Chapter Four
Menjadi sekolah paling favorit di Saskatoon membuat Elite Private High School menjadi buruan para anak yang ada di sana. Sekolah yang memiliki fasilitas yang sangat lengkap, dan hal itu merupakan salah satu faktor yang membuat sekolah itu menjadi terbaik di kotanya.
Siswa-siswi didikan EPHS sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, meski tidak semua, tetapi kebanyakan menjadi incaran universitas terkenal. Semua itu tidak lepas dari kerja keras orang-orang di dalamnya. Terutama keluarga Williams yang menjadi pendiri, semua dahulunya mulai dari no sampai mereka berada di titik keemasannya.
Robert Williams, putra ketiga dari keturunan Williams ke delapan menjabat sebagai kepala sekolah sekolah saat ini tentu tidak terima ada orang yang ingin merusak bahkan menghancurkan reputasi EPHS. Memang hal biasa orang yang berada di titik puncak memiliki banyak musuh yang ingin menjatuhkannya.
Namun, dari semua upaya yang dilakukan musuh-musuh mereka, kali ini ada yang paling parah. Sampai-sampai membuat Robert geram dan mengucurkan dana yang cukup besar untuk pihak berwajib agar dapat segera menyelesaikan teror tersebut.
Kenapa perlu repot-repot mengeluarkan uang? Sebab, kepolisian tidak hanya menangani satu kasus, dan Robert ingin aksi teror ini segera selesai dengan cepat. Semakin lama selesai maka nama sekolah akan semakin buruk, dan pria yang hampir setengah abad itu tidak menginginkannya.
Di ruangan pribadinya, sudah lebih dari sejam dia memperhatikan berkas-berkas di atas mejanya, kepalanya pusing. Kasus teror itu berdekatan dengan jadwal olimpiade sains yang akan dilangsungkan di EPHS dua Minggu lagi. Pria itu semakin cemas tak kala mengetahui siswi yang akan menjadi salah satu wakil adalah korban si pelaku.
"Keparat! Akan kutemukan kau, dan kuhabisi sampai kau menyesal pernah dilahirkan!" makinya lalu membanting dokumen berisi biodata Merry.
Emosinya meluap-luap, tidak sadar sedari tadi pintu diketuk dari luar. Barulah setelah sekian banyak ketukan pria itu sadar dan mempersilahkan masuk. Robert Williams mendadak mengubah ekspresinya menjadi sesantai mungkin.
"Selamat siang tuan Williams." Perlahan sang tamu masuk dan duduk di hadapan Robert.
"Apa yang kau mau?" kata pria itu to the point, tahu bahwa ada sesuatu yang penting ingin disampaikannya, bila dia sampai datang ke ruangannya.
Ruangan bernuansa kayu selayaknya kantor pribadi seorang kepala sekolah biasanya, mendadak mencekam saat tamu itu tersenyum miring melihat berkas-berkas yang berserakan itu.
"Apa yang sudah kukatakan padamu, kau kepala sekolah yang payah. Bahkan baru setahun kau menjabat, keadaan menjadi seperti ini. Mengundurkan diri sajalah sebelum sekolah ini benar-benar hancur."
"Kau pikir aku akan melakukannya?"
"Semua terserahmu Robert, aku hanya akan menjadi penonton setia di sini."
Setelah mengatakannya laki-laki itu keluar meninggalkan Robert yang mengepalkan tangannya geram.
***
"Semua akan baik-baik saja." Alex mengusap bahu Eva karena sedari tadi kekasihnya itu muram.
Eva dan Alex keluar dari ruangan Mr. Hans. Mereka baru saja melaporkan kehilangan Anya karena sudah lebih dari dua puluh empat jam menghilang. Pria itu mengatakan akan membawa kasus tersebut untuk segera diperiksa dan mungkin ada hubungannya dengan teror itu.
"Oh, Alex!" Eva tiba-tiba berseru. "Aku mengalami sesuatu yang aneh semalam."
Alex membawa perempuan itu untuk duduk di bangku yang tidak jauh dari ruangan mereka keluar tadi. Ia pasang wajah dengan ekspresi siap mendengarkan.
"Semalam, ketika baru saja kita selesai bertelepon, aku melihat orang aneh di bawah asrama." Ia masih takut bila mengingat hal tersebut, terlebih lagi sepertinya orang bertudung itu melihat ke arahnya atau mungkin sedang mengincar dirinya.
"Aneh seperti apa?"
"Ada seseorang bertudung menyenter ke arahku dan melihatku tajam. Aku takut sekali!"
"Kau mengingat bagaimana wajahnya?"
"Entahlah, saat itu gelap, aku tidak bila melihatnya dengan jelas. Tapi aku yakin dia sedang melihatku!"
"Tenanglah. Mungkin kau salah lihat. Lagi pula kau mungkin mengantuk sebab sudah sangat larut saat itu, siangnya juga kau sudah melihat banyak hal mengerikan." Jawaban Alex sama seperti Zetta. Tidak ada yang mempercayainya, padahal ia merasakan hal tersebut begitu nyata.
Eva memang mudah sekali cemas, barangkali hal itu yang membuat ia menjadi sampai mengalami ilusi. Eva mencoba menyetujui pendapat Alex dan Zetta perihal kejadian malam itu.
Saat itu juga mereka melihat Lily berlari seperti kesetanan masuk ke ruangan yang mereka masuki tadi.
"Ada apa dengan dia?" Alex yang juga melihat keanehan itu bertanya pada Eva.
"Aku tidak peduli. Ayo balik ke kantin, aku ingin makan siang, tadi pagi aku belum sarapan."
Mereka berdua menuju kantin khusus kelas sebelas. Waktu istirahat mereka memang panjang, empat puluh lima menit. Sehingga mereka masih ada waktu untuk makan siang. Sekolah mereka memiliki fasilitas makan siang gratis, sehingga Eva dapat menabung uang yang seharusnya ia gunakan untuk lunch.
Keadaan kantin saat itu tidak ramai, mungkin karena mereka yang datang sedikit lebih lama. Untungnya sup ayam kesukaan Eva masih ada.
Mengambil tempat duduk di dekat dinding, keduanya kaget saat seseorang bergabung dengan mereka.
"Kenapa? Aku tidak boleh duduk di sini?"
Alex buru-buru menggeleng dan mempersilahkan orang itu. Eva sejak tadi masih kaget dan memperhatikan orang itu hingga membuat yang diperhatikan sedikit risi.
"Aku tidak bisa makan jika kau terus saja melihatku."
Edgardo tidak pernah terlihat duduk bersama orang-orang seperti Eva dan Alex sebelumnya. Laki-laki yang menjadi salah satu primadona sekolah itu lebih banyak bergaul dengan orang selevelnya. Seperti orang-orang dengan keluarga kaya lainnya.
"Kau tahu Anya menghilang," ucap Eva yang sepertinya mengejutkan Edgar.
"Apa?"
Seperti diketahui, Eva dan Anya itu sahabatan. Anya pernah bercerita bahwa ia dekat dengan Edgar, tetapi secara diam-diam karena mereka tidak ingin muncul gosip di sekolah. Karena Edgar memiliki kekasih saat ini.
Eva tentu menjadi orang yang kontra akan hal tersebut karena apa yang dilakukan sahabatnya tersebut salah, itu juga yang menjadi alasan pertengkaran mereka hari itu.
"Kau tidak tahu?" Eva berdecak, "kau terlalu sibuk dengan Jessie sampai lupa pada gadis yang menyukaimu itu."
Alex yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan hanya memakan pastanya sambil menyimak dalam diam.
Sepertinya informasi yang diucapkan Eva begitu mengejutkannya, laki-laki tidak sanggup menyelesaikan makan siangnya yang tinggal separuh itu. Ia mengusap wajah kasar dan menatap Eva. "Kau tidak bercanda, kan?"
"Kau pikir hal tersebut bagus untuk dijadikan candaan?"
Eva menyipitkan matanya melihat Edgar yang sepertinya sangat panik. "Ada apa?"
"Ayahku berkata kematian Merry diperbuat oleh orang yang ingin menghancurkan reputasi EPHS, aku takut Anya salah satu korbannya."
Ternyata sama seperti dugaan Eva, kecemasan itulah yang selama ini menghantui perempuan itu.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro