Chapter Ten
Eva sama sekali tidak menyangka bahwa Alex yang akan ia temukan dibalik tudung dan masker itu. Segalanya tampak aneh dan begitu mengejutkan.
"Ini salah paham."
Alex berusaha berdiri sambil menyentuh wajahnya yang lecet. Setiap pergerakannya diamati Zack, khawatir jika laki-laki itu kabur. Diana malah sibuk melihat Eva yang menjadi satu-satunya orang yang paling syok di sini.
"Aku bisa menjelaskan. Aku bukan seperti yang kalian pikirkan."
Alex tidak tahu bakalan seperti ini. Ia terlibat kesalahpahaman yang besar. Ia tidak tahu harus menceritakan dari mana, sebab sepertinya orang-orang itu telah berpikiran yang buruk terhadapnya.
Belum lagi karena aksi Eva yang berteriak kepadanya tadi, mengundang pelanggan kafe memperhatikan mereka dan saat ini terlalu banyak mata melihat kepadanya.
Ia juga mengingat keberadaan Lily dan Erik di dalam sana. Apakah mereka menyadari hal ini? Dan, tau bahwa ia mengikuti mereka diam-diam? Ia melihat ke kafe yang dari dinding kacanya menampakkan orang-orang yang melihat kejadian barusan.
"Bisakah kita pergi dari sini terlebih dahulu. Aku sedikit tidak nyaman dengan semua tatapan ini."
"Tidak masalah," jawab Zack. Namun, yang selanjutnya terjadi pada Alex membuat laki-laki memberontak.
Ia diborgol layaknya penjahat. "Apa yang kau lakukan?!"
"Kau kumasukkan dalam daftar tersangka pertama. Berikan alasan yang masuk akal nanti di kantor polisi."
Alex bergerak untuk lepas dari besi yang mengikat kedua tangannya itu. "Eva, jelaskan pada mereka bahwa aku tidak mungkin menjadi pelakunya."
Eva masih tidak bisa berkata apa-apa tentang hal ini, hanya diam dan memalingkan wajah tidak ingin menatapnya. Ia ingin percaya pada Alex, hanya saja semua yang ia lihat membuat ia menduga jika memang Alex orang sebenarnya.
Pertama, Alex tahu kamar Eva berada di mana dan di lantai berapa. Juga tentang Mizu, hanya Alex yang tahu. Ia akan sangat kecewa bila benar lelaki itu pelaku sebenarnya.
"Sialan! Lepaskan aku!"
***
"Kau baik-baik saja?" Diana mengerti perasaan Eva setelah semua yang terjadi.
"Kau ingin menemui Alex? Kata Zack, introgasi sudah selesai, tapi ia harus ditahan karena ucapannya tidak bisa dipercayai dengan mudah."
Gadis itu menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ia rasa ini adalah titik tersulit di hidupnya.
Alexander Sascio adalah pria pertama yang mampu membuat ia jatuh cinta. Juga orang kedua yang mengerti dirinya setelah Anya.
Eva adalah anak dari keluarga yang tinggal di luar kota Saskatoon. Besar harapan keluarganya setelah lulus dari sana, gadis itu dapat menembus universitas yang bagus dan bisa mengangkat derajat dan ekonomi keluarga.
Laki-laki itu yang terus menyemangati kala ia hampir menyerah berada jauh dari keluarga dan selalu setia mengajarinya belajar saat otaknya kesulitan memahami pelajaran.
Sekarang ia harus kehilangan dua orang yang sangat berarti baginya. Siapa yang bisa menerima hal tersebut?
Ia juga tidak bisa menyalahkan polisi yang menangkapnya, mereka punya alasan kuat untuk menahan Alex. Terlebih kata Diana, Alex membuntuti Erik dan Lily yang merupakan siswa berprestasi sekolah sama seperti ciri-ciri korban sebelumnya. Merry dan Anya juga siswa berprestasi.
Dering telepon masuk membuat atensi Eva beralih pada ponselnya. Ia buru-buru mengangkat telepon tersebut dan memasang speaker setelah membaca nama kontak yang meneleponnya tertera.
Anya.
"Halo, Anya. Kau ada dimana?!" Eva tidak bisa mengontrol dirinya untuk meninggikan suara.
Dania dengan sigap menyaksikan dengan seksama. Lama tidak ada balasan dari sana, sampai Eva mengira teleponnya terputus, tetapi ternyata tidak.
"Aku di asrama. Di kamarmu."
Hanya satu kalimat itu, sebelum telepon dimatikan. Mereka berdua langsung melesat pergi ke asrama.
Suara yang menjawab itu adalah suara Anya. Eva kenal betul. Berarti Anya dalam keadaan baik-baik saja. Eva tidak tahu harus bersikap bagaimana ia tidak senang tetapi sangat bersyukur sahabatnya itu masih hidup.
Sampai di asrama mereka berlari seperti kesetanan menuju kamar Anya yang berada di lantai dua. Begitu sampai yang ia temukan hanyalah kamar kosong.
"Tidak ada." Diana mengusap wajahnya. "Apa kita terlambat."
"Tunggu." Eva jantungan, ia pucat pasi. Ia mengingat perkataan Anya tadi bahwa di kamarmu. Itu berarti di kamar Eva. "Bagaimana bisa?" Ia lalu berlari ke kamarnya bahkan tanpa memberitahu Diana.
Tiba di kamar Eva, ia menjerit dan terduduk melihat apa yang terjadi. Kamarnya berantakan, darah di mana-mana dan Freed terkulai lemas di lantai. Tubuhnya penuh dengan luka. Di bagian perutnya mengucur deras darah. Sepertinya ia ditusuk berkali-kali.
"Oh my God!"
Dania merasakan jantungnya mencelos dan kakinya gemetar. Mengerikan, ia sudah sudah pernah melihat korban dengan kondisi yang lebih parah dari itu, tetapi tetap saja ia tidak pernah bisa terbiasa dengan hal-hal semacam ini.
"Freed ...." Eva tidak kuasa, tubuhnya lemas seketika.
Menjadi satu-satunya yang dapat berpikir jernih, Dania segera menghubungi ambulans dan kantornya. Karena histeria mereka, sekarang satu persatu anak asrama yang memang sudah pulang, ramai melihat mereka.
***
Keadaan akhir-akhir membuatnya harus bekerja lebih ekstra lagi. Penjagaan terhadap gedung asrama putri semakin diperketat dan para penjaga ditambah. Setelah berkeliling asrama, kakinya sedikit pegal. Pasalnya gedung berlantai empat itu sangat luas.
Ia menyukai pekerjaannya, menjadi seorang penjaga keamanan. Itu memang bukan impiannya, tetapi miriplah dengan apa yang selama ini ia harapkan. Untungnya bekerja bekerja di sini adalah ia dapat minat gadis-gadis muda yang cantik setiap harinya. Ia dan teman-temannya tidak jauh beda, ia juga kadang suka merayu siswi-siswi itu.
Malam kemarin, ia sungguh beruntung karena ditugaskan menjaga salah seorang siswi. Gadis yang ia jaga memiliki paras yang cantik, walaupun mulutnya sedikit pedas.
"Mr Freed!"
Freed menengok ke belakang. Salah seorang gadis penghuni asrama yang cukup pria itu kenali berlari ke arahnya. Penghuni asrama ada banyak, ratusan mungkin. Ia tidak kenal semua, hanya yang memiliki paras di atas rata-rata yang paling melekat di ingatannya. Dan, gadis ini adalah salah satunya.
"Bisakah kau membantuku?"
"Apa yang tidak bisa aku lakukan untuk bidadari sepertimu," seperti biasa, Freed selalu menyisipkan rayuan kala berbicara dengan gadis itu.
"Di kamar 3.08. Aku butuh kau untuk membantuku membukanya."
Tanpa berpikir panjang pria itu menyanggupi permintaannya. Karena kamar itu berada di lantai tiga mereka harus naik lagi. Saat Freed sudah berjalan ke lift, si siswi tadi malah berjalan ke jalur tangga. Pria itu tidak mengerti, ia pun ikut saja.
"Mengapa harus lewat tangga?"
"Di jam segini sedang ramai orang memakai lift, dan aku butuh pintu itu dibuka segera."
Karena sekarang Freed jarang berolahraga, berat badannya naik membuat ia kelelahan setelah menempuh berpuluh anak tangga untuk sampai di lantai tiga.
Ia cukup heran saat siswi itu tidak ada rasa letih karena dari wajahnya yang masih segar dan bersemangat. Sampai di depan pintu yang di maksud, Freed tertegun menyadari itu adalah kamar Eva, gadis yang semalam itu.
"Ada apa?"
"Kau ... aku baru tahu kau tinggal di sini."
Si siswi mengabaikan hal tersebut, "aku sangat butuh kau membuka kamar ini sekarang. Ada sesuatu yang penting yang ingin aku ambil di dalam sana."
Tidak cukup percaya akan perkataan si siswi, Freed kali ini tak lantas membuka pintu tersebut. "Bukankah kau tinggal di sini, kau pasti memiliki kuncinya?"
"Tertinggal. Cepatlah aku tidak punya banyak waktu."
"Mencurigakan sekali."
"Kumohon Mr. Freed aku akan mentraktirmu makan siang bila kau buka pintu ini."
Freed tersenyum senang. Ia adalah pria yang sudah lama tidak merasakan disukai perempuan sejak kekasihnya lima tahun lalu memilih memutuskan hubungan dengannya. Mungkin dengan anak yang cukup muda tidak terlalu buruk, pikir laki-laki itu.
"Baiklah, aku akan mendobraknya."
Berhasil
Senyum licik terukir di wajah si siswi melihat korbannya jatuh dalam jebakan.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro