22. Luka
Attention : Tolong, vote sebelum lanjut baca
Warning : Cerita ini mengandung adegan kekerasan, adegan dewasa. Sangat tidak disarankan untuk usia baca di bawah 18 tahun.
Atas semua yang lelaki itu lakukan aku tahu bahwa semua ini terencana. Sedikit pun aku tidak pernah menyangka kejadian mengerikan ini akan menimpaku. Rasa sakit itu terus menghujam. Bagas memperlakukan aku layaknya binatang. Entah kesalahan besar apa yang sudah aku lakukan padanya hingga membuat lelaki itu tega begini. Dia benar-benar menjelma menjadi iblis yang tidak memiliki perasaan.
Di bawahnya aku tidak berdaya. Bahkan yang lebih miris dia merekam perbuatan bejadnya itu. Tidak peduli rasa sakit yang kualami, tidak peduli tangis dan jeritanku yang terus menggema. Dia dengan senyum lebar seolah menikmati ketidak-berdayaanku ini.
Tubuhku remuk redam. Aku merasa sekujur tubuh ini penuh luka akibat kekerasan yang dia lakukan. Lebih dari itu hatiku benar-benar hancur. Aku merasa terhina dan jijik secara bersamaan.
"Menjerit lagi, Din." Suaranya yang menjijikan itu kembali terdengar. Dia merangkak naik dan mendekati wajahku. "Oke, akan aku buat kamu kesusahan berteriak."
Aku kembali terpekik ketika dia menekan rahangku, membuka mulutku secara paksa. Dan hal selanjut dia menyumpal mulutku itu dengan miliknya.
"Ah, ternyata mulutmu juga bisa memberikan kenikmatan yang luar biasa." Tangannya mencengkeram rambutku, pinggulnya maju mundur memaksa miliknya keluar masuk di dalam mulutku.
Aku benar-benar merasa jijik. Namun, dengan tangan dan kaki yang terikat tidak ada yang bisa aku lakukan. Hanya air mata saja yang makin deras keluar serta rintihan lirih yang malah membuat Bagas makin menggila.
Tidak cukup hanya itu, dia kembali menyatukan dirinya di bawah sana. Mengentak pinggulnya dengan keras, sementara tangannya tidak berhenti menyakiti bagian tubuhku yang lain. Beberapa kali pipiku terkena tamparannya bahkan sudut bibir ini sampai mengeluarkan darah. Belum lagi bagian lainnya. Memar di lengan, bahu dan mungkin area paha.
"Teriak lagi, Din. Aku suka mendengar kamu berteriak kesakitan," ucapnya di tengah deru napasnya yang cepat. Lalu tangannya menampar dan meremas dadaku kuat-kuat.
Aku memejamkan mata ketika rasa sakit itu menyerang lagi. Terlalu lelah melawan dan jujur tenaga ini terkuras habis. Rasanya sudah mau mati saja.
"Aku ingin melihat bagaimana hancurnya Ribel melihat percintaan hebat kita."
Ini bukan percintaan, tapi pemerkosaan. Seujung kuku aku tidak pernah rela diperlakukan seperti ini. Bukan hanya luka fisik yang aku terima, mentalku juga.
Kembali air mataku meluruh. Bayangan Ribel berkelebat. Dia di mana sekarang? Apakah dia akan tetap mengumbar kata cinta setelah ini?
Tepat saat itu sengatan panas dan perih menyerang pinggul dan pahaku. Aku kembali menjerit. Namun, si brengsek itu malah tertawa melihatnya.
"Sakit, Din? Teruslah menjerit, Din. Makin kamu menjerit, makin membuatku bergairah." Lalu tawanya menggelegar.
"Sakit jiwa!" umpatku di tengah rasa perih yang tak tertahankan. Tak cukup menyiksaku dengan ikat pinggang dan benda sejenis plat besi panjang, sekarang dia menyundut kulitku di beberapa bagian tubuh dengan bara rokok.
Lalu ketika aku kembali menangis dan menjerit, dia menghujamkan miliknya lagi dengan brutal. Aku benar-benar berada di titik pasrah, bahkan sepertinya Tuhan pun tidak bisa menolong.
Tenagaku habis. Tubuhku seakan hancur lebur. Perih dan nyeri terasa di mana-mana. Bahkan sakitnya terasa sampai ke tulang. Aku sudah berada di puncak putus asa, dan tidak peduli lagi apa yang Bagas lakukan. Mungkin mati menjadi pilihan terbaik setelah ini.
Aku masih mendengar lenguhan Bagas yang mencapai klimaksnya lagi, entah untuk ke berapa kalinya. Mungkin empat atau lima kali.
Ya, selama itu dia menyiksaku. Hingga milikku di bawah sana rasanya sudah koyak. Aku yakin ada luka di sana. Namun, perih dan sakitnya sudah tidak bisa aku rasakan lagi, hilang ditelan gelap.
***
"Andini, apa yang terjadi?"
Samar-samar telingaku mendengar suara yang sangat familier. Suara yang terdengar panik.
"Andini, siapa yang melakukan ini?"
Suara itu terdengar lagi. Namun, mataku terlalu lelah untuk terbuka, atau malah tidak akan terbuka selamanya.
"Bajingan mana yang memperlakukanmu seperti ini?!"
Suara itu terdengar marah dan cemas. Lantas tidak lama kurasakan kebebasan pada kedua tangan dan kakiku. Namun, aku tetap tidak bisa bergerak. Tubuhku rasanya kaku dan ngilu.
"It's okay, Din. Kamu aman sekarang. Aku akan membawamu ke rumah sakit dan akan melapor ini ke polisi."
Aku tidak memiliki kekuatan untuk membalas ucapan lelaki itu. Mataku masih tertutup rapat, begitu pun mulut ini. Yang kurasakan setelahnya, sesuatu menyelimuti tubuhku dan tidak lama aku seperti terbang melayang.
Sebuah tepukan pelan di pipi membuatku terjaga. Rasanya lama sekali aku terlelal berselimutkan rasa takut. Saat mataku terbuka, bayangan seseorang menggerayangi tubuh dan menyiksaku muncul di depan mata. Sontak aku menjerit histeris.
"Pergi, Bajingan! Jangan sentuh aku! Pergi!" Aku menyingkirkan tangan yang terus berusaha menggapaiku. Tangan itu terus saja ingin meraihku. Tidak cukup kah dia menyiksaku?
"Pergi! Pergi, Brengsek!"
"Andini, tenang. Andini, kamu aman."
Tenang? Aman? Bagaimana bisa? Bayangan tawa Bagas yang menggelegar begitu jelas terlihat. Bagaimana aku bisa merasakan aman? Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja?
"Pergi!"
"Andini, tenang. Oke? Ini aku, Baary. Kamu aman di sini bersamaku, Din. Kamu aman."
Baary? Bagaimana bisa lelaki tukang selingkuh itu ada di sini? Namun, aku lega karena ternyata di hadapanku benar-benar Baary, bukannya Bagas.
"Nggak akan ada yang menyakitimu lagi, Din. Kamu aman di sini. Oke? Dengarkan aku? Kamu aman, Din. It's me, Baary."
Tangisku kembali tumpah. Bahuku bergetar hebat, dan isakan pilu lantas terdengar.
"Semua akan baik-baik saja, Din. Kamu aman di sini bersamaku." Baary lantas meraihku dalam pelukannya. Di sana tangisku makin pecah. Tenggelam di dada berbalut sweater yang lelaki itu kenakan, aku menumpahkan rasa perih.
Kacau. Mungkin keadaanku teramat kacau. Meski begitu aku merasa lebih baik. Pereda rasa sakit yang bercampur dengan cairan infus mungkin sudah bekerja. Setelah menangis sepuasnya di pelukan Baary aku kembali tidur. Dokter memberiku suntikan penenang.
Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Saat membuka mata aku menemukan Baary dan juga Nando. Keduanya tampak terlibat diskusi serius yang nggak bisa aku pahami.
"Jangan bahas itu dulu. Seperti kata psikolog itu, kita harus memberinya jeda." Itu suara Baary.
"Tapi gue beneran ingin tahu apa yang terjadi. Beraninya si culun itu berbuat laknat sama adik gue." Lantas suara Nando menyahut.
Keduanya tidak menyadari bahwa aku sudah terbangun dan mendengar semuanya.
"Lo yakin pelakunya Ribeldy?"
"Siapa lagi? Gue bersumpah akan menjebloskan bajingan itu ke penjara seumur hidupnya."
Diskusi mereka terjeda ketika aku memanggil Nando. Perhatian keduanya segera teralihkan. Nando segera menghampiriku, begitu pun Baary.
"Gimana perasaan lo, Din?" tanya Nando menyentuh dan menggenggam tanganku.
"Gue baik."
Entah bagian mana yang baik. Aku hanya tidak ingin membuat Nando cemas, apalagi sampai melaporkan keadaanku kepada mama.
"Kamu butuh sesuatu, Din?" Kali ini Baary yang bertanya. Tapi kujawab dengan gelengan kepala.
"Begitu Baary kasih kabar, gue langsung ke sini. Gue benar-benar cemas dan merasa nggak berguna menjadi seorang kakak."
Aku memejamkan mata, meskipun perasaanku sudah sedikit lebih tenang, tapi bayangan malam itu masih bisa membuatku gemetar. Kutarik napas dalam-dalam berusaha menghalau rasa sakit yang menyerang.
"Gue bersumpah akan mengusut masalah ini hingga ke akarnya. Ribel harus menerima akibat perbuatannya," lanjut Nando dengan nada marah.
Ribel?
"Din, kita memang sudah pisah. Tapi jangan sampai kamu pilih orang yang salah. Aku sudah menduga dia bukan pria baik. Meskipun aku brengsek, tapi aku juga ingin liat kamu bahagia." Baary menambahi. Dan ucapannya itu membuat keningku berkerut.
"Tunggu, kalian sepertinya salah orang. Bukan Ribel pelakunya," ujarku bingung. Bagaimana mereka bisa menyimpulkan itu?
"Lalu kalau bukan Ribel siapa? Cuma dia yang berpotensi melakukan ini ke kamu, Din." Baary mengerjap, lalu berpaling ke Nando, ikutan bingung.
Aku menghela napas. Semoga Nando tidak kaget mendengarnya. Kutatap dua lelaki itu berganti. "Bukan Ribel yang melakukan ini, tapi psikopat itu pelakunya." Tanpa sadar aku mengepalkan tangan yang terasa bergetar.
Baary dan Nando saling melempar pandang. Raut bingung tersirat jelas di netra keduanya.
"Jadi, siapa yang lo maksud?" tanya Nando menatapku tepat di mata.
Sejujurnya lidahku tak sudi melafalkan namanya. Nyeri itu masih sangat terasa. Dan aku nggak tahu bisa sembuh atau tidak. Mataku terpejam, lalu dalam sekali tarikan napas aku menyebut nama bajingan itu.
"Bagas. Bajingan itu Bagas."
__________
Yang tanya Ribel ngapain aja setelah di Tomohon, kenapa dia malah anteng dan nggak ngejar Andini, sampai Andini mengalami kekerasan seksual. Bisa berkunjung ke Karyakarsa. Aku sudah up di sana, dan mungkin sebagian dari yang follow akunku di sana dapat notifnya.
Dengan POV Ribel terangkum dalam Hidden Part of UNDER COVER (2)
Berisi 3500an kata lebih. Jadi, kamu bisa puas membacanya. So, tunggu apa lagi.
Link : https://karyakarsa.com/IceCoffe/hidden-part-of-under-cover-2
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro