Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

"Iky." 

"Ya? Eh, Jill. Maaf, tadi aku nggak liat kalau kamu ada di depan ku. Kapan kamu datang?" 

"Belum lama, kok, baru satu menit." 

"O Astaga, aku nggak ngeuh sampai satu menit. Maaf banget ya. Banyak tugas kuliah." 

"Nggak apa-apa, kok, Ky. Kamu cita-cita nya mau jadi apa, sih, kalau udah lulus nanti?" 

"Hem, apa, ya? Nggak tau juga. Aku belum ada rencana apa-apa." 

"Oh bagus dong." 

"Bagus?" 

"Ah, maksud aku, bagus karena kamu nggak perlu pusing memikirkan hal yang belum terjadi, kan? Banyak kemungkinan yang akan terjadi dalam hidup kamu ke depannya. Iya, kan?" 

***

Jacky teringat percakapan dia dengan Jill. Dia ingat betul, itu terjadi saat dia akan menjalani ujian di Universitas. Dia tersenyum samar, sambil sedikit meringis. Rupanya ada maksud tersembunyi dari kata-kata Jill yang mengatakan, bahwa bagus belum memiliki rencana di masa depan. 

"Jadi, ini rencana kamu untuk masa depan aku, Jill? Hem, makasih, ya." 

Berulang kali Jacky berusaha menghapus ingatan tentang gadis itu. Tapi tetap saja tidak bisa, ingatan tentang Jill terus saja berbekas dan membuatnya merasa hancur.

"Kenapa kamu lakuin ini ke aku, Jill!! Kenapa harus kamu, hah! Apa salah aku sama kamu, Jill!!" 

"Jacky, kamu nggak salah, tapi, kamu hanya terlahir memiliki ayah yang salah. Ayah kamu aalah besar, Jacky. Ayah kamu yang paling bersalah. Maaf, karena dengan ini, aku bisa hancurkan mimpi-mimpi ayah kamu. Dengan ini, karena harapan ayah kamu adalah kamu, Jacky. Maaf ya. Tapi, aku merasa puas, dan aku nggak pernah menyesal. Kamu boleh, kok, laporin aku ke polisi. Boleh, Ky, aku nggak masalah." 

Semua ingatan itu membuat Jacky stres. Ayahnya telah membayar nyawa dengan nyawanya. Tapi, hidupnya? Hidupnya dipenuhi kegelapan karena dendam seseorang yang di lampiaskan kepadanya. 

"Ky! Lo di kamar, kan! Heh buka pintu lo! Yok makan, lo ngapain di kamar bae hih!" 

Suara Jimmy membuat Jacky segera menghilangkan pikiran-pikiran tentang masa lalunya. Bagaimana pun dia menyesal, mengenang, semuanya tetap tidak akan berubah. Ayahnya tetap meninggal, dan dia tetap buta. Sebanding dengan perbuatan ayahnya di masa lalu, yang telah menghilangkan nyawa seorang gadis tak berdosa hingga hidup seseorang hancur karena terpaksa menjadi sebatang kara setelahnya. 

"Nggak usah teriak, gue buta, nggak budek." 

"Ah elah, lo mah. Masih baper aja! Udah, ayok makan. Gue udah masakin makanan kesukaan lo, Ky. Dan lo tau, nggak, di meja makan ada yang lagi nungguin lo tuh." 

"Siapa?" Jacky berjalan dengan tongkatnya tepat di samping Jimmy. 

Jimmy memegang ujung baju adiknya. Tapi Jacky memukul lutut Jimmy dengan tongkatnya. "Gue bisa jalan sendiri." 

"Dih sakit bego!!" Jimmy mengaduh sambil memegang lututnya. 

"Siapa yang nungguin gue? Lo belum jawab." 

Mereka sudah di depan meja makan sekarang. 

"Hei, Jack." 

Jacky menggerakkan kepalanya, mencoba mengingat suara itu. "Lo cewek yang digangguin preman kemarin, ya?" 

Jimmy tersenyum-senyum sendiri melihat ekspresi gadis yang ada di meja makan saat melihat Jacky. Dia yakin, gadis itu terpesona pada adik bungsunya itu. 

"Iya, kok kamu inget sih?" kata gadis bernama Tamara yang kesemsem dengan Jacky sejak pandangan pertama. 

"Gue kan buta, bukan budek. Inget kok kalau suara doang." 

Jacky kemudian duduk di susul oleh Jimmy. 

"Sorry ya kalau adek gue emang ngomongnya kadang suka asal. Maklumin aja, dia masih labil." 

"Labil apaan sih lo. Duduk, mana katanya lo masak. Sejak kapan lo bisa masak, Chim?" 

"Chim?" ulang Tamara. 

"Apaan sih lo cham chim cham chim! Gue Jimmy bego! Gue rela-rela libur gini masakin lo, kurang apa coba!"

"Akhirnya lo ngaku kalau lo bego," sahut Jacky santai, dia mulai menyendok nasi, dengan meraba-raba sebelumnya. 

Jimmy berusaha sabar. Dia menatap Tamara sambil menyengir. "Dia ini definisi adek nggak punya akhlak, Tamara."

Tamara terkekeh melihat adik kakak di hadapannya yang terus bertengkar tapi malah terlihat menggemaskan. "Kalian lucu."

"Makasih," ucap Jimmy tak lepas tersenyum.

Sekarang Tamara fokus pada tangan Jacky yang sedang berusaha mencari sendok nasi. Tamara hendak membantu, tapi Jimmy menggeleng, mengisyaratkan  agar Tamara tidak melakukan itu. Tamara pun mengikuti arahan Jimmy. 

"Biarin dia lakuin itu sendiri," ucap Jimmy tanpa suara, hanya dari gerakan bibir.

"Ah, oke," jawab Tamara tanpa suara juga. 

Akhirnya Jacky berhasil mendapatkan sendok nasi dan menaruh nasi tersebut ke atas piringnya. 

"Wah, ini masakan Bang Jimmy semua?" tanya Tamara, dia mengerti kalau Jacky tidak mau diperhatikan. Akhirnya dia berinisiatif membuka obrolan daripada suasana hening saja. 

Jimmy menyengir, merasa berdosa jika harus berbohong juga pada Tamara. "Nggak, deh, itu beli di warung padang depan."

Tamara sontak tertawa. "Ya ampun, Bang Jimmy mah. Kirain beneran ini abang yang masak loh." 

Jacky ikut tertawa. "Lo sejak kapan akrab sama si Enchim?" 

"Gue Jimmy, Ky! Astaga nih anak minta di toyor kali, ya!" 

Tamara masih tertawa, menurutnya Jacky dan Jimmy benar-benar dua kakak beradik yang sangat seru dan menyenangkan. 

"Baru kenalan kok. Tadi aku bertamu, terus bilang cari kamu. Terus katanya, Bang Jimmy ini abang kamu. Ya udah, kenalan sebentar, terus di ajak makan siang bareng deh," jawab Tamara. 

"Oh." 

"Ah oh ah oh aja lo kang pijet! Mendingan lo makan buruan, lo, kan harus minum obat!" 

"Berisik amat sih lo, Chim. Caper." Jacky mengarahkan tongkatnya lagi, memukul lutut Jimin lagi. 

"Astaga, nih, anak! Lo nggak takut kualat sama abang lo!" 

Tamara menggeleng, dia sibuk memperhatikan tingkah Jacky dan Jimmy. Pantas saja, Jacky tumbuh percaya diri, disampingnya ada Jimmy yang selalu memperlakukan Jacky seolah Jacky tidak memiliki kekurangan. Dia benar-benar iri. Dia tiba-tiba saja merindukan abangnya yang sudah beberapa bulan  ini meninggalkan rumah, tanpa kabar.


Tamara tak berhenti tersenyum saat keluar dari rumah tetangganya, Jacky. Dia senang, meski Jacky tak banyak berbicara, tapi makan siangnya bersama Jimmy dan Jacky sangat berkesan baginya. 

Dia sebenarnya masih ingin berlama-lama mengobrol dengan Jacky dan Jimmy, tapi dia tak enak juga sebab waktu sudah menujukkan pukul lima belas yang artinya sebentar lagi mamanya akan pulang. 

Langkahnya terhenti saat dia melihat seorang cowok sedang berdiri mengintip di gerbang rumahnya. Dia cowok bertopi dengan perawakan yang sepertinya mirip dengan orang yang Tamara kenal. 

"Astaga siapa dia? Jangan-jangan maling? Tapi, masa maling di hari yang terang gini, sih? Eh, ini kan tempat emang banyak orang jahatnya Astaga! Duh, aku harus ngapain kalau dia maling?"

Ketika Tamara melangkahkan kakinya selangkah. Orang itu malah menoleh, menatap mata Tamara. 

"Mara."

Tamara tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya. "Abang?" 

"Mara, adek gue!" 

Kali ini Tamara baru yakin seratus persen bahwa itu adalah Abangnya Arjuna. 

"Bang Juna!!" 

Keduanya pun sama-sama berlari dan menghambur untuk saling memeluk. "Bang Juna ini beneran Abang?" 

"Iya, Mara. Abang kangen banget sama lo, Mara!" 

"Abang, Mara juga kangen, kangen banget malah." 

"Kenapa abang baru nemuin Mara, sih? Abang selama ini kemana aja, Bang?"

"Maafin Abang, Mara. Ceritanya panjang."

"Terus Abang mau tinggal sama Mara dan Mama, kan, Bang?"

"Abang nggak mau ketemu sama Papa, Mara."

"Ayah jarang pulang. Mama kangen banget lho sama Abang."

Cowok bermata sipit itu tertunduk sesaat. "Mama ada di dalam?"

Tamara menggeleng. "Mama ada keperluan di rumah temannya, Bang."

Tanpa diduga, mamanya datang dan memergoki Mara yang sedang mengobrol dengan seorang cowok di depan gerbang.

"Itu siapa? Kok Mara ngobrol sama cowok?" gumamnya. Sebagai orang tua yang takut terjadi sesuatu dengan putrinya. Dia langsung mendatangi anaknya, bermaksud menegur kenapa malah berbicara dengan orang yang tidak dikenal?

"Mara!"

Tamara dan Arjuna sama-sama menoleh. Melihat wajah cowok di sebelah Tamara, membuat tas yang ada di genggaman tangannya seketika jatuh begitu saja. Dia tak percaya sosok yang berdiri di samping Tamara itu adalah putranya yang sudah beberapa bulan ini pergi dari rumah.

"Arjuna!!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro