Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Penerbangan


Si seksi dan si semok datang lagi ya. Biasanya aku tulis mereka tiap hari Selasa dan Jumat. Jadi, pastikan cerita ini ada di library biar dapat notif update-nya tiap hari itu.

Wokeh, kira-kira apa yang akan Ribel dan Dindin lakukan selanjutnya?

Yuk, baca ramai-ramai dan jangan lupa tinggalkan jejak.

Oh ya, yang belum follow authornya, buruan follow ya. Ada cerita-cerita menarik lainnya di profil.

Happy reading

🦀🦀🦀






Layar ponselku terus bergetar. Sebuah caller ID asing muncul di sana. Aku tidak langsung menjawab. Ingin tahu seberapa butuh pemilik caller id itu padaku. Bisa saja kan itu hanya orang iseng? Atau malah agen asuransi yang menawarkan produknya. Aku lagi males mendengar ocehan siapa pun.

"Kenapa nggak diangkat?"

Tahu-tahu Ribel sudah ada di dekatku.  Saat ini kami sedang berada di lounge eksklusif bandara, menunggu pesawat pribadi milik Ribel siap terbang.

"Nomor asing," sahutku singkat.

Namun netra Ribel malah menyipit. "Sini, coba aku lihat." Dan dengan seenaknya dia merebut ponsel itu dari tanganku.

"Nomornya nggak asing," ujarnya kemudian.

Aku kembali merebut ponsel itu. "Nggak usah sok tau."

"Aku takutnya dia si pelaku itu."

Sontak aku mendongak dengan wajah tegang. Perasaan waswas tiba-tiba merayap. Lalu ketika ponsel di tanganku kembali bergetar, jantungku seolah mau lepas. Aku terkesiap dan menatap horor layar di genggaman tangan.

"Nah, dia hubungi lagi. Sini, aku angkat."

Lagi-lagi Ribel mengambil paksa ponsel itu. Tapi kali ini aku membiarkan. Saat hendak mengangkat panggilan itu, getarnya mendadak mati. Kening Ribel tampak berkerut.

"Mati?" Dia berdecak. "Cemen banget ini penelepon. Aku yakin dia akan menghubungi kamu lagi. Kamu angkat saja nanti," katanya sembari menyerahkan ponsel itu padaku lagi.

Pria itu lantas beranjak berdiri menghampiri asisten pribadinya. Beberapa detik selanjutnya mereka tampak terlibat obrolan serius. Sementara aku masih waswas memandangi layar ponsel. Sempat kepikiran untuk mengunduh aplikasi get contact, tapi ....

Caller ID itu kembali melakukan panggilan. Spontan pandanganmu bergulir ke arah Ribel yang masih serius berbicara dengan asistennya.

Aku menarik napas panjang sebelum menggeser ikon hijau. Menuruti apa kata Ribel. Saat kudekatkan ponsel ke telinga. Sebuah suara menyapa di ujung sana.

"Halo, ini Andini kan?" tanya si penelpon.

"Ya." Punggungku menegak waspada. "Siapa kamu?"

Aku bertanya serius, tapi di sana menyambutnya dengan kekehan. Membuatku serta-merta mengernyit.

"Sudah aku duga kamu nggak save nomorku. Padahal aku mengharap kamu menghubungiku."

Mataku menyipit, mencoba mengingat sesuatu. Suaranya memang nggak asing. Dan saat sebuah nama terlintas, aku kaget sendiri.

"Bagas?!" seruku, sampai Ribel dan asistennya menoleh padaku. "Aku pikir siapa?"

"Memang siapa yang kamu pikir?"

"Sori, tadi aku mengabaikan panggilanmu. Aku pikir orang iseng."

Ada helaan napas di ujung sana. "Aku nunggu telepon kamu, Din."

"Iya, maaf. Kartu nama kamu hilang. Ah, bukan hilang tapi lupa naro," ujarku mencari alasan.

"Setelah ini apa kamu akan mengabaikan aku lagi? Jangan save nomorku kalau gitu."

Nada suara ngambek, aku tertawa mendengarnya. "Save dong. Tenang aja."

"Bisa kita ketemu?"

Aku melirik Ribel. Dia masih bicara dengan asistennya. Terlihat sibuk.

"Bisa. Kapan?"

"Sore ini?"

"Kayaknya nggak bisa kalau sore ini. Aku sekarang di bandara akan melakukan perjalanan bisnis."

"Ah, sayang sekali. Berarti aku harus menunggu kamu pulang dulu."

Kami masih mengobrol sampai, pesawat yang akan kunaiki siap untuk cepat landas. Tommy—asisten Ribel—yang memberitahuku, sementara Ribel sendiri entah raib ke mana.

"Bagas, aku harus segera naik pesawat."

"Oke, take care, ya. Nanti aku telepon lagi."

Panggilan kami berakhir dan aku langsung mengikuti Tommy menuju ke tempat parkir pesawat.

Aku pikir jet pribadi milik Ribel jenis jet berukuran kecil, yang cuma bisa menampung beberapa orang. Dugaanku salah ketika melihat badan pesawat yang begitu besar dan kokoh. Di badan pesawat itu terdapat logo perusahaan Semesta Jaya.

Dua orang pilot dan satu pramugari menyambut ketika aku hendak menaiki tangga pesawat. Aku membalas sapaan mereka sekedarnya lalu beranjak masuk ke kabin.

Ribel ada di salah satu kursi menghadap sebuah laptop. Dia terlihat nggak peduli dengan kedatanganku. Ketika aku duduk di depannya pun, dia sama sekali tidak bereaksi.

"Kamu ngerjain apa? Apa kita nggak bisa menikmati perjalanan kita aja?" tanyaku melihatnya malah sibuk sendiri.

Bola matanya bergerak menyorotku. "Teleponannya sudah?" tanya dia memasang wajah bete maksimal.

Aku pikir dia nggak peduli. "Ya, dan ternyata dugaanmu salah. Dia—"

"Bagas. Buat apa dia menelepon kamu?" sela Ribel, tatapnya lantas kembali ke layar laptopnya yang terbuka.

"Dia ngajak bertemu."

Kembali Ribel menatapku tajam. "Dan kamu setuju?"

Bibirku menyeringai kecil. Badanku mundur seraya menyilangkan lengan ke depan dada. "Tentu saja aku setuju."

"Aku sudah pernah bilang kan kalau aku nggak suka kamu berdekatan dengan Bagas?"

"Kamu nggak berhak melarangku bertemu dengan siapa pun, Ribel."

"Aku nggak melarang. Kecuali Bagas dan mantan suamimu aku nggak akan melarang."

Bahkan belum ada komitmen di antara kami. Tidur bersama nggak lantas kami jadi memiliki hubungan spesial. Bahkan penerbanganku kali ini karena paksaannya bukan mauku sendiri. Dia yang sengaja mencari masalah dengan Externaise.

Aku mengabaikan ucapan Ribel dan berdiri. Namun, ketika aku melewatinya dia menyentak tanganku hingga aku jatuh terduduk di pangkuannya.

"Kamu jangan berkeliaran, pesawat ini akan lepas landas," ujar Ribel, lantas sibuk memasang sabuk pengaman.

Dan yang membuatku terperangah dia memasang sabuk pengaman itu melewati tubuhku yang ada di pangkuannya. Alih-alih membiarkanku kembali ke kursiku sendiri.

"Ribel, ini nggak safety," ujarku mendelik.

"Nggak akan safety kalau kamu terus bergerak, Sayang. Buat wanita bandel seperti kamu memang perlu diikat begini," bisiknya, tepat di telingaku. Ujung lidahnya menjilat basah cuping telingaku, membuat tubuhku merinding seketika.

Oh My God, aku nggak habis pikir apa yang ada di otak lelaki itu. Dia suka memacu adrenalin. Dari belakang aku bisa merasakan Ribel tengah mengendus dan mencium rambut dan tengkukku. Tidak hanya itu, dua tangannya bergerak ke depan dan dengan kurang ajarnya meremas dadaku yang tertutup kain blouse. Sial!

Bagaimana bisa dia melakukan ini? Seandainya asistennya atau pramugari masuk dan memergoki kami, habislah aku.

"Ribel, berhenti." Aku mendesis. Sementara pesawat ini sudah mulai bergerak.

"Ssst, jangan berisik."

Aku memejamkan mata. Dua tanganku mencengkram pegangan kursi kuat-kuat ketika Ribel mencari-cari puncak dadaku. Ditekan dan dimainkan saat masih tertutup kain blouse menimbulkan sensasi yang sedikit berbeda.

Perlahan aku bisa merasakan pergerakan pesawat yang mulai mengudara, ada guncangan sedikit. Namun, nggak ada apa-apanya dibandingkan guncangan lain yang sedang aku rasakan.

Tangan Ribel mulai merogoh celana yang aku kenakan. Aku menyesal hari ini mengenakan celana pinggang karet, hingga Ribel dengan mudah menyusupkan tangannya di sana.

Refleks aku mengerang ketika jarinya melesak masuk. Dadaku naik turun, dan mataku terpejam merasakan sensasi gila ini. Aku merebahkan diri ke dada bidang Ribel sambil menahan desahan.

"Tubuhmu selalu bereaksi tak terduga kalau aku sentuh begini. Dari awal pertemuan kita di Bali, aku sudah suka sikap berani kamu yang memintaku memijat payudaramu seperti ini."

Sebelah tangan Ribel kembali meremas dadaku. Dan tangan lainnya makin menggila di bawah sana. Kepalaku makin pusing dibuatnya.

"Jujur padaku, Din. Selain mantan suamimu yang menjijikan itu. Siapa saja yang sudah menyentuhmu?"

Aku tidak sanggup menjawab lantaran merasakan sesuatu yang hampir meledak di bawah sana. Hanya gelengan kepala sebagai jawaban.

"Jangan bohong."

Jari Ribel menekan keras di sana, membuatku refleks mendesah. "Ng-nggak ada se-selain Baary." Sedikit lagi aku sampai. Tapi ....

Tiba-tiba Ribel melepas tangannya.
"Kita sudah bisa melepas seat belt."

"Brengsek!" umpatku kesal. Padahal sedikit lagi klimaksku sampai, tapi dengan tidak berperasaan Ribel malah menjauhkan jemarinya.

Wajahku memanas menahan kesal. Namun, si brengsek itu malah tertawa. Aku bergerak menjauh saat dia melepas sabuk pengaman dan kembali ke kursiku sendiri. Sumpah, ubun-ubun ini rasanya mendidih. Kalau saja bisa, aku akan membunuhnya sekarang juga.

"Janji dulu, nggak akan menemui Bagas. Maka akan aku buat kamu puas sampai menjerit-jerit," katanya lagi lantas tertawa menyebalkan.

Aku bersedekap tangan dan membuang muka. Melempar pandangan ke jendela pesawat. Makin kesal mendengar tawanya yang masih saja menggelegar.

"Aku harus cuci tangan, sebentar lagi kita makan siang." Ribel beranjak berdiri, lalu berjalan menjauh.

Kesempatan itu aku gunakan untuk melempar punggungnya dengan bantalan sofa. Alih-alih marah, dia malah makin terpingkal. Sialan!

B E R S A M B U N G




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro