lagi-lagi kamu pulang malam," ucap Ribel via telepon ketika aku sampai di gedung hotel and residen tempat kami tinggal.
"Tanggung tadi."
Lift terbuka dan aku keluar diikuti dua bodyguard berbadan besar di belakangku.
"Selalu gitu jawabannya."
Hening. Kami diam selama beberapa saat hingga aku masuk ke unit.
"Kapan kamu ke Jakarta?" tanyaku sembari melepas heels. "Udah dua bulan lebih kamu di sana. Apa urusannya belum beres juga?"
"Why, Honey? Do you miss me?"
Bibirku mencebik, meskipun benar aku gengsi mengatakannya. "Nggak sih. Aku kan cuma tanya."
"Hmm, gitu, ya. Lagi apa kamu sekarang? Udah makan belum?"
Alih-alih menjawab aku malah terkekeh. Pertanyaannya seperti anak ABG yang sedang kasmaran.
"Ditanya kok malah tertawa."
"Aku baru pulang dan sekarang lagi di kamar." Aku melepas tas dan meletakkannya begitu saja di atas tempat tidur, sambil mengempaskan pantat di sana. "Mmm, Bel. Kayaknya traumaku mulai berkurang, deh," ujarku agak ragu. Dan bayangan Siska tengah mendesah berkelebat.
"Really? Bagaimana kamu bisa tahu itu?"
Haruskah aku bilang kejadian di kantor? Sepertinya nggak perlu.
"Aku merasa begitu aja."
"Itu kabar yang baik. Kalau malam ini kita having sex bisa dong, ya."
Bola mataku berputar. Otak mesumnya bekerja dengan cepat. "Phone sex maksud kamu?" Itu yang terlintas di pikiranku seketika mengingat posisinya jauh di seberang laut sana.
"Asiknya apa phone sex? Seks beneran dong, Sayang."
"Ngigo." Aku terkekeh sembari menggeleng.
"Kamu nggak percaya kita bisa making love malam ini?" tanya Ribel di ujung sana.
Meskipun aku bilang 'percaya' nggak lantas bikin dia muncul di depanku tiba-tiba kan?
Aku menggeleng mendengar pertanyaannya yang nggak masuk akal. Namun, saat tatapku tanpa sengaja bergeser ke pintu aku dikejutkan kemunculannya.
Mataku mengerjap. Tak cukup hanya itu, aku pun mengucek mata pelan. Takut salah lihat.
Ribel tampak cengar-cengir di ambang pintu. Sebelah tangannya menyangga kepala dengan siku bertumpu pada kusen pintu. Berdiri agak miring, dengan sebelah kaki menyiku dan menyilang di depan kaki lainnya. Kancing paling atas kemejanya terbuka. Dengan potongan rambut baru, dia terlihat jauh lebih segar, dan makin ... keren.
Ketika yakin ini bukan cuma halusinasi, aku segera berdiri, berlari, meloncat, dan menubruk tubuhnya.
Ribel secara refleks menangkap tubuhku, dan membawanya berputar sambil tertawa.
Ini benar-benar nyata. Dia Ribel, pria yang belakangan ini terus memenuhi kepalaku, sampai rasanya tak muat menampung lagi.
"Langsung loncat gini, masih mau bilang nggak kangen?" godanya menurunkan aku. Kami berdiri saling berhadapan.
Munafik memang, tapi kalau terlalu jujur Ribel bisa GR. Aku cuma berdecak, dan pura-pura cemburut.
"So, do you miss me?"
Sepertinya dia bakal terus menanyakan itu kalau nggak aku jawab. Well, aku mengalah.
"Just a little."
Ribel tertawa lagi. "Masih nggak mau ngaku juga."
Sontak aku terpekik ketika dengan tiba-tiba dia mengangkat tubuhku lagi, dan membawanya naik ke atas ranjang.
Tubuh kami saling mengimpit dengan posisi Ribel berada di atasku.
"Masih nggak mau ngaku?" Dia menempatkan jari-jari tangannya di pinggangku. Aku sangat tahu apa yang akan dia lakukan.
"Tadi aku udah jujur," sanggahku melotot, dan berusaha bangkit. Tapi percuma saja, tubuh besarnya menekanku terlalu kuat.
"Oke, kalau nggak mau kena hukuman. Tell me that you love me."
Alih-alih menjawab, aku malah mengatupkan bibir rapat-rapat sampai Ribel menggeram.
"Dini, kamu benar-benar suka dihukum, ya."
Jemarinya dengan cepat bergerak dan menggelitiki pinggangku. Tawaku pecah, menahan rasa geli yang berkecamuk. Bahkan menjerit-jerit saking gelinya.
"Ribel, stop it!"
"Aku nggak mau berhenti sebelum kamu bilang love me."
"Oh My God. Ribel!"
"So, you can say, Ribel I love you, babe."
"Nggak."
"Oh, oke. Kamu lebih suka aku gelitiki daripada mengaku cinta."
Ribel malah makin menjadi menggerakkan jari jemarinya. Sial. Aku bisa keram lama-lama.
"Oke, fine! I love you! Are you satisfied?"
"Nggak. Katakan dengan tulus dan sungguh-sungguh."
"Ribel, please." Aku putus asa dan mulai memelas.
"Nggak susah kan?"
"Oke, oke." Aku nggak mau mati kaku gara-gara digelitiki. Nggak elit banget.
Kugapai wajahnya hingga tatap kami bertemu dalam satu garis lurus. Kutarik wajah itu mendekat, dan dengan mata terpejam mempertemukan bibir kami.
Ribel tidak bereaksi selama beberapa detik. Namun ketika lidahku mulai menerobos rongga mulutnya, dia mulai membalas, jauh lebih panas.
"I love you," ucapku saat wajah kami saling menjauh. Kali ini kuucapkan dengan sungguh-sungguh. Tanpa gengsi, dan tanpa malu-malu.
Bibir penuhnya tersungging manis, lalu mengecup bertubi-tubi dengan gerakan cepat.
"Finally, I can hear the words."
Aku nggak tau sejak kapan telapak tangan Ribel sudah menangkup dua dadaku dari dalam blouse. Dengan hati-hati dia meremasnya pelan. Aku sedikit melenguh merasakan sentuhan itu.
Apakah benar traumaku sudah hilang? Bayang-bayang saat Bagas menggerayangi tubuhku memudar secara perlahan. Bisikan kata-kata cinta yang Ribel hamburkan membuatku bisa menghalau bayangan jahat itu.
Di sisi lain, memang rinduku sudah tidak bisa terbendung lagi. Lalu ketika secara langsung tangannya dengan lembut menyentuh permukaan kulitku, tubuhku merinding seketika.
"Ribel, aku—"
Telunjuk Ribel membungkam bibirku segera. Meskipun begitu, dia nggak berhenti mengecupi setiap jengkal tubuh atasku yang kini sudah terbuka.
Entahlah bahkan ketika pria itu melucuti satu per satu pakaianku, aku nggak menyadarinya.
Ribel bergerak menjauh saat berhasil membuang semua penutup tubuh ini. Punggung jemarinya menyentuh ringan dan menyusuri kulit lenganku. Sentuhan ringan itu juga kudapatkan di bagian dada. Jarinya berlama-lama di sana, memainkan puncak dada yang aku yakin sudah sangat menegang.
"Ah!"
Sial! Desahanku pecah juga. Ribel bergerak terlalu cepat. Kuluman mulutnya membuat darahku seolah-olah naik ke ubun-ubun. Sesuatu kurasakan merambat tepat di bawah perutku. Menyelinap masuk di sana.
Ini nikmat, bahkan tanpa sadar aku meremas rambutnya. Ribel—yang sangat tahu titik-titik sensitif di area tubuhku—sengaja menggoda.
Dengan penuh hati-hati dia terus menjamah, membuatku makin tidak bisa mengendalikan suara desahan. Namun tanpa kuduga, saat sedang nikmat-nikmatnya, tubuh Ribel yang masih berpakaian lengkap menjauh. Aku merasa kehilangan seketika. Hasratku sedang berada di puncak, tapi dia malah berhenti.
"Kenapa?" tanyaku agak kecewa, sambil menarik selembar selimut.
Dia tersenyum dan mengecup keningku. "Aku nggak ingin menyakiti kamu. Kita harus bersabar dulu."
"Tapi—"
"Aku nggak mau ambil resiko. Kita harus pelan-pelan."
Mood-ku mendadak kacau. Resiko apa sih? Aku yakin bisa melakukannya.
"Apa kamu melakukannya dengan wanita lain?" tanyaku seraya membuang muka
"Nggak," bantahnya cepat. "Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"
"Bisa aja kan? Pria seperti kamu nggak mungkin tahan berbulan-bulan nggak melakukan seks."
"Astaga, Din." Dia terkekeh, lantas menarik tanganku. "Aku punya cara sendiri saat kamu nggak bisa memenuhi kebutuhan biologisku. Yang jelas bukan menemui wanita lain."
Diam-diam ujung mataku meliriknya. "Contohnya?"
Pria berparas rupawan itu menganga tak percaya. "Harus banget aku kasih tau."
"Harus dong biar aku nggak curiga."
Ribel meringis, tapi seolah nggak ada pilihan lain wajahnya lantas mendekat. Dia membisikkan sesuatu yang membuatku cukup terperangah.
"Gila kamu!"
"Aku memang gila kalau itu menyangkut tentang kamu."
____________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro