Bab 11 : Menangislah!
Taman pemakaman milik keluarga Abimanyu sudah cukup ramai. Lahan seluas satu hektar yang terletak di pinggiran kota itu, kini dipenuhi keluarga besar, rekan kerja, dan klien yang pernah bekerja sama dengan perusahaan Nila Paint.
Apalagi cuaca cerah seakan hendak mengantar kepergian Tirta, Dimas, dan istrinya dengan suasana terbaik. Deretan bangku berbalut kain putih mengisi area kosong tepat di sebelah kanan liang lahat milik Tirta. Sedang podium tempat pemimpin upacara pemakaman ditempatkan di tengah-tengah.
Suara ambulans yang membawa ketiga jenazah baru saja tiba memasuki parkiran, menyayat hati bagi mereka yang merasa sedih atas kepergian ketiga orang tersebut. Beberapa pelayat yang sudah datang segera berdiri dari tempat mereka duduk demi menghormati mendiang Tirta dan keluarganya. Sedang beberapa petugas pembawa keranda bergegas mendekat menyambut.
Ezra dan Agam sudah sejak pagi datang ke pemakaman tidak menemukan Ayana di manapun. Mereka celingak-celinguk mencari di tengah keramaian pelayat yang terus berdatangan. Juga bertanya-tanya dengan kumpulan keluarga dan pekerja perusahaan mereka, tetapi tak satu pun yang melihat keberadaan gadis tersebut.
"Ke mana, sih, anak itu?" tanya Agam dengan napas memburu sebab berlari mendekati Ezra yang tengah sibuk mencari-cari di sudut yang lain.
"Enggak tau! Padahal gue tadinya mau jemput, tapi dia bilang bakal dateng sendiri. Eh, udah jam segini belum muncul juga. Di telepon juga nggak aktif." Ezra memegang dadanya yang sedikit sesak sehabis lari ke sana ke mari.
Keduanya mulai resah, mata mereka masih mencari. Agam bahkan meminta beberapa rekan sesama sekuriti untuk menginformasikan kepadanya, jika gadis itu datang.
Di sudut lain, Damar tampak puas ketika tidak menemukan bayangan Ayana di pemakaman.
Istrinya berbisik pelan di telinga laki-laki itu, agar tidak terdengar oleh pelayat lain. "Mana si Ayana?"
Damar mengangkat bahu seraya menatap wajah istrinya, ia menjawab pertanyaan sang istri dengan balik berbisik di telinganya. "Dengan tidak datang di pemakaman, akan membuat penilaian dewan direksi kepadanya semakin buruk."
Wanita di samping Damar tersenyum samar. Ia sangat puas dan berharap gadis itu akan semakin terpuruk saja. Sedang laki-laki yang kembali berdiri tegak itu, memperlihatkan senyum miringnya.
Sebetulnya, Ayana sudah sejak tadi datang, tetapi gadis itu malah merasa pusing dengan banyaknya orang yang hadir. Ia kemudian melipir dari dekat podium menuju parkiran sebelum upacara dimulai.
Gadis yang hari itu memakai dress hitam selutut dengan model baby doll, membiarkan angin mempermainkan rok be-rempel-nya saat berjalan cepat. Ia benar-benar tak sanggup kalau harus terus berada di sana.
Saat ambulans datang membawa jenazah orang-orang tercintanya, Ayana hampir saja menjerit dan menutup telinganya rapat. Ia mencoba kuat dengan bersandar pada pohon paling besar di area pemakaman itu.
Matanya terus-terusan basah saat melihat tiga peti mati yang diletakkan berjejer. Ia tak kuat lagi dan berjalan sempoyongan sampai ke luar area pemakaman. Entah mengapa hati gadis itu bagai kosong. Pandangannya pun semakin kabur akibat air mata yang tak berhenti mengalir hingga pipi dan dagu, juga kesedihan yang terlampau berat untuk dirinya tanggung sendiri.
Dalam keadaan seperti itu, ia tidak memperhatikan jalan dan pingsan persis di depan sebuah mobil BWM X7 berwarna hitam pekat, yang baru saja berbelok masuk gerbang pemakaman.
Suara ban mobil yang mengerem mendadak adalah hal terakhir yang di dengar Ayana.
***
Gilang Rajendra menatap gadis yang sedang tergolek lemah di atas pembaringannya. Ia sangat bahagia, mendapati wajah gadis yang dulu membayangi hari-hari pria itu satu tahun terakhir masa SMA. Pertemuan mereka kembali saat rapat tempo hari, membuat debar yang sempat hilang kini kembali bertalu saat mata mereka sesekali mencuri pandang.
Laki-laki itu sebetulnya heran, mengapa gadis itu berada di acara pemakaman keluarga Abimanyu. Selain itu mata dengan alis lebat dan bulu mata lentik itu tampak sembap. Pipi pun basah dengan air mata saat pria itu menemukan Ayana yang tergolek tak berdaya di depan mobilnya.
Tadinya Gilang hendak membawanya ke rumah sakit, tetapi gadis itu menangis di tengah ketidaksadarannya. Sehingga di sinilah Ayana Paradista terbaring. Di dalam kamar apartemennya.
Laki-laki yang memiliki rahang tegas dan tajam itu, menghapus air mata yang masih terus mengalir dari sudut mata gadis yang bibirnya tampak pucat itu. Membuat kelopak mata Ayana mengerjap dan kembali menjatuhkan air bening yang seperti tidak mau berhenti.
"Kenapa kau masih menangis dalam tidur? Apa mimpimu begitu menyedihkan, Ay?" tanya Gilang dengan lirih. Ia tidak ingin membangunkan gadis itu, sebab laki-laki tersebut yakin kini ia hanya tidur.
Bunyi kerincing yang berasal dari kalung kucing, datang dari arah pintu yang setengah terbuka. Mata Ayana kembali mengerjap, tubuhnya bereaksi terhadap suara sesuatu yang semakin mendekat. Gilang meraih anak bulu yang menaiki tempat tidur dan melingkar nyaman di pangkuan pria itu. Kucing itu mengeong menatap Ayana. Mata Ayana kembali mengerjap dan terbuka pelan.
"Kau sudah bangun?" Gilang menggeser duduknya lebih dekat dengan masih memangku kucingnya.
Ayana mencoba bangkit, tetapi Gilang melarangnya dan mengambil bantal tambahan agar kepala gadis itu dapat lebih tinggi.
"Kak Gilang? Aku di mana?" tanya Ayana dengan suara parau.
"Di rumahku. Tadi kamu tiba-tiba pingsan dan aku membawamu ke sini."
"Ah, maaf, Kak. Jadi merepotkan. Saya izin pulang sekarang." Ayana mencoba bangkit lagi.
Gilang kembali menahan tubuh gadis itu agar tetap berbaring. "Wajah kamu pucat begini, dari tadi kamu juga nangis terus pas tidur. Ada apa, sih? Apa keluarga Abimanyu juga keluargamu?"
Ayana terdiam. Ia belum ingin membuka identitas dirinya di depan Gilang. Sedang pikirannya hanya memiliki satu alasan yang paling mungkin untuk dikatakan.
"A-aku, ehm, anu. Kakak, kan, tau aku adalah karyawan magang di perusahaan Nila Paint. Kebetulan keluarga Abimanyu sudah sangat baik padaku, seperti orang tua sendiri. Jadi mendengar kematian mereka sangat membuatku sedih." Ayana memalingkan wajah, demi agar kebohongannya tidak terbaca dari mata yang hendak mengeluarkan lagi butiran bening setiap ia memikirkan kakek dan orang tuanya.
"Begitu. Tenang saja, kau boleh pulang kalo sudah cukup kuat untuk berjalan. Sampai saat itu, kau boleh istirahat di sini."
Ayana mengangguk mengiakan. Lalu ia menatap kucing berbulu abu-abu khas British Shorthair.
Kucing dalam pangkuan Gilang itu mengeong, membalas tatapan gadis itu. Tangan Ayana otomatis membelai kepala kucing tersebut--yang bangun dari pangkuan Gilang-- lalu pindah ke sisi gadis yang tersenyum lemah melihat tingkah makhluk yang menggemaskan itu.
"Sophie, kau selingkuh dariku?" Gilang menatap kucingnya dengan nada marah yang dibuat-buat. Membuat Ayana tersenyum.
Melihat senyum yang mengembalikan warna merah muda di wajah gadis itu. Gilang pun balas tersenyum. "Dia ingin menghiburmu, Ay."
Ayana menatap sang kucing, jemarinya tak berhenti mengelus kepala Sophie yang kini mengeluarkan suara mendengkur.
"Terima kasih, Sophie."
Setelah meminum teh hangat dan camilan seraya bermain-main dengan Sophie, Ayana pun berpamitan. Gilang memaksa untuk mengantar gadis itu. Akan tetapi, Ayana menolak. Ia tidak ingin Gilang tahu ke mana dirinya pulang.
"Baiklah, kau bisa menghubungiku kapan saja atau kalau kau mau menengok Sophie, kau sudah tahu di mana rumahku." Tawaran Gilang tentu saja sangat menggoda. Ayana mengangguk dan berjalan keluar menuju lift di ujung lorong.
Ayana berjalan lambat di lobi apartemen, di mana beberapa orang tengah berkerumun di depan televisi besar. Dari layar terlihat upacara pemakaman Keluarga Abimanyu tengah berlangsung, gadis itu pun mematung. Matanya kembali tidak fokus. Bukannya pergi ke arah luar, Ayana malah kembali ke dalam lift.
"Ayana?" Gilang membuka pintu dengan wajah heran, karena melihat gadis itu berada kembali di depan pintunya sambil menangis tersedu-sedu.
Ayana sendiri bingung, bagaimana kakinya justru membawanya kembali ke dalam apartemen pria yang memiliki mata teduh dan senyum pernuh perhatian itu.
"A-aku. I-itu. Di luar sangat ramai, aku ingin keluar lewat area parkir saja. Tapi, malah kembali ke sini."
"Sudah aku bilang biar diantar saja tadi. Sekarang, apa kita makan siang bareng aja? Ada rumah makan enak yang menerima delivery order di dekat sini, kau mau?"
Gadis itu mau tidak mau mengangguk dan memilih menenangkan diri di tempat itu sejenak.
"Baiklah, pesankan juga untukku. Apakah aku boleh pinjam ponselmu? Aku lupa bawa tadi."
Gilang menyerahkan ponselnya dan Ayana menelepon rumah. Deringan demi deringan terdengar. Namun, tak ada satu pun orang yang mengangkat.
Ayana mendesah, "Mereka pasti masih di pemakaman."
"Siapa?" tanya Gilang sambil membuka kaleng makanan kucing.
"Anu, beberapa kolega kantor. Sepertinya mereka mungkin masih di pemakaman. Aku pikir mereka mungkin bisa menjemputku."
Gilang mengangguk dan menatap gadis itu. Perasaannya mengatakan kalau Ayana tengah menyembunyikan sesuatu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.
Sedang Ayana memperhatikan gerak-gerik pria yang sedang memberi makan kucingnya itu. Ia teringat pada pesan ibunya. Bahwa dirinya harus menjadi gadis kuat dan belajar percaya kepada orang lain.
"Bisakah aku mempercayainya?" lirih Ayana kepada dirinya sendiri.
Ia menatap ponsel milik pria itu dan akhirnya menelepon Ezra.
***
Kembali ke area pemakaman, Ezra dan Agam sedang merunduk sambil bicara berbisik-bisik.
"Ngapain lo di situ?" Ezra berbicara lirih dengan ponselnya, sambil menutup mulut dengan jemari. Berharap keterkejutannya tidak membuat para pelayat lain terganggu. Sedang Agam ikut mendengarkan obrolan dengan menempelkan telinga di ponsel yang dipegang Ezra.
"Panjang ceritanya, nanti gue ceritain. Selesai pemakaman lo jemput gue," jawab Ayana ikut berbisik agar Gilang tidak mendengarkan pembicaraannya.
"Ketidakhadiran lo di sini, bikin para dewan direksi gerah, tau, nggak! Di mata mereka lo jadi terlihat makin lemah. Rasa percaya mereka ke elo bakal semakin turun, Ay."
"Gue tau, tapi gue sungguh nggak sanggup, Za. Gue nggak bisa berhenti nangis."
"Ya, udah. Di mana rumahnya? Gue jemput sekitar satu jam lagi."
Ayana membisikkan alamat rumah Gilang. Sedang pria di seberang mengambil buku kecil yang selalu ada dalam kantongnya dan menulis dengan cepat sambil tetap menjepit ponsel di telinga.
"Oke. Satu jam. Tunggu di sana, jangan kemana-mana dan jangan macem-macem."
"Macem-macem gimana?" sahut Ayana hampir berteriak.
"Lo ngerti sendirilah. Gue harus matiin ponsel sekarang, Ay."
"Oke." Hati Ayana tiba-tiba kembali merasa sedih, tetapi kali ini ia berupaya sekuat tenaga agar air mata tidak kembali jatuh. Sekarang pasti acara pemakaman telah dimulai, Ayana merunduk sambil sekuat tenaga untuk tidak lagi menangis.
Agam mengambil ponsel dari tangan Ezra, lalu berkata cepat, "Ay, kehilangan seseorang memang menyakitkan. Menangislah! Enggak apa-apa. Berdukalah sekarang, tapi nanti kita bakal sama-sama berjuang. Oke!"
Ayana sesenggukan mendengar nasihat Agam. Ia menutup panggilan dan kembali menangis dengan keras. Ia gagal bertahan dan mencoba kuat. Gilang segera meletakkan Sophie yang baru selesai makan di atas sofa.
"Aku tidak tahu kesedihanmu sebesar apa, Ay. Buang image-mu. Menangislah keras sesukamu." Gilang langsung menarik kepala Ayana ke dalam pelukannya. Laki-laki itu hanya terdiam seraya menepuk-nepuk pundak gadis yang sedang membasahi kemejanya dengan air mata.
= = = = = = = = = =
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro