Bab 2
"Ky, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Ngomong apa?"
"Ky, aku tau kita selama ini cuman teman, tapi aku sadar, kalau perasaanku lebih dari itu."
"Maksud kamu?"
"Iky aku suka sama kamu."
"Jill, kamu, tau, kan? Aku cuma anggap kamu sebagai teman, nggak lebih."
"Nggak harus jawab sekarang, tapi please, kamu pertimbangkan dulu ya."
Jill Estoria bukan perempuan pertama yang menyatakan perasaan cinta duluan pada Jacky. Padahal sikap Jacky lebih cenderung dingin, cuek, dan jauh dari kesan romantis. Seperti halnya tipe yang diidamkan para gadis. Jacky sendiri tak pernah memikirkan untuk berpacaran karena masih fokus dengan kuliahnya.
"Ya udah, nanti aku pikirin dulu, ya, Jill."
"Beneran, kan, Ky? Kamu mau pikirin ulang?"
Senyuman manis melingkar di bibir tipis Jill yang begitu cantik. Jacky pun terbawa senyuman itu dan ikut tersenyum. "Iya," jawabnya sambil mengangguk.
***
"Jack, rumah kamu di mana?" tanya Tamara.
Matanya tak lepas memperhatikan Jacky yang begitu lihai berjalan dengan tongkat. Kalau secara kasat mata, mungkin orang tak akan mengira bahwa Jacky buta. Kacamata berlensa hitam tapi bukan hitam pekat, lebih ke warna abu-abu itu tak cukup membuat penampilan Jacky tampak seperti tunanetra. Bagaimana dengan tongkat Jacky? Bukankah hanya orang buta yang membawa tongkat seperti itu? Tapi, tetap saja menurut Tamara, Jacky sama sekali tidak terlihat seperti tunanetra.
"Seharusnya gue yang tanya rumah lo di mana, kan gue yang lagi nganter lo."
Lagi-lagi jawaban Jacky tidak terduga, membuat Tamara makin terkesima. Gayanya, cara dia berbicara, membuat Tamara terkagum saat pandangan pertama.
"Jangan liatin gue terus, nanti lo naksir lagi."
Tamara terkekeh. "Emang kenapa kalau aku naksir kamu, Jack? Nggak boleh, kah? Atau kamu udah punya pacar?"
Jacky tersenyum kecut. "Kasihani masa depan lo. Masa suka sama orang buta. Hem, walau orang buta juga berhak pacaran, tapi itu bukan gue."
Tamara mendadak sendu. "Jangan ngomong gitu dong. Padahal aku suka loh sama kamu."
Kali ini Jacky tertawa mendengarnya. "Suka, kok, sama orang buta, sih. Jadi, rumah lo dimana? Nggak mungkin, kan, kita jalan terus tanpa tujuan? Bisa-bisa lo gue ajak ke kuburan, deket lagi sampe sana soalnya."
Tamara terkekeh geli. "Jacky kamu lucu banget sih. Rumah aku di dekat pertigaan depan, pas banget samping pagar putih yang ada kotak posnya di depan. Di sebelahnya ada pohon rambutan, itu rumah aku."
"Oh rupanya lo tetanggaan sama gue."
"Hah? Masa?"
Jacky memperlihatkan senyumnya lagi, dan Tamara terdiam melihat betapa manisnya senyuman itu. "Jadi dari tadi gue nganterin tetangga gue toh. Baguslah, jadi gue bisa sekalian balik. Niatnya mau menyendiri malah ketemu preman bego."
Tamara diam-diam merasa senang karena ternyata dia dan Jacky tetanggaan. "Hem, kalau boleh tau, ngapain kamu menyendiri segala? Nanti kamu kesambet loh!"
"Kesambet setan maksud lo? Setan juga males masuk ke tubuh orang buta kayak gue."
"Ih kamu nih, ya. Kenapa selalu gitu, bahas orang buta terus."
"Ya gimana ya, emang gue buta," jawab Jacky santai.
Tamara terdiam, Jacky selalu punya jawaban dari setiap kata-kata yang diajukan. Laki-laki tunanetra yang baru saja ditemui Tamara, berhasil membuat perhatian Tamara tersita. Sampai-sampai Tamara tak sadar, bahwa dia sudah sampai di depan rumahnya.
"Udah sampe. Lo masuk gih. Gue juga balik dulu."
"Jacky…"
"Apa lagi? Lo mau gue temenin masuk ke dalam rumah. Siapa nama lo tadi?"
"Bu-bukan gitu, Jack… namaku, Tamara. Panggil aja, Mara."
"Oh… iya, Mara. Lo jangan terlalu deket sama gue. Meski kita tetangga, meski gue nolongin lo. Ingat, itu semua hanya faktor ketidaksengajaan."
Jacky pergi begitu saja meninggalkan Tamara, dia masuk ke dalam rumahnya. Sementara Tamara masih memaku di posisinya. "Kenapa aku ga boleh deket sama kamu, Jack?"
Di rumah suasana sepi. Sebab Jimmy berangkat bekerja. Sebagai manajer di sebuah perusahaan, Jimmy sangat sibuk, sehingga tak heran jika Jimmy hanya punya waktu untuk bertemu dengan Jacky di pagi hari dan selebihnya hanya saat libur. Begitu juga dengan Yoona, Mamanya itu tak kalah sibuk, membantu menangani perusahaan peninggalan suaminya, Jeffryan Hadinata. Karena kalau bukan Yoona siapa lagi? Mungkin tadinya Jacky adalah harapan terbesar bagi Jeffryan untuk dijadikan penerus bisnis, sebab Jimmy tak tertarik, dia ingin bekerja hasil usahanya sendiri bukan meneruskan usaha orang tuanya.
Namun takdir berkata lain. Saat Jacky diberikan ujian oleh Tuhan berupa kebutaan.
"Ambil sisi positifnya, Ky. Seenggaknya kalau nanti lo mati, lo nggak asing dengan sesuatu yang gelap."
Jacky berjalan ke arah dispenser, dengan cekatan dia mengambil gelas dari rak piring. Kemudian menekan tombol dispenser seolah tau persis letaknya, agar air itu tidak tumpah dan pas masuk ke dalam gelas yang ditaruh di bawah keran persis.
Jacky menggenggam kuat gelas di tangannya. Terkadang dia terbayang saat dia memberontak dan tidak menerima keadaannya sekarang. Tidak bisa melihat membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal kecil seperti mengambil minum, dan itu membuatnya marah sampai menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.
Namun itu dulu, sekarang Jacky bisa melakukan apapun dengan bantuan tongkat saat berjalan. Dia mengira-ngira setelah belajar di mana letak benda-benda, ruangan, yang ada di dalam rumah. Butuh waktu satu tahun, Jacky baru bisa menerima dengan ikhlas keadaannya sendiri. Orang yang bisa dia salahkan, juga sudah pergi untuk selamanya. Jadi, tidak ada yang bisa dia salahkan lagi selain berusaha menerima semuanya.
"Mara kamu ke mana aja sayang? Kata Bibi kamu cari sarapan kok belum balik sih? Nama kan udah bilang, jangan jalan sendirian di sini. Kamu tau, nggak, sih? Mama cemas banget, kata tetangga sebelah tadi, banyak preman di sini kalau pagi. Kamu nggak apa-apa kan?"
"Tetangga? Maksud Mama tetangga kita yang rumahnya di pager putih?"
Mama Tamara mengiyakan sambil terheran, kenapa putrinya sangat antusias sekarang. "Iya, Mara. Tadi yang punya rumah di sebelah kita bilang sama mama, waktu dia mau berangkat kerja, mama dan dia berpapasan."
"Oh, kenapa kita nggak bertamu ke rumah tetangga, Ma? Bukannya biasanya tetangga baru tuh seenggaknya datang, bawa apa gitu ke tetangganya. Bener, nggak, sih?"
Tentu saja ucapan Tamara benar, tapi mamanya heran, kenapa Tamara tiba-tiba kepikiran. "Iya, nanti sore deh. Waktu yang punya rumah udah pulang."
Tamara berpikir mungkin saja orang yang mamanya maksud adalah mamanya Jacky.
"Mara kamu belum jawab pertanyaan mama loh. Kamu tadi nggak diganggu preman, kan?"
Tamara malah tersenyum-senyum sendirian. "Diganggu, Ma."
"Apa?" Mamanya kaget, kenapa ekspresi Tamara malah tersenyum-senyum padahal dia saja panik mendengarnya.
"Diganggu gimana Mara? Tuh, kan! Besok kamu nggak boleh keluar sendirian. Papa bisa marah kalau sampai tau kamu diganggu preman loh."
"Apa, sih, Ma. Aku nggak apa-apa. Lagian papa nggak akan tau, dia kan lagi sibuk sama istri barunya."
"Mara, kita sudah sepakat nggak bahas ini, kan?"
"Kenapa, Ma? Karena papa polisi dan kita harus jaga imej papa? Tapi emang kenyataannya istri papa tiga. Mama jadi istri kedua. Seolah belum cukup. Emang, ya, laki-laki semakin kelihatan sempurna semakin ngelunjak."
"Mara cukup!"
Tamara seolah terbiasa mendengar bentakan mamanya setiap kali dia membahas tentang papanya.
"Mara mau ke kamar, capek."
______
Next
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro