Bab 5
"Jack ... Jacky ... Main yuk!"
Jacky meraba sekitar mencari tongkat yang biasa dia gunakan. Setelah itu dia berjalan ke arah wastafel untuk mencuci muka. Masih pagi, kemungkinan baru pukul delapan, batinnya. Kenapa sudah ada yang mengetuk pintu kamarnya? Ah, dia jadi ingat, semalam pikirannya kacau sejak dia tau, kekasih Jimmy adalah gadis bernama Jill Estoria.
"Siapa?" Jacky membuka pintu, dia berdiri di depan gadis bernama Tamara. Jacky ingat dan Jacky tau dari aroma parfumnya. Tapi, dia hanya ingin memastikan, barangkali ada yang memiliki wangi parfum serupa dengan gadis itu.
Tamara mengibaskan telapak tangannya di hadapan Jacky untuk memeriksa apakah benar Jacky tidak melihatnya. Jujur, Tamara masih merasa Jacky selayaknya orang normal.
"Nggak usah ngibasin tangan."
"Eh? Kok kamu tau, Jack?"
"Ada angin. Lo ngapain? Kesini cuman buat mastiin, tetangga lo ini buta atau enggak?"
Tamara langsung menggenggam tangan Jacky, menyesal telah membuat suasana tidak enak karena pertanyaannya.
"Maafin aku, ya. Enggak kok, aku ke sini karena aku mau ajak kamu jalan-jalan. Eh, lebih tepatnya aku mau minta temenin kamu jalan-jalan, Jacky."
Jacky tersenyum simpul, tapi kemudian dia menghempaskan kasar tangan Tamara. "Apa semenarik itu orang buta di mata lo?"
Lalu dia pergi melewati Tamara begitu saja. Gadis itu menghela napas lagi, tak menyerah, sebab meski baru beberapa kali bertemu, dia sudah mulai memahami kepribadian Jacky.
"Maaf, aku nggak menyenangkan untuk kamu. Tapi boleh, nggak, kalau aku mau jadi teman kamu?"
"Nggak dulu," tolak Jacky tanpa babibu.
"Jack, kok nggak dulu, sih? Tapi, aku beneran tulus mau jadi teman kamu lho.".
" Astaga, kenapa jadi buta aja masih di repotkan sama cewek, sih," gumam Jacky lalu mengabaikan Tamara lagi.
"Jacky. Tadi Bang Jimmy yang nyamperin aku. Bang Jimmy bilang hari ini pulang malam. Jadi, dia minta aku nemenin kamu. Aku seneng banget, aku suka sama kamu, Jacky."
Jacky menghentikan langkah kakinya. Dia memejamkan mata meski itu tak berarti apa-apa karena dia buta. "Maksud lo apa ngomong gitu? Suka kata lo?"
"Iya, kamu baik, kamu berbeda dari yang lain dan aku suka sama kamu, Jacky."
Memang di dunia ini banyak tipikal gadis seperti Tamara yang cenderung blak-blakan dan lebih apa adanya. Bahkan dalam urusan mengutarakan perasaan pada lawan jenis.
Namun Jacky terhenyak, dia agak meringis menerima pernyataan yang entah apa maksudnya itu. "Suka sama gue buat apa? Lo mau buang waktu suka sama orang buta? Apa yang bisa lo dapetin. Buang jauh-jauh pikiran lo. Walau suka sebagai teman pun itu nggak berguna. Lo pulang aja, maaf karena Jimmy lebay minta lo jagain gue. Meski buta, gue bisa lakuin semuanya sendirian."
Tamara masih berdiri di belakang Jacky. Jujur di umurnya yang menginjak dua puluh tiga tahun. Baru pertama kali Tamara sesuka itu pada lawan jenis. Bahkan Tamara tak peduli, meskipun Jacky itu memiliki keterbatasan. Baginya, rasa suka itu muncul begitu saja dan dia orang yang spontanitas.
"Kamu nolak aku, Jack?"
"Udah jelas." Jacky lalu duduk di meja makan. "Lo mending keluar dari rumah gue. Jangan buang waktu lo. Gue nggak suka di kasianin."
"Tapi aku enggak..."
"Keluar."
Namun Tamara merasa dia tidak seperti yang dikatakan Jacky. Dia sama sekali tidak mengasihani Jacky, melainkan benar-benar menyukai Jacky karena hatinya.
"Jacky, aku bener nggak lagi mengasihani kamu. Kenapa kamu nggak mau berteman dengan aku?"
"Kenapa lo juga kekeh mau berteman dengan gue? Apa sebegitu menariknya bagi lo temenan sama orang buta? Lo merasa tertantang, gitu?"
Tamara menggeleng, dia bahkan merasa sedih mendengar ucapan Jacky. Tapi kemudian dia ingat ucapan Jimmy. Jacky sebenarnya kesepian, tapi dia hanya tidak percaya diri karena kondisinya. Jacky sebenarnya pria yang percaya diri sebelumnya. Dia juga selalu yakin dengan kemampuannya. Hanya saja kelemahan yang dia miliki sekarang membuatnya menjadi takut untuk memulai sesuatu. Yang membedakan Jacky dengan orang-orang minder lainnya hanyalah gaya dan caranya. Jacky terlihat lebih menyembunyikan itu dibandingkan menunjukkannya.
"Maafin aku, ya, Jack. Aku akan pergi. Tapi, aku cuman mau bilang aku beneran ingin berteman dengan kamu. Bukan karena aku kasihan. Untuk apa aku kasihani kamu, kalau ada orang yang cocok dikasihani itu aku. Karena aku nggak punya teman sebaik kamu. Setiap orang punya kelemahan. Termasuk aku. Kalau gitu aku pulang dulu ya. Besok, aku pasti datang lagi, kalau kamu nolak, besoknya aku akan kembali. Gitu aja terus, sampai kamu menerima aku jadi teman kamu."
Tamara meninggalkan Jacky, meski dia masih berharap laki-laki itu mau berubah pikiran dengan segera tak perlu menunggu besok, atau besoknya lagi.
Karena begitu galau sebab merasa ditolak oleh Jacky. Tamara sampai tidak sadar, tangannya menyenggol vas bunga yang terbuat dari kaca hingga benda itu jatuh menyentuh permukaan lantai.
"Duh, Astaga!" Tamara refleks memungut pecahan kaca yang berserakan di sana.
Jacky tersentak, dia berjalan ke arah Tamara begitu mendengar suara pecahan kaca tersebut. "Maafin aku, Jack. Aku akan bersihin bekas pecahannya."
"Jangan!" Cegah Jacky.
"Ah!" Tamara memekik saat pecahan itu mengenai jari telunjuk nya dan berdarah.
Jacky dapat mencium aroma darah segar di sana. Dengan cekatan Jacky yang baru saja sampai di sisi Tamara, langsung berjongkok meraih telunjuk Tamara yang terluka.
"Jack ... Aku ..."
Tamara tertegun melihat Jacky sedang menyesap telunjuk nya. Dia bisa merasakan dengan jelas isapan halus Jacky di sana. Jantungnya berdegup kencang merasakan itu sambil menatap Jacky yang begitu tulus.
"Jacky! Darah aku jangan kamu telan."
Jacky kemudian beranjak, membawa tongkatnya ke wastafel. Dia membersihkan mulutnya yang habis menyesap luka di telunjuk Tamara. "Ambil kotak obat yang ada di atas lemari dapur. Bawa ke sini."
Segera Tamara pergi ke lemari dapur dan mengambil kotak obat seperti yang dikatakan Jacky. "Ini, Jack."
Tamara memberikan kotak itu pada Jacky. "Lo buka sendiri. Ada plester, kan? Lo tempel ke luka lo tadi. Pecahan kaca, jangan lo sentuh. Lo bersihin pakai sapu dan pengki."
"Oh, iya, makasih, ya. Eh, maaf maksudnya. Maaf karena udah pecahin vas bunga nya."
"Kalau jalan bisa hati-hati, kan? Karena lo punya penglihatan yang bisa lo gunakan dengan bijak."
"Iya, maaf ya." Tamara tersentil dengan kata-kata Jacky.
"Gue bukan nggak mau berteman dengan lo. Tapi, lo nggak ada untungnya berteman dengan gue."
Tamara tersenyum. "Aku bukan mau cari keuntungan. Kalau mau cari keuntungan mendingan aku jual kamu aja. Itu pun kalau laku."
Jacky tanpa sadar tertawa. Tapi kemudian dia berhenti. "Udah selesai pakai plester nya?"
"Ih kamu ketawa juga akhirnya. Apa tandanya kamu udah mau berteman dengan aku?"
"Gue kan tanya, apa lo udah pakai plester nya?"
"Hem, udah kok." Tamara memang baru selesai menempelkan plester ke lukanya yang tak seberapa itu. "Abis ini aku mau sapu bekas pecahannya. Nanti aku ganti vas bunga yang aku pecahin."
"Nggak perlu diganti. Gue tau lo nggak sengaja. Jadi teman gue, nggak perlu sering-sering minta maaf. Gue nggak suka."
"Hah?"
"Katanya lo mau jadi teman gue, kan?"
Tamara tak tau kapan terakhir kali dia merasa sangat senang seperti itu. Dia seperti mendapatkan hadiah yang sangat berharga. "Iya aku mau jadi teman kamu. Makasih, kamu udah mau jadi teman aku, Jacky!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro