Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1 : Maklumat Kakek

Lima tahun setelah lulus dari SMA, Ayana Paradista Abimanyu telah tumbuh dari remaja menjadi seorang wanita dewasa. Fisik dan wajahnya tak terlalu banyak berubah. Tentu saja ia memang sudah cantik sejak dulu. Mata tajam dengan alis yang bertaut sempurna ditambah tatapannya yang menghanyutkan. Telah banyak meruntuhkan hati pria mana pun hanya dengan sekali kerling saja.

Selain wajah, ada satu hal lagi yang konsisten tak pernah berubah. Sifat introvernya tetap bertahan sejak dulu. Meski usianya kini telah semakin dewasa, Ayana masih saja tertutup dan lebih senang sendirian.

Tak berbanding lurus dengan kecerdasannya, gadis yang lulus kuliah dengan nilai gemilang di salah satu kampus ternama itu, memilih kuliah dengan jalur online saking enggan bertemu dengan banyak orang. Bagi Ayana, keramaian dan dirinya tak pernah cocok. Apalagi ia tidak suka bicara basa-basi.

Permasalahan ini tak luput dari pengamatan kakeknya—Tirta Abimanyu. Orang tua mana yang tak khawatir, jika penerus satu-satunya dalam keluarga justru lebih memilih diam di rumah dibandingkan bersosialisasi. Tirta beserta ibu dan ayah Ayana telah mendiskusikan hal ini bersama, mereka telah memutuskan hal yang jelas akan bertentangan dengan apa yang biasa dilakukan gadis tersebut selama ini.

Tepat di hari ulang tahun ke-23, Tirta memanggil Ayana ke ruang kerjanya. Gadis yang hari itu memakai tunik berbahan chambray soft jeans berwarna bluesteel, duduk di atas sofa berwarna khaki berbahan oscar yang terletak di tengah ruangan dengan banyak rak buku tersebut. Ruangan keduanya kini berada, lebih tepat disebut sebagai perpustakaan daripada ruang kerja.

Tirta memandangi sang cucu dengan tidak puas. Padahal, gadis yang kini sedang menyeruput teh yang telah disediakan sebelumnya itu, sudah memiliki semua syarat mutlak sebagai anak konglomerat. Cantik dan pintar. Kedua hal tersebut akan selaras jika saja Ayana tak terlalu pemalu.

"Ayana, Sayang. Kamu sudah dewasa sekarang. Opa bangga punya cucu seperti kamu." Sang kakek membuka obrolan dengan memuji gadis yang kini mengunyah wafer dengan santai.

"Harus, dong, Opa. Masa cucu secantik dan sebrilian ini Opa nggak bangga." Ayana menggelayut manja di pundak sang kakek.

"Nah. Itu sebabnya. Opa, ingin kamu mulai belajar tentang manajemen di perusahaan kita." Tirta berkata seraya melirik gadis yang langsung melepas pelukannya.

"Kenapa?" tanya sang kakek yang tahu gadis itu pasti akan terkejut. Walau kecantikan dan kecerdasan gadis itu memikat, dalam hati kecil laki-laki itu masih berharap memiliki cucu laki-laki. Namun, menantunya tidak dapat hamil lagi, itu sebabnya Ayana menjadi satu-satunya harapan untuk dapat menggantikan posisi dirinya kelak.

"Belajar manajemen? Aku, kan, memang sarjana ekonomi, Opa. Untuk apa lagi belajar? Opa mau aku lanjut ke-S2?" Ayana memandangi sang kakek dengan penuh tanda tanya. Gadis itu berusaha mencerna kalimat kakeknya.

"Opa tahu, Opa belum pikun, kok. Maksudnya, kamu sudah seharusnya belajar langsung di perusahaan. Mulai besok pergilah ke kantor bersama papamu."

Ayana jelas terhenyak dan langsung bersikap defensif.

"Tapi, Opa. Aya, kan, nggak suka ketemu banyak orang." Gadis itu langsung pura-pura merajuk setelah mendengar apa yang diutarakan sang kakek.

"Jangan mulai lagi, sudah cukup Opa kasih kamu kebebasan dengan mengambil kuliah online alih-alih reguler. Sekarang waktunya kamu mengaplikasikan ilmu yang sudah kamu dapat selama kuliah." 

"Tapi, Opa—"

"Paham! Opa paham. Kamu itu bukannya anti sosial. Hanya saja kamu terlalu malas ketemu banyak orang. Iya, kan?" Tirta jelas tahu kalau cucunya itu akan segera mencari alasan demi alasan untuk menolak permintaannya.

"Terus kenapa kalau begitu? Kenapa nggak kayak Opa aja, menangani perusahaan dari rumah seperti sekarang?" Ayana berusaha berkompromi dengan pria di sampingnya.

"Karena Opa punya papamu, ia yang langsung menangani semuanya. Opa hanya tinggal mendapat laporan."

"Itu dia! Aku juga bisa begitu, biar anak buah yang bekerja, aku bersantai di rumah."

Tirta menjitak kepala sang cucu. "Enak aja! Kamu pikir menjalankan usaha itu seperti kereta listrik yang berjalan di atas rel? Hanya tinggal tekan tombol lalu sampai tujuan? Enggak semudah itu anak muda! Kamu tau berapa jalur kereta yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda yang telah menewaskan banyak pekerja? Kamu pikir kereta listrik langsung ditemukan? Dulu kereta itu pakai tenaga uap, bahan bakarnya dari kayu, lalu bergeser ke batu bara, dan kemudian minyak bumi. Itu menunjukkan segala sesuatu terjadi pakai proses. Begitu juga menjalani perusahaan. Mengerti!"

Laki-laki itu berkata tegas dan tidak membiarkan Ayana membantah kalimat panjangnya. Tirta tahu, jika ia terus bersikap lembut, maka Ayana akan mulai mendebatnya.

Gadis tersebut mengerucutkan bibirnya, ia yang tadinya bagai melihat cahaya terang langsung memilih diam. Ayana tak berani mendebat sang kakek ketika tahu dirinya salah.

"Terus, aku harus bekerja di perusahaan? Begitu? Ketemu dengan orang lain yang aku nggak kenal?" Suara Ayana lirih seraya berharap pembicaraan ini hanya candaan kakeknya saja.

"Memang kamu pikir perusahaan bisa berjalan tanpa adanya anak buah? Kamu mau mimpin siapa? Hantu?" Tirta menatap cucu perempuannya dengan pandangan menantang.

Ayana kembali terdiam, sadar kakeknya telah mendirikan perusahaan cat terbesar kedua di negaranya sejak tahun 1978. Jelas saja laki-laki itu lebih pandai bernegosiasi dibandingkan dirinya yang baru saja lulus kuliah sebulan yang lalu. Akan tetapi, selain introver, gadis itu terkenal tak mau kalah, dan keras kepala.

Gadis yang rambut panjangnya berhias bando berwarna senada dengan tunik yang dikenakan, menatap sang kakek dan kembali berkata lirih, "Kadang hantu lebih jujur daripada manusia, Opa. Itu sebabnya aku lebih merasa nyaman dengan duniaku sekarang. Sepi, tapi menyenangkan."

"Tidak ada alasan! Opa tidak mau tahu. Kalau enggak mau belajar, itu artinya kamu juga tidak bisa jadi penerus keluarga. Maka jangan harap bisa jadi pewaris. Kamu boleh pergi dari rumah ini kalau mau. Kamu itu terlalu dimanjakan, Aya. Sampai mau berbuat sesuka hatimu, begitu?"

Ayana menggeleng. Keluar dari rumah? Jelas itu bukanlah keinginannya.

"Oke! Kamu pikir, kamu saja yang bisa berbuat seenaknya? Opa juga bisa berbuat sesuka hati. Pilih antara dua, mau belajar di perusahaan mulai besok, atau menikah dan melahirkan seorang pewaris?"

"Apa!" Ayana merasa pendengarannya masih tajam, tetapi ia merasa kakeknya seperti salah memberikan maklumat.

"Kamu sudah dengar, Opa nggak akan mengulang kata-kata tadi. Kalau kamu memilih bekerja, Opa akan memberikan waktu hingga usiamu telah mencapai 25 tahun untuk mencari jodoh. Untuk saat ini, kau belajarlah dulu." Tirta kembali melembutkan suaranya. Ia merasa efek kejut yang diharapkan sudah cukup membuahkan hasil.

Ayana menganga, tak mampu berkata-kata lagi. Pilihan yang diberikan sang kakek dua-duanya berat. Jika menikah ia memang tidak perlu keluar rumah, tetapi mau menikahi siapa? Pacar saja tidak punya.

Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya mengikuti kemauan kakeknya untuk mulai belajar di perusahaan keluarga. Gadis itu pun pasrah dan menerima keputusan yang telah dibuat.

"Opa!" panggil Ayana lemah. Dalam hati ia berusaha menguatkan diri, kalau bekerja di sebuah perusahaan tak akan membunuhnya. Semestinya tidak ada yang perlu ditakutkan. Iya, kan?

Tirta memandang gadis yang kini menatapnya dengan pandangan memohon. "Apa! Kamu keberatan?"

Gadis itu menggeleng kuat. "Bukan, bukan begitu. Aku mau belajar di perusahaan kita, tapi aku ingin mulai sebagai karyawan magang dulu. Selain itu aku juga mengajukan syarat."

"Syarat? Memang kamu punya kekuasaan apa sampai berani minta syarat segala?" Tirta menatap sang cucu dengan pandangan menantang.

"Syarat ini penting. Kalau aku sejak awal dikenal sebagai pewaris perusahaan, orang-orang di kantor pasti akan mengistimewakan. Aku tak tahan dengan perlakuan penjilat, mereka biasanya baik di depan, tapi berhati busuk di belakang."

Tirta membulatkan matanya, ia tak menyangka gadis pemalu itu ternyata memiliki pemikiran yang mendalam.

"Betul juga, tumben kamu pinter." Tirta tersenyum menatap sang cucu.

"Aku ini hanya introver, Opa. Bukannya bodoh."

Tawa Tirta membahana di ruangan itu. "Oke, jadi kamu nggak mau diketahui identitas aslimu?"

"Iya. Kalau Opa mengizinkan, aku akan mulai bekerja besok."

Sang kakek tersenyum simpul, laki-laki itu mengangguk-angguk senang. Ia tahu akhirnya akan memenangkan kompromi. Cucunya bukan seorang yang suka melawan. Ayana hanya perlu sedikit gertakan untuk mau maju. Terkadang pecutan yang terasa sakit justru akan lebih memacu diri yang malas.

"Baik. Opa, setuju dengan syaratmu."

"Kalau begitu, mohon kerjasamanya Bapak Tirta Abimanyu." Ayana berdiri seraya mengangsurkan tangan hendak bersalaman.

Tirta pun berdiri dan menyambut uluran tangan gadis itu, ia menggenggam jemari sang cucu kesayangan dengan erat.

"Selamat datang di Perusahaan Nila Paint, Ayana Paradista Abimanyu."

= = = = = = = = = =

Day 1 -- Semangattt! Semoga lancarrr ... aamiin. 🤲

***

Ayana yang introver akut, bekerja di kantor? Bagaimana kelanjutannya, ya?

***

Kenalan dengan Opa Tirta, yuk!

Jeong Dong Hwan sebagai Tirta Abimanyu

Sumber gambar: https://www.idntimes.com/hype/entertainment/defrina-satiti/aktor-korea-usia-50-tahun-lebih-yang-eksis-bintangi-drama-dan-film?page=all

= = = = = = = = = =

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro