Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8 : Duka dan Hak Waris

Kamar rawat inap dalam pandangan mata Ayana--yang baru saja sadar dari pingsan--tampak samar dan sepi. Tempat ia berbaring tak seempuk spring bed miliknya, bau disinfektan pun menyeruak penciuman, membuat dadanya tiba-tiba sesak.

Televisi yang tergantung di depan ranjang, menampilkan bayangan Ayana yang telah memakai piama pasien. Tubuhnya yang setengah tertutup selimut bergaris biru-putih, masih terasa sakit di beberapa bagian akibat latihan beratnya beberapa waktu lalu.

Sejenak ia mulai mengingat-ingat apa yang terjadi, sampai dirinya terbaring di kamar tersebut. Setelah beberapa menit, air mata mulai membanjiri pipi.

"M-mama, Papa, Opa," ratap gadis itu di tengah isaknya.

Ketukan lembut terdengar, Mbok Win yang duduk diam di tepi ranjang membukakan pintu untuk seseorang.

"Om Damar?" panggil Ayana lirih. Ia baru menyadari setelah semua yang terjadi, kini Damar adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki.

"Ayana." Damar berjalan cepat dan memeluk kepala gadis yang dulu sering ia gendong itu. "Bersabarlah. Kamu juga nggak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Biar Om yang urus pemakaman. Kamu tenangkan diri dulu, ya."

Tangis gadis dalam dekapan Damar pun pecah. Ia memang tidak terlalu dekat dengan laki-laki tersebut, tetapi hari ini ia tidak tahu harus menumpahkan kesedihan kepada siapa selain kepada pamannya itu.

"O-om Damar? Aya mau keluar dari sini. Aya mau lihat wajah papa, juga ingin memeluk mama untuk terakhir kali." Selagi berkata, Ayana merasa kepalanya seperti berputar tangis pun kembali tumpah.

Pria itu dengan sabar menenangkan keponakannya. Ia berusaha tampak tulus saat mengelus punggung gadis itu.

Setelah Ayana sudah sedikit tenang. Pria itu mulai berbicara serius.

"Maaf, Sayang. Mungkin ini bukan waktu yang tepat bagimu. Namun, perusahaan tidak dapat berhenti beroperasi. Jadi, Om, harus segera mendiskusikan beberapa hal denganmu sekarang."

"Tentang apa?" Ayana menghapus air mata dan menatap Damar dengan mata yang sembap.

"Sebagai pewaris, maka otomatis kau adalah pemimpin selanjutnya. Namun, jika sekarang belum dapat melakukannya, aku dapat menggantikan dirimu sementara waktu. Setelah itu, kita bisa minta persetujuan dewan direksi untuk kelanjutannya, apakah kau dianggap mampu untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan ayahmu, atau kau bisa mendelegasikan kepada orang yang kau percaya. "

Ayana menatap mata kelam laki-laki di hadapannya. Selama ini, hanya sedikit yang gadis itu ingat tentang pamannya itu. Sebab keduanya tidak terlalu sering bertemu kecuali urusan keluarga. Ia tak menyangka perusahaan begitu kejam dengan langsung mengambil keputusan di saat warna duka masih menyelimuti perasaan.

Ia tidak sedang kehilangan satu orang dalam keluarga, tetapi tengah kehilangan tiga orang paling dipercaya sekaligus. Gadis itu bahkan tidak tahu, masih sanggupkah dirinya berjalan melanjutkan hidup besok tanpa ketiga orang tersebut di sisinya.

"Apa keputusan harus dibuat secepat ini, Om? Aku masih ...." Kerongkongan gadis itu terasa kering karena terlalu banyak menangis. 

"Om, paham. Tapi, perusahaan bisa kehilangan kepercayaan dari klien kalo kita tidak segera bertindak. Selain itu, harga saham bisa turun akibat hal ini."

Ayana terdiam. Menyadari inilah dunia bisnis yang telah dijalani keluarganya selama lebih dari 40 tahun. Seperti dulu ia pernah mendengar kalimat, "Bisnis ya bisnis, dalam bisnis tidak mengenal kata keluarga dan teman." Dulu ia bertanya-tanya apa makna di balik kalimat pedas tersebut, sekarang ia baru memahaminya.

Damar membuka tas, kemudian menunjukkan surat warisan dengan catatan Ayana adalah pewaris tunggal aset yang dimiliki ayah dan ibunya. Lalu dalam perusahaan, gadis itu akan memiliki besaran saham 40%. Namun, untuk dapat menerima saham, keuntungan perusahaan, dan keseluruhan aset milik kakeknya, ia harus menikah saat usianya menginjak 25 tahun.

Ayana terbelalak saat membacanya. "Apa! Menikah? Ini ... apakah benar Opa yang buat? Waktu itu, aku juga memiliki kontrak dengannya sebelum bekerja di kantor. Isinya bukan seperti ini."

"Surat ini dibuat oleh Papa dua hari sebelum kecelakaan. Jadi kontrak yang dibuat sebelumnya jelas tidak berlaku lagi. Di sini dikatakan, jika tidak menikah di usia yang ditentukan maka kau tidak berhak atas perusahaan. Warisan yang didapatkan hanyalah rumah beserta isinya saja."

"T-tapi, waktunya kurang dari dua tahun lagi. Rasanya enggak mungkin Opa seperti ini? Lagipula apa hubungannya menikah dengan mewarisi perusahaan?" Ayana jelas protes terhadap isi surat warisan yang merugikannya itu.

"Nyatanya surat ini telah ditandatangani oleh kakekmu. Kau tahu, kadang Papa punya pemikiran yang tak disangka-sangka." Damar memandang Ayana dengan senyum miring yang tersungging.

"Aku tidak habis pikir. Ini seperti sudah direncanakan sebelumnya. Ada yang aneh di sini." Ayana berkata lirih hingga hanya dirinya yang mendengar.

"Baiklah, pakai waktu yang tersisa sebaik mungkin. Aku serahkan urusan jodoh di tanganmu. Isi surat ini sudah jelas. Jika kau tidak menikah saat tenggat yang diberikan, maka saham opamu akan didonasikan."

Kepala gadis itu semakin pusing, bagaimana mungkin kakeknya bertindak seperti ini tanpa bicara dulu dengannya. Urusan menikah bukanlah bisnis. Ini tentang menjalani kehidupan bersama seseorang yang dicintai seumur hidup. Sedang ia hanya memiliki satu orang yang dicintai selama ini.

Ayana tidak pernah memusingkan masalah harta. Akan tetapi, isi surat wasiat itu bagaikan hukuman untuknya.

"Jangan khawatir, Aya. Kalau pun kau tidak bisa menikah, kau masih bisa memiliki mobil dan rumah. Rumah itu jika diuangkan--"

"Stop, Om! Please. Apakah setelah ini hidupku tergantung pada uang?" Ayana menatap laki-laki yang dikiranya bisa dijadikan sandaran setelah orang tuanya meninggal itu.

"Hidup memang tidak tergantung pada uang, Keponakanku Sayang. Tapi, semua butuh uang dan uang hampir bisa membeli segalanya."

Ayana bergidik, dulu gadis itu pernah melihat Damar dan ayahnya cukup akrab. Namun, pertengkaran hebat dengan Tirta, membuat laki-laki di depannya ini hampir tak pernah muncul lagi di rumah besarnya. Gadis itu sedikit meragukan isi surat warisan yang dibawa Damar.

"Om, apakah Om Damar tidak bersedih atas kematian Opa dan Papa? Walau bagaimana pun mereka adalah keluarga Om Damar." Ayana penasaran dengan reaksi sang paman.

Damar menatap gadis yang seakan sedang mengujinya itu. "Sedih tentu saja sedih, tapi setiap kereta harus berjalan sesuai relnya. Maka, aku memilih menjalankan perusahaan dengan baik." 

Laki-laki itu menjawab dengan santai pertanyaan gadis itu, dan lagi-lagi diiringi dengan senyum miring yang memuakkan.

Ayana terkejut, nada yang diperdengarkan oleh Damar sangat dingin dan tidak nampak kepedulian atas kematian ketiga orang terdekat bagi Ayana.

"Aku ingin menyelidiki kematian Opa. Apakah benar murni kecelakaan atau ada unsur kesengajaan? Apakah Om sudah lapor polisi?"

Damar tampak bingung. Ia sempat terkejut gadis yang dikiranya masih bocah ingusan itu terpikir untuk melakukan penyelidikan.

"Untuk apa? Ini jelas murni kecelakaan. Sekarang kau lebih baik istirahat agar bisa menguburkan orang tuamu dengan baik."

"Benarkah? Kalau dari semua yang dipaparkan, Om Damar, sejak tadi mengenai siapa yang akan jadi CEO. Aku jadi curiga ada hal lain yang mungkin memicu penghilangan nyawa mereka." Ayana menatap sang paman dengan tajam.

"Kau anak kemarin sore, Aya. Tau apa tentang bisnis? Dulu waktu sedang krisis, Papa yang meminta bantuan, Om, agar perusahaan dapat terus berjalan dengan baik. Opamu itu, mempercayakan banyak hal penting hanya kepadaku."

Ayana termenung, ia bukannya tidak percaya kepada Damar. Akan tetapi, sikap defensifnya barusan membuat gadis itu berpikir agar tidak mempercayai laki-laki di depannya.

"Baiklah. Maaf, Om. Pikiranku sangat penuh sekarang. Apakah boleh aku menenangkan diri dulu? ... sebelum mulai memimpin perusahaan nanti." Ayana berkata sambil terus memperhatikan gerak-gerik Damar.

Pria itu tampak salah tingkah mendengar kalimat terakhir yang keluar dari gadis tersebut. Ia langsung buru-buru berkata, "Oh, tentu saja. Aku yakin kau butuh waktu lebih lama untuk itu. Aku siap mem-back up. Sekarang aku adalah saudara terdekatmu, Aya. Percayakan perusahaan itu kepadaku. Tenang saja." Senyum miring Damar kembali tersungging.

Ayana terpaksa ikut tersenyum sambil berterima kasih. Namun, di dasar hatinya ada perasaan yang menyuruhnya untuk tidak percaya begitu saja pada perkataan pamannya itu.

"Baiklah, Om. Aku minta waktu untuk berpikir."

"Silakan. Om, tau ini adalah masa sulit untukmu. Om, harap kau tetap kuat menghadapinya."

Ayana mengangguk dan segera saja ingatannya terhadap obrolan terakhir--tentang orang kepercayaan--dengan sang ibu kembali terngiang. 

Apa Mama sedang meninggalkan wasiatnya saat itu?

Cairan bening kembali luruh dari mata Ayana yang sembap.

Dari luar, Ezra dan Agam--yang datang menjenguk Ayana--mengetuk pintu. Keduanya telah mendengar berita mengejutkan yang mengakibatkan kematian keluarga gadis tersebut.

Mbok Win membuka pintu dan melongokkan kepala. Sedang Damar segera membereskan isi tasnya guna meninggalkan kamar rawat.

"Non, ada Mas Ezra dan Agam," lapor wanita setengah baya itu.

Ayana menghapus air mata, tetapi dirinya saat ini tidak ingin bertemu siapa pun. Ia memalingkan wajah ke jendela kaca besar di sebelah kanannya.

"Aku tidak ingin menemui siapa pun saat ini, Mbok."

Mbok Win mengangguk dan memberitahu kedua pria yang masih menunggu di luar.

"Ezra dan Agam, itu siapa?" tanya Damar dengan suara pelan kepada Ayana sebelum keluar ruangan.

"Hanya teman," jawab Ayana yang masih memandang keluar jendela.

"Kenapa tidak dibiarkan masuk, bertemu teman akan memulihkan dirimu, Aya."

"Aku tidak ingin bertemu siapa pun sekarang."

"Kalau begitu. Biar aku yang akan menemui mereka." Selesai berkata, Damar pun keluar. 

Sepeninggal semua orang dari dalam ruangan. Ayana kembali menangis, bahunya berguncang keras. Ia berusaha melerai duka yang seakan sedang memeras hatinya.

= = = = = = = 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro