Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

"Tara kamu ngapain di sini?"

"Aku mau kasih kamu kejutan. Kenapa? Kamu kaget dong pasti."

Pria itu tertawa begitu enteng, padahal Tamara kaget bukan main. Tara yang diketahui Tamara sedang berada di Amerika malah ada di hadapannya sekarang.

"Kamu segitunya kaget, Mara. Apa aku tambah ganteng makanya kamu sampai nggak ngenalin aku?"

Tara mengusap rambut pendek Mara, dia tersenyum manis seperti biasa. Senyuman yang tulus diberikan bukan pada setiap wanita. Hanya di depan Mara, Tara terlihat sangat ceria. Pria itu sudah menyukai Mara sejak keduanya kuliah bersama.

"Ya, pasti aku kaget, lah, Tar. Lagian kamu datang nggak bilang-bilang. Kamu mau apa ke Indonesia? Emangnya study kamu udah selesai?"

"Abang yang minta dia datang, Dek."

Arjuna muncul dari belakang Tara. Keduanya saling merangkul, lalu tersenyum menatap Mara.

"Abang? Maksudnya gimana?"

"Abang sengaja, karena menurut Abang kamu udah waktunya ada yang jagain. Makin lama, kamu yang Abang cemaskan. Kamu tau sendiri, kan? Papa kayak mana. Abang nggak mau, kamu lama-lama trauma dengan pria kalau terus melihat kelakuan Papa. Lebih baik kamu segera menikah. Menurut Abang, Tara orang yang tepat buat kamu."

What the hell! Married? He talk about marriage?

"Bang, jangan buru-buru, baru juga ketemu sama Mara. Dia keliatan kaget banget. It's okay, aku nggak mau buru-buru, lagi pula aku yakin, Mara nggak akan nolak, iya, kan?"

Satu hal lagi, Juan Tara adalah pria dengan sejuta pesona dengan level percaya diri yang sangat tinggi. Padahal selama mengenal Mara, dia lima kali menembak Mara dan belum pernah sekali pun diterima.

Mara masih sangat kaget sampai tak bisa berkata-kata. Yang jelas, kedatangan Tara makin membuatnya cemas. Dia takut, takut kalau sampai dia tidak bisa mendekati Jacky lagi.

"Udah, kamu jangan kebanyakan kaget, Dek. Kita masuk, ngobrol di rumah aja," ajak Arjuna.

***

Jacky menghentikan langkah kakinya di depan pintu rumah. Dia mendengar suara langkah kaki, kalau ditaksir ada tiga orang yang sedang berjalan ke rumah tetangga sebelah nya. Jacky mengabaikan pendengarannya yang terlalu peka itu. Dia lalu membuka pintu, tapi sebelum pintu terbuka, Jimmy muncul dan terkejut.

"Astaga, lo udah balik, Ky?"

Jacky tidak menjawab, dia lalu masuk melewati Jimmy begitu saja. Jimmy menghela napas asal, lalu dia mengelus dada melihat sikap adiknya itu.

"Nih anak kayak anak perawan lagi datang bulan asli."

"Mara, kamu masih suka makan nasi uduk?"

"Masih, Tar. Sarapan favorit Tamara ya nasi uduk, kalau nggak lonsay."

"Lonsay? Apa, tuh?"

"Lontong sayur."

Jimmy mendengar percakapan itu dengan cukup jelas, itu pasti dari rumah Tamara, pikirnya. Mereka terdengar sedang tertawa, tapi Jimmy sama sekali tidak mendengar suara Tamara.

"Ah ngapain lo kepo sama urusan orang sih? Mendingan lo urusin adik lo yang lagi ambekan tuh," gumamnya lalu masuk ke dalam rumah dan tak lupa menutup pintu.

Jacky duduk di meja makan lalu mengambil segelas air dan meminumnya. Jimmy menghampiri Jacky, merasa heran, kenapa Jacky kelihatan murung. "Lo berantem sama Tamara, Ky?"

Jacky berdiri tanpa menjawab pertanyaan Jimmy, dia pergi begitu saja menuju kamarnya. "Eits, lo mau kabur lagi, ya! Duduk dan makan dulu baru kabur. Aneh banget sih lo hari ini jadi kabur-kaburan."

"Gue nggak laper, Bang."

"Lo harus makan. Elah, kenapa gue jadi kayak berhadapan sama bocah sih? Lo mau es krim?"

"Emang lo ada?"

"Buset dah, kalau es krim aja lo cepet, Ky. Tunggu di sini, gue ambilin."

Jimmy sebenarnya ingin membicarakan tentang Jill pada adiknya. Tapi, dia tak mau sesuatu itu nantinya menganggu Jacky. Sudah jelas terlihat, Jacky berubah semenjak tau dirinya berpacaran. Jimmy tidak pernah punya alasan untuk menentang sikap Jacky, apa pun itu. Dia selalu mencoba mengerti, karena dia tau, menjadi Jacky sudah cukup berat selama  ini.

"Nih es krim."

Jacky meraba-raba benda dingin yang masih dibungkus di dalam plastik. Bentuknya persegi, berukuran sedang, tidak besar tapi tidak juga terlalu kecil untuk ukuran es krim kesukaan Jacky. "Makasih."

"Untung aja nyogok lo gampang, Ky. Kasih kinderjoy, kasih es krim udah anteng."

"Gue nggak mau disogok. Ambil balik sogokan lo nih." Jacky menyodorkan es krim di tangannya pada Abangnya.

"Ya Astaga, lo tuh, ya! Ambil dan makan. Sini gue bukain." Jimmy membuka kan eskrim rasa pisang tersebut lalu memberikannya pada Jacky. "Buka mulut lo."

Jacky menggeleng. "Gue nggak menerima sogokan,"

"Ini bukan sogokan. Lo nggak ngerti joke? Ah, gue rasa lo sensi karena Tamara, ya, kan."

Jacky akhirnya merebut es krim di tangan Jimmy dan memakannya ketimbang menjawab ucapan Jimmy tentang Tamara.

***

"Mara, kamu kenapa? Aku perhatikan kamu banyak bengong nya. Kamu makan dong. Dari tadi, itu nasi di piring cuman kamu aduk aja." Tara mulai cemas, dia melihat sikap dingin Tara makin menjadi-jadi, melebihi dulu waktu mereka masih berteman cukup dekat.

"Mara, kamu kenapa, Dek?" tegur Arjuna.

"Mara nggak laper, Bang."

"Lo harus makan, Dek."

"Mara nggak enak badan. Kalian makan aja, Mara masuk dulu ke kamar ya."

"Mara..."

"Biarin dia masuk ke kamarnya, Tar. Mungkin dia agak syok karena lo datang tiba-tiba. Salah gue juga udah ngomongin tentang perjodohan segala."

Tara menggaruk tengkuk, merasa bersalah pada Tamara. "Iya Bang Juna. Gue jadi nggak enak sama dia, jujur aja."

"Nggak apa-apa, mungkin dia juga gitu karena mamanya barusan ngabarin harus di luar kota selama sebulan. Dia kan nggak pernah jauh dari mamanya."

"Oh gitu, Tante ada kerjaan di luar kota?"

Arjuna menggeleng. Dari gesture yang ditunjukkan, sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu. "Ada apa, Bang? Kalau ada masalah cerita aja.  Walau gue nggak yakin gue bisa bantu. Tapi, seenggaknya itu dikit aja melegakan hati lo nanti."

"Nyokap mau urus perceraian dengan bokap, Tar."

"Hah? Serius lo?"

"Iya. Tapi, lo jangan cerita apa-apa sama Mara. Dia nggak boleh tau, ini semua permintaan gue ke nyokap. Menurut gue, nggak guna juga dia bertahan dengan laki-laki yang nggak akan pernah ngehargain dia."

Meski Tara tak begitu memahami apa yang dirasakan Arjuna. Tapi dia yakin ini tidak mudah. Dia yang terlahir dari keluarga lengkap dan bahagia, memang tak tau rasanya hidup dengan orang tua yang memiliki masalah.

"Gue nggak bisa banyak berkomentar, Bang. Karena gue tau, pasti itu nggak mudah buat lo. Karena gue juga sadar diri, gue nggak pernah tau rasanya jadi lo dan Mara."

Arjuna menepuk bahu Tara. Kemudian dia tersenyum. "Karena itu, gue mau lo temani Mara, Tar. Menurut gue, Tamara berhak dapat keluarga yang baik, kayak keluarga lo yang sayang banget sama dia. "

Tara tersenyum malu. "Ya, gue sih oke aja. Semua tinggal Mara aja, Bang. Dia mau apa nggak. Siapa tau dia udah punya pacar."

"Nggak, gue nggak akan biarin Mara dekat dengan yang lain."

Namun entah mengapa, perasaan Tara mengatakan sebaliknya. Dia seolah melihat kesedihan di mata Tamara saat bertemu dengannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro