Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 : To be or Not To be

Setelah akhirnya tertidur jam dua pagi karena memikirkan banyak hal. Ayana pun baru terbangun jam delapan keesokan harinya. Ia langsung terkejut menatap jam weker dan berlari ke kamar mandi, kemudian balik lagi ke kamar karena handuknya ketinggalan. Ia mandi secepat kilat sampai hampir lupa sikat gigi.

Selagi menatap pantulan diri di cermin yang berembun seraya menyikat giginya. Pikiran Ayana terlempar kembali pada tawaran Gilang. Ia menepuk keningnya yang setengah basah karena terlalu gila sampai menawarkan hatinya kepada laki-laki itu.

Ia bukannya terburu-buru. Hanya saja waktu terus berjalan dan hubungannya dengan laki-laki itu masih saja jalan di tempat. Tenggat waktu umur 25 tahun tak terasa tinggal hitungan bulan. Memang belum saatnya panik, tetapi ia ingin serakah dengan menginginkan Gilang.

"Semoga aja laki-laki itu nggak mikir gue cewek gampangan." Ayana meludah dan berkumur. Kemudian baru ingat hari ini ia tak perlu ke kantor. Tampangnya langsung lemas karena menyesal sudah telanjur mandi.

Gadis yang menggulung rambutnya dengan handuk itu kembali menepuk keningnya yang sedikit lebar dan licin. Persis seperti kakek dan ayahnya. Ia baru sadar Om Damar sama sekali tidak mirip dengan mereka, kulit Om Damar lebih gelap, rambutnya pun sedikit ikal. Tidak seperti rambut mereka sekeluarga yang lurus.

"Apa Oma dulu mirip dengan Om Damar?"

Ayana berpikir seraya kembali ke kamarnya dan kembali bergelung di balik selimut. Cuaca hari ini memang cocok untuk kembali tidur, gerimis di luar membuat suasana pagi cukup dingin.

Ketukan di pintu membuat Ayana memutar bola matanya. Sejak jadi CEO ia bahkan hampir tidak memiliki waktu libur, apalagi Ezra yang ia tugaskan menjadi sekretaris ternyata sangat perfeksionis.

"Masuk," seru Ayana kepada entah siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

Kepala Ezra muncul setengah di balik pintu. "Pagi, Bu Ayana. Apakah Anda sudah berpakaian lengkap?" Pria itu menanyakan hal absurd, sebab kejadian sebelumnya sampai terbawa mimpi dan jangan sampai terulang lagi.

"Katanya gue boleh libur hari ini? Gue mutusin buat healing barang sehari, Za." Ayana merengut di balik selimutnya yang hangat.

"Iya, gue tau. Gue cuma mo kabarin sedikit hal aja." Ezra duduk di kursi samping nakas dan menariknya lebih dekat ke pembaringan. Pria itu langsung membuka gawainya.

"Kan, lo bisa chat aja atau telepon? Kenapa mesti ke sini?" Ayana terpaksa duduk dengan tegak.

"Gue sekalian mau lihat kondisi elo. Gue khawatir banget sampai nggak bisa tidur tau enggak?" Ezra langsung berubah menjadi moda ngeselin seperti biasanya.

"Kalo gitu, liat baik-baik. Gue nggak apa-apa, kan?" Ayana merentangkan lengannya dan memiringkan badan ke kiri dan kanan. "Masih sehat dan lengkap."

"Paling enggak gue udah lihat, kan. Oh, iya. Jadi serius si Agam lo jadikan pengawal pribadi? Lo enggak bermaksud jadiin ini ajang balikan, kan?"

"Enggak, lah. Soalnya gue takut kalo pakai jasa orang lain. Mana tahu orangnya mesum? Paling enggak sedikit-banyak gue udah paham karakter si Agam."

"Jadi, lo yakin si Agam enggak bakal mesum?"

"Yaaa, setidaknya gue kenal kalian. Lo paham, kan, kalo gue harus ketemu orang asing itu rada gimana gitu?"

Ezra merasa sedikit keberatan, tetapi laki-laki itu hanya mendesah. "Iya, iya. Paham. Lo itu harusnya coba untuk sedikit demi sedikit belajar dalam keramaian, ketemu orang baru, jadi lo nggak gaulnya sama kita-kita terus."

"Gue bukan nggak bisa ketemu orang baru, Za. Cuma gue ngerasa kurang nyaman ngobrol sama mereka yang gue nggak kenal deket. Lo, kan, tau gue nggak bisa berbasa-basi busuk apalagi harus berpura-pura perhatian. Aduhhh, nggak banget. Paling tidak dengan kalian berdua gue ngerasa nyaman, itu aja."

"Jangan terlalu nyaman, gue khawatir lo nanti jatuh cinta."

"Apaan, sih." Ayana menatap laki-laki yang berpura-pura menatap ponselnya.

"Ya, udah. Gue udah nyuruh si Gilang buat tinggal di sini, eh, tepatnya di kamar tamu. Terus, berhubung gue lebih khawatir kalian macam-macam, gue juga ikut tinggal di sini. Kamar tamu lo, kan, banyak." Ezra terkekeh puas.

"Apa!" Ayana menatap pria itu dengan pandangan tak percaya.

Ezra acuh dan langsung membacakan jadwal kegiatan Ayana dengan tanpa ekspresi. Ia sengaja mengabaikan Ayana yang masih menatapnya menuntut penjelasan. "Jam sembilan nanti, Pak Damar mau ke sini, katanya ada masalah penting yang mau disampaikan."

"Eh, apa? Masalah penting apa?" Ayana pun teralihkan dengan berita yang disampaikan Ezra.

"Kita lihat aja nanti, btw, gue udah bawa barang dan si Agam juga udah jalan ke sini. Bentar lagi dia nyampe."

Ayana ternganga, ia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya mengatup dan terbuka seperti ikan yang jatuh di lantai.

Satu jam kemudian, Damar telah duduk di atas sofa yang dulu diduduki Ayana dan kakeknya sebelum ia mulai bekerja di perusahaan keluarga. Miris, sebab kali ini Ayana pikir laki-laki yang dipanggil 'om' itu akan membawa kabar mengenai apa yang disuruh olehnya tempo hari.

"Jadi, apakah Om Damar sudah menyelidiki tentang penyebab kematian--"

Damar memotong pembicaraan wanita yang sudah berganti menggunakan flared skirt 3/4 berwarna abu-abu dan dipadu dengan kaus v-neck tanpa lengan berwarna biru dongker sebagai atasan. Kardigan sewarna rok menutupi bahunya yang cukup lebar.

"Om, masih menyelidiki hal itu. Walau sampai saat ini kesimpulan masih sama, penyebab kematian Papa dan kedua orang tuamu adalah murni kecelakaan."

"Lalu, apa berita penting yang ingin Om sampaikan, sampai-sampai harus menyampaikan sekarang di saat aku mengambil cuti?" Ayana otomatis menyilangkan lengan di depan dada.

"Maaf, aku mendengar kejadian semalam. Om, ke sini karena khawatir."

Ayana terkesiap. Ia heran bagaimana pria itu tahu kejadian semalam? Seingatnya hanya Agam dan Ezra yang tahu. Namun, gadis itu memilih untuk tetap diam dan bersikap tidak tahu apa-apa.

"Seperti yang, Om, lihat. Aku nggak apa-apa. Hanya orang gila yang kabur ketika aku sudah enggak sendirian. Pengecut!"

"Syukurlah." Damar berkata pendek yang sebetulnya ekspresi kekesalannya.

"Apakah itu saja? Sebab aku hendak menikmati hari libur." Ayana tidak ingin berbasa-basi dengan pria itu lagi.

"Ah, iya. Om, ingin membantumu perihal pernikahan."

Ayana mendelik. "Apa yang bisa Om bantu dari situ?"

"Om, pikir mungkin kamu butuh rekomendasi pria yang cocok untuk kau jadikan suami, berhubung waktu juga masih cukup lama. Om, sarankan untuk bertemu dalam acara makan malam, misalnya."

"Apakah, Om, pikir aku terlalu payah dan tidak punya kemampuan mencari calon suami sendiri?"

"Bukan begitu, anggap saja sebagai saran. Om, juga tidak ingin menjodohkanmu dengan sembarang pria, sebab pria itu nantinya akan menjalankan kewajibannya sebagai pendamping penerus perusahaan keluarga."

Ayana sudah malas menanggapi apa yang disampaikan selanjutnya oleh pria yang tak lagi mendapat simpati dari gadis itu. "Terima kasih, Om. Tapi, aku sudah punya calon. Aku memang sengaja belum bilang ke siapa-siapa, karena waktunya juga masih lama, kami juga masih penjajakan."

"Oh, ya? Kok, nggak bilang-bilang? Siapa dia?"

"Izinkan saat ini, informasi itu masih menjadi lahan privasi. Jika sudah memiliki progres maka saya pastikan Om Damar akan tahu dari saya langsung, bukan dari orang lain."

"Ah, baiklah-baiklah. Tapi, sebagai bahan pertimbangan atau mungkin rencana B, barangkali kau mau melihat beberapa profil calon yang Om sudah pilihkan untukmu."

"Please, Om. Tidak perlu."

"Hanya sebagai saran, Om, tidak akan mencampurinya." Damar meletakkan map yang berisi beberapa portofolio. "Om, pamit. Jika kau senggang bacalah satu atau dua. Oke!"

Ayana tersenyum simpul lalu berdiri dan diikuti Damar yang juga berdiri. Keduanya berbasa-basi sejenak di depan pintu, lalu laki-laki itu pun memasuki mobil dan pergi. Gadis itu pun bernapas lega. Entah mengapa ia tidak pernah bisa akrab dengan pria yang telah menjadi satu-satunya keluarga yang dimiliki itu.

Belum lagi pintu tertutup rapat. Ayana melihat mobil BWM X7 berwarna hitam pekat yang dikenalnya, berpapasan dengan kendaraan milik Damar dan berhenti di pekarangan.

"Gilang!" Ayana segera berlari ke dalam rumah dan berteriak memanggil Ezra dan Agam.

= = = = = = = = =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro