Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 : Ezra Masaid

Hari ini, Ayana harus memulai sandiwaranya sebagai karyawan magang, bukan seorang pewaris. Ia ingin belajar dari dasar, di tempat dirinya akan lebih dekat dengan pondasi perusahaan.

Itu sebabnya gadis itu menolak pergi bersama sang ayah dan lebih memilih menggunakan taksi untuk datang ke kantor. Lagi pula, seorang karyawan magang tidak mungkin masuk kantor diantar oleh CEO perusahaan, bukan?

Tahun ini, Perusahaan Nila Paint telah merekrut tiga orang karyawan magang, salah satunya tentu saja Ayana. Dua orang lagi, katanya lulusan universitas negeri bergengsi di kotanya dan memiliki kemampuan formal dan informal yang mumpuni, paling tidak itulah yang tertera dalam daftar riwayat hidup keduanya.

Hanya Ayana yang tidak perlu memberikan curriculum vitae, surat lamaran, beserta lampiran berkas lainnya. Ia bekerja lewat jalur ekspres, jadi tidak satu pun karyawan yang tahu kapabilitasnya.

Walau begitu, ia tetap harus menjalani masa percobaan selama tiga bulan sebelum dikontrak selama dua tahun ke depan. Sama seperti yang lain. Setelah itu mereka akan menjalani tes khusus, jika berkompeten baru akan diterima sebagai karyawan tetap pada tahun ketiga. Untuk Ayana, jelas akan langsung diterima tanpa syarat. Segala tetek bengek ujian dan lain sebagainya, hanyalah formalitas untuknya.

Pagi itu, Ayana jelas belum terlambat. Waktu berkumpul di ruang general affair--fungsi umum dan personalia--masih 15 menit lagi. Ia memasuki gedung bertingkat sembilan lewat pintu utama. Gedung tinggi itu, tidak semuanya merupakan kantor ayahnya, beberapa lantai disewakan ke perusahaan lain. Kantor pusat manajemennya sendiri berada di lantai tujuh.

Ayana berjalan dengan percaya diri menuju area lift. Ketika hendak memasuki lift di sebelah kiri yang kebetulan pintunya terbuka saat ia masuk, lengan seorang satpam menghalangi langkahnya.

"Maaf, silakan tunjukkan tanda pengenal."

Tatapan sang satpam membuat Ayana tak nyaman. Ia menjawab dengan terbata-bata, "S-saya karyawan magang di perusahaan Nila Paint, Pak."

"Oh, kalau begitu silakan isi formulir dulu dan mendapatkan pas masuk sementara di resepsionis." Sang satpam menunjuk meja panjang di sisi kanan area lift.

"Baik." Ayana hampir saja mengomel, tetapi dirinya ingat harus berpura-pura sebagai bukan anak pemilik perusahaan. Lagipula sang satpam dianggapnya telah menjalankan tugas dengan baik.

Kalau aku sudah jadi CEO nanti, si satpam gue kasih naik jabatan, deh, karena telah bekerja sesuai SOP--Standard Operating Procedure. Ayana tersenyum-senyum.

"Ini pasnya, Pak." Ayana menunjukkan tanda masuk kepada sang satpam yang masih berjaga di depan lift.

"Bagus. Sekarang kamu bisa naik lewat tangga darurat di sebelah sana!" tunjuk sang satpam ke area belakang gedung tanpa dosa.

"Lho? Kok, naik tangga?" Ayana jelas terkejut.

"Lift hanya untuk para staf, karyawan tetap, dan tamu. Mohon maaf," jelas sang satpam tanpa memandang lagi, ia langsung mendorong Ayana ke samping kiri dan mempersilakan orang lain--yang sedari tadi berdiri di belakang gadis itu--untuk memasuki lift.

"Tapi, Pak. Saya harus ke lantai tujuh?" erang gadis itu setengah kesal.

Ayana tak punya pilihan lain selain menaiki anak tangga dengan pelan, sebab hari itu ia menggunakan sepatu high heels setinggi 7 cm. Mana disangka pada hari pertama bekerja, dirinya harus naik tangga tujuh lantai. Gadis itu kesal karena harus berkeringat padahal belum mengerjakan apa-apa.

Bibirnya menggerundel panjang-pendek, sesekali kakinya dientak ke anak tangga yang tak bersalah. Ia menyalahkan ayahnya yang tak pernah bilang ada peraturan khusus bagi karyawan magang untuk tidak boleh menggunakan lift. Ia pastikan dirinya akan protes keras kepada sang ayah pulang nanti.

Napas gadis itu sudah hampir habis. Keringat semakin membanjiri kening, pipi, sampai dagunya. Ia merasa percuma saja tadi menggunakan riasan walau hanya sedikit. Tisu yang digenggamnya hampir jadi remah dalam beberapa menit saja.

Sesekali Ayana berhenti sejenak seraya menatap anak tangga yang melingkar seperti tak habis-habis. Ia kini baru berada di lantai tiga. Gadis itu pun terpaksa mencopot sepatu dan menaiki tangga tanpa alas kaki.

"Sial! Tau gitu gue ikut papa aja. Kejam amat peraturan kantor ini untuk anak magang? Apa papa tahu, ya?" Ayana mengoceh sendiri, napasnya kian sesak karena kebanyakan mengomel.

Jika bukan karena perjanjian dengan sang kakek, Ayana sudah sejak tadi ingin pulang saja. Namun, ia paksakan kakinya melangkah meski terasa semakin berat.

Beberapa menit kemudian gadis itu sedikit lega, karena telah dapat melihat pintu keluar menuju lantai tujuh. Satu lantai lagi. Gadis itu kini menyemangati diri dalam hati.

Dari belakang, terdengar suara langkah kaki berlari. Ayana menyingkir setelah suara derap semakin dekat dengan tetap berpegang pada railing--kakinya mulai gemetar. Orang yang tadi berada di belakang, kini telah berlari cepat melewatinya. 

Sepertinya ia juga terlambat.

Ayana merasa punggung laki-laki itu mirip dengan seseorang, tetapi ini bukan saatnya untuk mengingat-ingat. Ia masih harus fokus dan berusaha untuk tidak pingsan. Tinggal beberapa langkah lagi hingga ia bisa masuk ke lorong lantai tujuh. 

Setelah meredakan detak jantung yang kencang, ia mampir ke toilet sebentar sebelum mencari ruang pertemuan. Sekeluarnya dari toilet, ia berbelok ke kanan dan mengikuti papan petunjuk. Dalam beberapa menit, akhirnya gadis itu menemukan ruang yang dituju. Sebelum masuk ia melirik arlojinya, terlambat 10 menit. 

Apa boleh buat.

Gadis itu mengetuk pelan pintu dari kayu bertuliskan Ruang Rapat 3. Seseorang di dalam mempersilakannya untuk masuk. Ia lalu membuka pintu dan mendapati dua orang magang yang lain sudah berdiri di tengah ruangan, membelakanginya. Ia memilih berdiri di samping pria--yang tadi melewatinya--sebab area situ masih cukup lebar untuknya berdiri.

Pria di sebelah Ayana, tampak masih mengatur napas yang memburu. Gadis itu merasa penasaran dengan wajahnya. Ia menengok ke samping dan ....

"Ezra Masaid!"

Laki-laki itu menengok saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang telah lama tak didengarnya.

"Aya? Kok?"

Laki-laki itu menatap sekeliling. Ezra jelas merasa heran kepada gadis yang berada di sampingnya. Ayana yang dulu menolak bertemu lagi dengannya kini sedang menegur dirinya. Penolakan gadis itu yang menyebabkan Ezra memutuskan mendaftarkan diri di perusahaan milik keluarga Ayana. Berharap bisa bertemu lagi dengan gadis yang dirindukan. Hanya saja, ia tak menyangka akan bertemu dalam kondisi keduanya menjadi karyawan magang.

"Eh, elo, kan?"

Mulut laki-laki yang mengenakan formal shirt berwarna putih itu, membuka hendak bertanya lebih jauh. Namun, pintu terbuka dan beberapa orang staf memasuki ruangan. Ayana segera memberi kode melalui matanya agar Ezra tidak membongkar kedoknya.

"Gue bakal ceritain nanti," lirihnya sambil membenarkan posisi berdiri.

Ezra terdiam dan mengangguk, hatinya sedikit lega karena gadis itu mau bicara dengannya lagi. Ternyata harapannya terkabul, di hari pertama berada di perusahaan Nila Paint ia sudah dapat bertemu dan bicara dengan Ayana.

= = = = = = = = = 

Ezra Masaid = Teman Tapi Mesra

= = = = = = = = =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro