Bab 10 : Kembali ke Bawah Selimut
Di depan ruang rawat VVIP, beberapa karyawan dan kolega datang menjenguk Ayana sekaligus ingin menyampaikan bela sungkawa. Namun, gadis itu masih tidak mau menerima siapa pun untuk menemuinya. Ia malah menyembunyikan diri di balik selimut rumah sakit seraya memandang jendela dengan nanar.
"Non, ada Bu Tanti dan Pak Erwin." Mbok Win menyampaikan informasi selagi dirinya meletakkan karangan bunga dari beberapa vendor perusahaannya.
"Aku nggak mau ketemu siapa-siapa, Mbok. Aku, kan, sudah bilang dari tadi."
"Baik, Non." Mbok Win mengangguk dan kembali ke luar ruangan.
Ayana sedang kebingungan, ia tidak tahu bagaimana caranya memimpin perusahaan besar yang telah dirintis sejak akhir tahun 70-an itu. Ia merasa tidak mampu, tetapi untuk menyerahkan perusahaan dengan Damar, gadis itu justru ragu. Entah mengapa, sulit baginya untuk mempercayai setiap kalimat yang dilontarkan pria itu beberapa hari yang lalu.
Belum lagi masalah pernikahan yang terlihat dipaksakan. Seperti sengaja ada oknum yang ingin perusahaan Nila Paint tak boleh jatuh ke tangannya. Masalahnya ia tidak tahu harus ke mana mencari jawaban. Sedang gadis itu tidak mengenal seorang pun yang bisa dipercaya dalam menjalankan bisnis ini.
Selama berkecimpung di dunia kerja, ia telah melihat beberapa rekan bisnis keluarganya yang hanya memikirkan keuntungan dan investasi, ditambah saham yang mungkin merosot karena penggantian pimpinan yang dianggap tidak mumpuni. Ayana takut akan menghancurkan perusahaan Nila Paint melalui tangannya.
Selagi berbagai macam pemikiran berkecamuk. Gadis itu dikejutkan dengan pintu yang terbuka tiba-tiba. Di belakang pintu tersebut, wajah Ezra dan Agam muncul dengan senyum lebar ala mereka masing-masing. Satunya kenes sedang yang lain terlihat ramah.
"Hei! Kalian?" Ayana jelas protes.
"Halo Aya. Lo, kelihatannya baik-baik aja. Ngapain masih di sini?" Ezra bertanya sembari berjalan mendekati ranjang rumah sakit dengan senyumnya yang menawan, tetapi terkesan genit itu.
"Harusnya gue yang nanya, Za. Ngapain kalian di sini?" Ayana duduk dengan tegak sebab terkejut mendapat kunjungan mendadak itu .
"Jenguk elo, lah. Lo tega bener kita berdua juga sampe nggak boleh nengok. Salah kita apa coba?" Ezra bicara sambil memperhatikan wajah sahabatnya itu.
"Sori. Gue butuh waktu buat mikir. Sekarang kalian keluar aja," pinta Ayana seraya berpaling kepada Mbok Win yang berdiri di depan pintu. "Antar keduanya keluar dan pastikan sekuriti di depan mendapat teguran atas kelalaiannya."
"Kamu mau negur siapa, Ay? Yang jaga, kan, gue. Itu sebabnya gue biarin si Ezra buat masuk. Lagian lo aneh banget, deh. Kita berdua ini bukan orang asing." Kali ini Agam berkata santai seraya duduk di sofa.
"Maaf, Gam. Tapi, aku bener-bener butuh waktu sendiri. Ada sedikit masalah perusahaan sepeninggal Opa dan Papa." Ayana masih berusaha mengusir kedua pria itu.
"Kalo sedikit, kenapa kita sampai dilarang masuk? Padahal lo bisa cerita ke kita, biar bisa mikir bareng-bareng. Itulah jeleknya elo, Ay. Kebiasaan diam dan mikir sendirian. Padahal ada banyak orang yang peduli. Termasuk kita berdua." Ezra ganti berkata seraya menarik kursi di samping tempat tidur Ayana.
"Ini bukan masalah kalian, kenapa harus repot minta dibagi masalahnya, sih?"
"Karena lo sobat gue, gue gak suka liat lo muram gini. Lagian mana ada sahabat yang ninggalin kayak lo dulu." Ezra berkata cuek, kali ini ia tidak ingin Ayana melarikan diri dari masalah lagi.
Agam yang sedang mengunyah roti keju buah tangan para pengunjung ikut komentar. "Gue mungkin bukan sahabat, tapi kita pernah dekat, Ay. Seharusnya masalah elo jadi masalah gue juga."
Ayana terbengong-bengong, heran kepada dua laki-laki di hadapannya yang tumben-tumbennya tampak kompak.
"Emm, barangkali kalian memang bisa membantu, tapi gue nggak yakin kalian bisa." Ayana berkata asal-asalan, sebab tak pernah terpikir untuk membiarkan kedua orang itu masuk lagi dalam hidupnya.
"Lo hanya harus percaya sama kita, Ay. Itu aja." Ezra berkata lagi sambil memandangi gadis itu.
Ayana menatap mata kedua pria tersebut dan mencari ketulusan di dalamnya. Gadis itu tak pandai menilai orang lain. Namun, mereka pun ada benarnya. Apalagi ia jelas tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri.
"Apakah aku bisa mempercayai kalian?" Masih ada keraguan dalam nada suara gadis itu.
"Gue nggak menjanjikan apa-apa, tapi mengingat alasan kita putus dulu, gue butuh kesempatan kedua." Agam berkata mantap sambil menatap mata gadis di depannya yang ia tahu sedang mencari ketulusan hatinya.
"Dulu, kita enggak ketemu lagi karena masalah yang sama sekali gue nggak tau. Sekarang, gue pengen denger apa masalah lo, biar kita pecahkan sama-sama." Ezra pun berkata meyakinkan.
"Baik. Mungkin ini kesempatan kita untuk mulai saling percaya. Seperti yang nyokap gue pernah bilang, suatu saat gue butuh orang-orang kepercayaan. Kalian mungkin jawaban dari masalah yang gue hadapi sekarang." Ayana menatap keduanya, memutuskan untuk mempercayai keduanya.
Hanya mereka berdua yang cukup lama mengenal Ayana. Meski ada luka di balik cerita lama, tetapi gadis itu berpikir untuk mencoba lagi. Ia juga ingin mencari hikmah yang dipertanyakan hatinya sejak kemunculan kedua orang yang kini memandangi dengan lekat itu.
Sang paman terus-terusan mendesak, agar Ayana segera memberikan keputusan untuk memilih antara menikah dan mendapat warisan, atau tetap sendiri dengan berbagai konsekuensinya. Gadis itu jelas ingin sendirian saja, tetapi perusahaan itu bukan sekadar warisan, melainkan tanggung jawabnya sebagai keturunan Tirta. Oleh sebab itu, ia bertekad untuk terus maju bersama dua koleganya ini.
"Jadi, apa masalah yang lo hadapi sekarang?" tanya Ezra yang kini pindah duduk di sisi pembaringan.
Ayana meneguk saliva dan berkata terus terang. "Gue butuh pria yang mau dijadikan suami, sebelum umur gue 25 tahun."
"Apa?" Kedua laki-laki tersebut melongo dengan pernyataan Ayana yang sangat frontal, menurut mereka. Roti keju yang setengah dimakan Agam sampai jatuh ke lantai.
"Gue nggak salah denger, kan?" tanya Ezra yang bingung mencari korelasi antara urusan perusahaan dengan menikah.
"Ini serius?" Agam juga merasa ada yang tidak beres dengan pernyataan tersebut.
"Kalo bercanda, gue nggak bakal kayak sekarang." Ayana gemas dengan kedua pria yang sekarang tampak beloon.
"Lo mau menikah dengan salah satu dari kita?" Ezra bertanya terus terang, ia sendiri tidak keberatan jika itu mau Ayana, hanya saja masih terkejut jika benar adanya.
Ayana melempar pria yang tampangnya ganteng selangit itu, dengan gelas plastik sisa air mineral. Kemudian ia sadar bahwa hal itu memang bisa jadi jalan keluar. Akan tetapi, ia segera sadar dan menggeleng kuat-kuat.
"Bukan! Memang bener, sih, kalian bisa aja jadi suami gue. Kalian juga tau banget gue nggak suka berhubungan dengan orang asing. Tapi, bukan kalian yang pengen gue jadiin pasangan hidup. Please, deh!" Ayana memonyongkan bibirnya karena kesal.
"Lalu siapa?" tanya Agam dan Ezra bersamaan. Ada sedikit rasa cemburu tercampur penasaran dalam nada suara kedua laki-laki itu.
"Seseorang yang juga dateng lagi dalam hidup gue belakangan ini. Selain kalian tentunya. Cuma gue, emm, gue ...."
"Cuma apa?" Kedua pria itu masih kompak bertanya dengan mimik penuh tanda tanya.
Ayana mendesah. Sebetulnya ia sangat malu, tetapi jika ingin mempercayai mereka. Maka gadis itu perlu berterus-terang akan hal satu itu. Hal yang hanya dirinya yang tahu sejak masa SMA dulu.
"Cuma ... gue enggak berani nyatain perasaan." Ayana melirik kedua pria yang langsung melengos kesal dengan gadis itu.
"Kirain kenapa?" Ezra berkata meremehkan dengan gaya mengesalkan. Maklum saja seorang papa bravo macam dirinya memang mudah mendapatkan pasangan.
"Shit! Apa kata orang, kalo cewek nyatain cinta duluan, Za? Gue, sekarang butuh kalian untuk jadi kaki-tangan dan bantu gue supaya cowok itu mau dijadiin suami." Ayana bingung sendiri dengan kata-katanya, ia terdiam sebentar lalu lanjut berkata, "kenapa dunia gue ribet banget, ya?"
Agam dan Ezra tersenyum menatap gadis itu. Mereka juga bingung bagaimana mereka bisa kembali bertemu sehingga Ayana kini akhirnya bisa menerima keberadaan keduanya lagi.
"Santai aja, Ay. Ada kita." Agam berkata menenangkan.
Ayana mengangguk sedikit merasa lega.
Ezra yang sedari tadi rupanya sedang mencerna kata-kata Ayana mulai bicara lagi, "Lah, bukannya ini hanya untuk suami bohongan? Lo bisa nikah sama siapa aja. Setelah urusan warisan dan perusahaan beres kalian bisa cerai dan nggak perlu ada kontak fisik, gue bisa buatin surat kontraknya mengenai hal itu."
"Za, ini bukan masalah kawin kontrak. Ini masalah teman sehidup-semati, gue nggak mau mempermainkan sakralnya sebuah pernikahan hanya karena menginginkan warisan. Nikah itu bukan candaan, nikah itu juga janji kita sama Yang Maha Kuasa, bukan dengan pasangan aja. Dari dulu gue berharap bisa nikah sama orang yang bener-bener gue cinta. Bukan dengan sembarang orang."
"Oke, oke. Jadi lo enggak mau ngerusak nilai sebuah pernikahan dan lo juga pengen nikah sama pria yang lo suka itu?" Ezra mulai mengerti duduk permasalahan.
"Betul," sahut Ayana pendek. Senang karena akhirnya bisa mengeluarkan kegundahan hatinya kepada orang lain.
"Jadi, dengan kita berdua lo enggak pernah ada rasa cinta?" Beda dengan Ezra yang seakan dapat menerima semua dengan lebih leluasa. Agam tampak syok dengan pernyataan Ayana. Apalagi mengingat dulu Ayana adalah cinta pertamanya.
= = = = = = = = =
Uhuk! Ada yang masih berharap rupanya. 😅
Lanjut besokkk. 😁
= = = = = = = = =
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro