Chapter three
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas, tepat tengah malam. Namun, perempuan itu tidak kunjung dapat memejamkan matanya. Cemas. Kepalanya penuh memikirkan satu hal yang sama. Membolak-balikkan badan untuk menemukan posisi yang pas, kantuk tak jua ia rasakan. Teman satu kamarnya sudah tidur sejak tadi, mungkin telah bermimpi yang indah.
Eva rasa tidak akan berhasil ia bangkit dari tempat tidur dan mengambil ponselnya, menelpon seseorang yang ia harap belum tidur dan dapat menemaninya.
"Halo." Suara Alex di seberang sana sedikit menenangkannya.
"Tidak bisa tidur?"
Beranjak dari tempat tidur, Eva menuju jendela, membukanya dan duduk di tepian. "Belum," jawabnya.
Embusan napas lelah terdengar, lalu laki-laki itu kembali bersuara, "jangan terlalu dipikirkan. Ingat, hal buruk yang ada di kepala jangan sampai membuatmu sakit."
"Bagaimana kalau ternyata Anya benar-benar salah satu korbannya?" Eva tidak kuasa.
Penemuan jasad Merry bukan akhir dari guncangan untuk Elite Private High School hari itu, melainkan awal. Karena setelahnya, sebuah teror kembali membuat heboh. Hal yang membuat Eva merinding ketika mengingat kejadian itu.
"Eva. Aku memang tidak bisa memastikan Anya baik-baik saja, tetapi aku ingin kau baik-baik saja. Besok kita akan laporkan ke pihak sekolah, sekarang tidurlah."
"Aku ingin, tapi tidak bisa."
"Mau aku nyanyikan lagu tidur?"
Senyum terukir di wajah Eva, ia tahu Alex tidak memiliki suara yang bagus. "Aku masih sayang pendengaranku, Lex."
"Lalu apa yang bisa aku lakukan agar gadisku dapat tidur?"
Memuntir ujung baju tidurnya, Eva mengucapkan permintaan yang membuat laki-laki di seberang sana tertawa.
"Aku bukanlah pencerita yang baik."
"Berikan aku dongeng sebelum tidur, hal mudah bukan? Hal lebih baik daripada mendengar suaramu."
"Baiklah ... baiklah, maka dengarkanlah baik-baik."
***
Brakkk
Suara pintu terbuka membuat keduanya sontak menoleh ke arah yang sama. Seorang pria yang mereka kenal sebagai petugas kebersihan masuk dengan terburu-buru. Mengambil sesuatu di dalam lemari penyimpanan bahan-bahan kimia.
"Ada apa?" tanya Eva.
"Entahlah." Alex menemui pria itu.
"Apa yang terjadi Mr Widd?"
Pria tua itu seperti mencari-cari sesuatu, ia lalu menoleh ke arah Alex. "Katakan, di mana di antara bahan-bahan itu yang dapat menghapus cat permanen?"
Alex berpikir sejenak lalu mengambil botol penuh di rak ke tiga paling pojok. "Yang ini."
"Trims." Widd menepuk pundak Alex. "Sepertinya ada orang-orang yang ingin mengacaukan sekolah."
"Maksudnya?"
"Ayo ikuti aku."
Meninggalkan laboratorium, Eva dan Alex mengabaikan ada satu meja lagi yang belum mereka bereskan, memilih mengikuti pria kebersihan itu. Mengikuti langkah panjang yang terburu-buru itu, Eva yang memiliki kaki lebih pendek sampai berlari kecil agar tidak tertinggal dari dua orang itu.
Mereka berhenti di depan kantor khusus kepala sekolah. Eva dan Alex terbelalak melihat pintu ruangan itu yang di penuhi tulisan bercat piloks yang mengandung ancaman.
Hancur, kekuasanmu akan kuhancurkan!
Mati
F**k Robert
Begitulah tulisan-tulisan yang tertera di sana. Begitu mengerikan dan membuat keduanya merinding. Ternyata pembunuhan Merry adalah ulah orang yang membenci kepala sekolah mereka sendiri.
"Menyeramkan. Apa CCTV sudah diperiksa, Mr Widd?"
Widd yang segera menghapus tulisan-tulisan itu menjawab, "sudah."
"Siapa yang melakukan ini?"
"Tidak tahu, yang memeriksa belum kembali. Lagi pula ini bukan urusan kalian. Setelah ini pulanglah."
***
"
Cerita macam apa itu?" Eva tidak bisa menahan tawa saat mendengar akhir cerita yang diberikan Alex.
"Kau tahu? Itu akhir indah. Putri tidur akhirnya bangun karena terkejut dengan pangerannya yang tiba-tiba buang angin." Sepertinya Alex sendiri merasa geli dengan ceritanya ikutan tertawa. "Bagaimana, apakah sekarang putri sudah bisa tidur?"
"Ceritamu membuat aku lupa beberapa hal, terima kasih."
"Baguslah, sekolah tidak diliburkan besok. Jadi beristirahat sekarang atau kau mau tertidur di kelas Madam Jessi dan dihukum membersikan kamar mandi?"
"Ya, aku akan tidur. Kau juga tidurlah. Mimpi indah, Alexku."
"Mimpi indah juga Evaku."
Eva beruntung memiliki Alex yang sangat peduli padanya, meski kadang laki-laki itu bisa sangat menyebalkan. Telepon itu dimatikan dan Eva sepertinya sudah mulai mengantuk. Ia turun dari tepi jendela dan berniat menutupnya kembali saat tiba-tiba cahaya menyilaukan menyorot matanya. Dengan telapak tangan ia menghalaunya, lalu melihat cahaya apa itu.
Ia melihat ke bawah dan mendapati seseorang bertudung dan bermasker menatapnya tajam dan terus menyenter ke arahnya. Panik, segera ia menutup jendela dengan jantung yang hampir copot. Ia lalu beralih ke teman sekamarnya dan membangunkan Zetta yang sepertinya kesal dibangunkan.
"Ta, bangun! Lihat ada orang aneh di luar serem banget. Ta, Zetta!"
Keringat sudah menyerbu tubuh Eva, ia takut sekali. Apalagi setelah semua yang ia lihat dan ketahui tentang teror itu.
"Wake up, please, Ta."
"Ada apa?" Zetta sambil mengusap-usap wajahnya menatap kesal Eva.
"Lihat ke luar, ada orang aneh."
Dengan masih terkantuk-kantuk Zetta akhirnya mau bangkit dan Eva segera menunjukkan apa yang ia lihat. Ia membuka jendela takut-takut dan langsung berlari ke belakang Zetta tanpa melihat ke luar.
Teman sekamarnya itu menoleh ke luar dan tidak mendapati sesuatu yang aneh lantas memukul kepala Eva kesal. "Kau berkhayal! Tidak ada siapa-siapa. Tidurlah Eva, sebelum nanti kau melihat Transformer di luar."
Heran Eva melihat ke luar dan tidak mendapati orang bertudung itu lagi. Meskipun begitu ia tetap saja ketakutan. Ia memegang tangan Zetta.
"Aku tidur bersamamu malam ini."
"Terserah, aku hanya ingin melanjutkan mimpiku."
Malam itu Eva memilih tidur di samping Zetta dengan perasaan takut yang tidak bisa ia hilangkan sampai pagi.
***
Pukul tujuh, sudah siap dengan seragam rapinya. Tidurnya malam ini memang tidak lelap, tetapi ia masih mampu bangun awal untuk bersiap-siap sekolah. Pikirannya terbayang pria bertudung tadi malam, kendati Zetta mengatakan bahwa ia hanya ilusi, tetapi kejadian itu begitu nyata ia rasakan.
Liftnya berhenti di lantai dua, ia ingin sekali lagi mengecek kamar Anya. Apakah perempuan itu sudah kembali? Semu yang ia alami membuat ia semakin khawatir.
Pintu bernomor dua satu ia ketuk beberapa kali. Seorang gadis berseragam sama dengan dirinya keluar dengan tas sudah tersampir di punggungnya, sepertinya dia juga sudah bersiap berangkat.
"Zu, Anya ada?"
Raut wajah Mizu meredup dan ia menggeleng. "Dia belum juga kembali."
Eva meremas ujung roknya, ia tidak ingin cemas berlebih. Namun, setelah semua ini mana mungkin ia bisa tenang. "Kau bisa menghubunginya?"
"Tidak juga, Ev."
"Astaga, kemana anak itu. Aku pun juga tidak bisa menghubunginya."
Mizu mengelus pundak Eva beberapa kali. "Semoga saja ia tidak dalam kondisi buruk."
"Ya, semoga saja."
Mizu tersenyum, "Mau berangkat bersama?" Eva menjawab dengan mengangguk.
Jarak asrama dengan gedung sekolah tidak terlalu jauh, hanya memerlukan beberapa menit agar sampai. Sambil menghilangkan pikiran buruk mereka berdua memutar-mutar jalan agar lebih lama sampai.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro