Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6

"Jimmy, apa adik kamu beneran nggak mau ketemu aku?"

Jimmy mengusap kasar wajahnya sebab dia baru saja menerima telepon dari Jacky.

"Iya, barusan dia bilang nggak mau ketemu."

Wajah Jill tampak sedih. "Kenapa, ya? Kenapa dia bisa nggak suka sama aku, padahal aku dan dia belum pernah ketemu."

"Sabar, ya, Sayang. Kamu tahu, kan, gimana keadaan adik aku. Dia emang lebih sensitif semenjak matanya nggak bisa melihat. Aku juga nggak bisa memaksakan dia untuk ketemu kamu, kalau dia belum mau."

Jill mengangguk, seolah dia benar-benar sedih. Wajahnya muram dan menghela napas berulang-ulang sambil memegangi dadanya. "Nyesek sih, tapi mau gimana lagi."

Jimmy juga tak mengerti, kenapa Jacky terlihat sangat tidak menyukai Jill. Padahal, dia sangat semangat ingin memperkenalkan Jill pada adiknya itu.

"Sayang, kalau gitu, kamu mau, kan malam ini aja. Nginep ya di apartemen aku."

"Nginep?"

"Ya, karena aku sedih banget soalnya adik kamu nggak mau ketemu sama aku."

"Hem, tapi, aku nggak bisa, Jill. Kita kan, belum boleh tidur satu kamar."

Jimmy bukan pria yang sepolos itu sehingga tak tau apa yang akan terjadi jika dia menginap di apartemen pacarnya.

"Kamu yakin? Kamu serius kita nggak boleh tidur sekamar?"

Sebenarnya Jimmy agak kaget dengan ajakan Jill tersebut. Menurutnya gadis itu sama sekali tak waspada sebagai perempuan. "Kamu seharusnya lebih waspada. Bahaya kalau kamu ajak pria menginap di tempat tinggal kamu. Apalagi kamu tinggal sendirian."

Jimmy melepaskan genggaman tangan Jill yang melingkar di lengannya.

"Jimmy, kamu marah?" tanya Jill.

"Ya, aku agak kecewa. Karena menurut ku seharusnya kamu tidak mengajak aku menginap begitu, Jill."

Jill kemudian tertawa. Jimmy jadi terheran.

"Kenapa kamu malah ketawa?"

"Ya ampun, aku sayang banget sama kamu, Jimmy. Aku nggak akan menyerah meski adik kamu belum mau bertemu dengan aku."

"Maksud kamu?"

Tentu saja Jimmy bingung. Padahal dia kira Jill akan meminta maaf.

"Aku tadi sengaja, aku cuman mau tau aja gimana reaksi kamu kalau ada perempuan yang ngajak kamu nginep di apartemennya. Hem, ternyata kamu benar-benar baik. Maafin aku, ya, kalau aku coba untuk mengetes kamu sedikit. Mungkin kalau kamu mau aku ajak nginep, aku akan mundur jadi pacar kamu."

Jimmy menghela napas setelah mendengar pengakuan Jill. "Astaga, Sayang. Lain kali jangan menguji hal yang seperti itu. Aku nggak suka, kalau tadi setan yang lewat. Bisa aja aku mau kamu ajak ke apartemen."

Jill tertawa lagi. "Nggak, aku yakin kamu akan tetap menolak. Aku tau, kamu laki-laki yang baik."

"Haah, yaudah, kalau gitu aku beneran minta maaf ya. Karena aku belum bisa ajak kamu ke rumah. Lain kali, aku usahakan ajak Jacky berbicara dan tanya alasan dia nggak mau itu kenapa."

Mendadak wajah Jill terlihat pucat. "Hem, oke."

Jadi apakah Jacky akan terus terang bahwa aku adalah orang yang telah menabraknya hingga buta? Apa Jacky juga akan bilang kalau aku menabrak dia untuk balas dendam atas kematian kakakku? Oh, aku nggak mau kehilangan Jimmy.

"Sayang, kamu kenapa, hm?" tanya Jimmy sembari mengelus pipi kekasihnya. "Wajah kamu pucat, kamu sakit?"

"Ah, enggak, kok. Kayaknya aku cuman agak kecapean. Hem, saranku, kamu nggak perlu tanya alasan dia. Karena pasti dia makin nggak nyaman. Aku nggak apa-apa, aku sabar kok nunggu sampai dia mau ketemu sama aku.."

Ya, aku harus menemui Jacky secara pribadi. Aku nggak mau Jacky menceritakan semuanya ke Jimmy.

***

Jika boleh diputar kembali waktu. Jacky berharap, dia tidak pernah bertemu dengan gadis bernama Jill.

"Iky! Aku kangen kamu, kangen banget!"

Sebuah ciuman mendarat di pipi Jacky. Tentu saja itu sangat mengejutkan bagi laki-laki berambut agak gondrong itu. Seulas senyum tipis menghiasi pipinya yang baru saja dicium oleh seorang gadis berambut lurus sebahu yang tanpak manis.

"Aku juga kangen kamu, Jill."

Hari itu adalah hari pertama mereka berkencan setelah dua minggu lalu jadian. Butuh waktu setahun sampai Jacky memutuskan menerima cinta Jill. Meski keduanya harus menjalani hubungan secara Backstreet. Orang tua Jacky belum mengizinkan putranya yang sedang menuju ujian kelulusan strata satu itu untuk pacaran.

Jill adalah sosok yang ceria, baik hati, dan juga ramah. Sehingga Jacky merasa yakin bahwa hatinya mulai menerima kejadian gadis itu dalam hidupnya.

"Kita makan apa, nih? Kamu suka makan apa? Biar aku masakin. Karena kamu udah di sini. Kita ke apartemen aku aja, yuk? Kita makan ramen berdua?"

Keduanya saling menatap satu sama lain. Ajakan itu memiliki arti yang cukup dalam bukan sekedar ajakan makan ramen biasa.

"Jill, kamu nih ya. Kita nonton aja. Aku nggak mau kalau kita ke apartemen kamu, apalagi berduaan. Nggak baik."

Jill tersenyum lebar. Dia langsung memeluk Jacky. "Aku suka banget sama kamu, Jacky. Aku sayang banyak banget sama kamu."

"Hem, kamu masih mau ajak aku makan ramen bareng?"

Jill menyengir. "Aku tadi cuman ngetes kamu aja. Pingin tau aja, apa kamu akan langsung mau aku ajak makan ramen bareng di rumah. Ternyata kamu nolak."

"Lalu, apa kamu kecewa karena aku menolak?"

Jill menggeleng. "Enggak kok. Aku malah bangga. Pacar aku ternyata sangat menghargai wanita."

Jacky mengacak rambut Jill asal. "Jangan suka uji coba, aku ini bukan untuk coba-coba."

Jacky mengepalkan dua telapak tangannya kuat saat terbayang lagi apa yang pernah terjadi antar dirinya dan Jill Estoria.

"Iky, buka pintunya. Ini gue, Jimmy, Ky."

Jacky menghela napas berat. "Tanpa lo kasih tau, gue juga tau lo Jimmy."

"Ya udah, buka pintunya kalau lo tau. Lo ngapain  sih di kamar terus? Mendingan kita makan bareng, yok! Gue mau masak ramen, lo mau nggak?"

Shit! Kenapa harus ramen?

Jacky membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur. "Gue benci ramen!"

"Hah? Lo benci ramen?" Sahut Jimmy dari luar kamar Jacky.

"Jangan ganggu. Gue capek, mau tidur."

"Woy lo capek ngapain  anjir." Jimmy menahan geram, tapi juga tak mau kalau harus memarahi adiknya yang keras kepala.

"Ya udah iya. Gue nggak akan ganggu lo. Tapi lo harus makan kalau lo udah laper. Gue nggak mau perut lo nanti nggak ada isinya terus diisi yang aneh-aneh lagi."

Jacky menutupi telinganya malas mendengar ocehan Jimmy.

"Ah, punya adek batu banget sih!" Jimmy akhirnya menyerah, dia meninggalkan kamar Jacky.

"Bang Jimmy!"

"Tamara? Lo ngapain? Itu apaan di tangan lo?"

Tamara, gadis itu tersenyum dengan wajah cantiknya yang riang. "Ini kue buatan aku, mau aku kasih ke Jack. Aku dan dia, 'kan, udah berteman lho!" ujarnya antusias.

"Oh, ya? Kamu udah berteman dengan Jacky? Kapan kalian jadian?"

"Hah? Jadian apaan sih, Bang! Bikin aku jadi malu ajah!" sahut Tamara sembari menyembunyikan pipinya yang merah.

Jimmy tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Jadian, 'kan, nggak hanya pacaran, Mara. Jadian sebagai teman juga bisa."

"Oh gitu ... Ih jadi makin malu karena kegeeran!" Tamara tertawa geli dengan pipi merahnya.

"Udah udah, nggak perlu malu di depan gue mah. Lo ketuk aja pintu teman lo. Gue udah berusaha minta dia untuk keluar. Tapi nihil."

"Nihil?"

"Hem, dia nggak mau keluar. Biasalah, efek mageran. Gitu lah, si Jacky."

"Ya ampun! Ya udah, biar aku aja yang minta dia keluar. Dia harus cobain kue buatan aku. Kemarin dia bilang, dia suka banget sama kue coklat pisang."

"Bener-bener si Jacky. Baru jadi temen aja, lo udah di manfaatkan sama dia. Jangan sampai kalau kalian udah jadian, lo akan dijadikan tukang masak sama dia, Mara."

Lagi-lagi Tamara merona.

"Ih abang!!! Aku, 'kan, jadi malu!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro