Bab 16
Meski dalam gelap namun Jacky selalu bisa melihat dengan jelas, selayaknya mata normal manusia biasa dapat memandangi keindahan pemandangan dihadapannya. Ia mengusap sebuah benda kecil yang diyakininya memiliki bentuk sepotong hati. Seuntai tali yang diraba mirip benda berbahan perak membuat ia menghela napas. Itu adalah kalung milik Tamara.
Seminggu berlalu sejak kejadian di taman membuat hatinya nyaris meledak. Bukan tak memiliki rasa yang aneh, justru Jacky lah yang paling terkejut saat dirinya nekat memberikan sebuah kecupan di bibir gadis asing yang belum lama ia kenal. Rasa lembut, sedikit menenangkan namun juga mendebarkan, perasaan aneh itu memang memabukkan untuk sesaat.
"Kenapa lo bikin hati gue nggak tenang, Mara."
"Jacky."
Pria itu meremas kuat benda perak yang sejak tadi dipegangnya. Ia kemudian berdiri dari posisi duduk di kursi taman biasa.
"Hei, apa kabar?"
"Lo?"
"Kenapa? Kaget?"
"Lo bisa-bisanya nanya apa kabar setelah seminggu nggak pernah muncul, Mara?"
Rupanya Jacky sangat mengenal suara Tamara, yang diam-diam sangat ia rindukan.
"Hem, kamu harusnya tanya, apa aku baik-baik aja?" Tamara lalu duduk di sebelah Jacky, menatap telapak tangan Jacky yang sedang mengepal.
"Emangnya lo kenapa?" tanya Jacky, ia penasaran, tidak, ia sangat cemas sebenarnya.
"Apa yang kamu pegang itu, Jack?" Tamara justru tak menjawab pertanyaan Jacky.
"Gue tanya ke lo, emang lo kenapa?"
Tamara menghela napas panjang. "Aku malas membahasnya, Jacky, bisa nggak kamu nggak usah tanya?"
"Hah?" Jacky terheran. "Lo bilang seharusnya gue tanya apa lo baik-baik aja, sekarang gue tanya emang lo kenapa, tapi lo bilang jangan tanya?"
"Ya, itu beda Jacky. Aku cuman pengen kamu tanya apa aku baik-baik aja? Nggak perlu tanya emangnya aku kenapa."
Jacky menghembuskan napas berat. "Gue salah."
"Iya, tapi gapapa kok, walau kamu salah, tetep aku maafin." Tamara tersenyum. Ia menggenggam tangan Jacky yang masih mengepal. "Aku tau, ini kalung aku, kan?"
"Ekhem." Jacky tiba-tiba salah tingkah.
"Kamu kenapa sampai ambil kalung aku?"
"Gue nggak-"
"Kamu terlalu-"
"Berhenti, Mara!" Jacky memutus ucapan Tamara tiba-tiba.
"Kenapa?" Tamara kebingungan.
"Gue minta maaf karena udah lancang melakukan hal yang nggak bener waktu itu." Jacky tanpa sadar memerah. Ia lalu memberikan kalung ditangannya pada Tamara.
"Ini punya lo, gue kembaliin ya."
Tamara menerima dengan hati yang resah. Entah mengapa ada sedikit rasa kecewa melihat respon Jacky tentangnya.
"Aku gapapa, lagipula kenapa kamu minta maaf." Tamara mengenakan kembali kalung miliknya.
Kalung itu tanpa sadar terlepas, itu semua karena Jacky terlalu bersemangat saat memagut nya waktu itu.
"Gue harus minta maaf, karena mungkin lo merasa gue rugikan, Mara, gue udah melakukan hal di luar batas. Lo pasti kaget, lo juga pasti benci sama gue seharusnya."
Tamara menatap Jacky sambil tersenyum. "Kenapa aku harus benci. Kalau kaget, jujur iya, tapi aku gapapa kok, Jacky."
Jacky meneguk ludah. "Maksud lo gapapa?"
"Kalau aku nggak suka, pasti aku udah tampar kamu. Lagipula, aku tau suasana yang bikin semua terjadi. Walau begitu, lain kali jangan bikin kaget ya, Jacky. Soalnya, jantung ku nggak selalu kuat."
Jacky terdiam. Seolah perkataan Tamara itu diibaratkan oase, hadir di tengah kekeringan dan keputusasaan dirinya. Atau seperti irama musik yang sangat beragam, dan ia coba mengartikan maksudnya dengan hati-hati.
"Lo sadar dengan apa yang lo ucapin barusan?" tanya Jacky.
Tamara menyandarkan kepalanya di sebelah bahu Jacky dengan perlahan. "Aku selalu sadar, aku nggak pernah sesadar ini, Jacky. Kamu mikir apa, sih?"
"Gue mikir lo itu beneran mau bikin hidup gue jadi rumit, Mara."
"Rumit?" Tamara menggeleng.
"Iya, rumit banget karena gue nggak bisa kasih sesuatu yang sama kayak yang lo maksud itu."
Tamara sudah menduga bahwa Jacky akan mengatakan hal semacam itu sebagai bentuk respon atas sikapnya tadi. Ia pun hanya mengangguk-angguk, masih menyandarkan kepalanya di bahu si pria bermata indah itu.
"Aku gapapa, aku akan tetap seperti itu walaupun kamu ngelarang aku buat nggak seperti itu ke kamu, Jacky."
"Kenapa lo kayak gitu, Mara? Apa lo udah bosen sama cowok normal, ganteng, tinggi semampai dan punya segudang kelebihan yang mungkin lagi nunggu lo di suatu tempat."
Tamara terkekeh. "Mana ada, tapi kalaupun ada yang nungguin aku, aku harap itu kamu."
"Nggak lucu." Jacky berdecih.
"Lucu kok, kalau sama kamu semuanya jadi lebih bahagia buatku. Jacky, aku nggak butuh pria tinggi semampai dan segala macamnya seperti yang kamu sebutkan. Aku juga bukan udah bosen sama pria semacam itu. Tapi, karena aku sukanya kamu, bukan yang lain."
Jacky tak mengira jika Tamara akan sekeras itu padanya. Kalau sudah begini, dia pun jadi kehilangan kepercayaan dirinya untuk menolak Tamara secara baik-baik.
"Kalau kamu berpikir pengen menolak secara baik-baik, sebaiknya kamu lupain aja, Jack. Apalagi kamu mau menolakku secara kasar, aku mohon nggak perlu."
"Terus lo udah tau intinya gue nggak bisa."
"Ya gapapa, aku tunggu sampai kamu jadi bisa."
"Kalau saat itu nggak akan pernah datang, gimana, Mara?"
"Nggak mungkin, karena hati kamu sebenarnya tau, bahwa aku tulus ke kamu, Jacky."
Jacky langsung terdiam seperti kehabisan jawaban.
"Mara!"
Suara keras membuat Tamara yang tengah duduk pun tersentak. Ia langsung bangun begitu sosok pria tinggi mendatanginya dengan wajah marah.
"Kamu ngapain?!"
"Abang?" Tamara mendekati Arjuna, kalau dibiarkan Arjuna akan membuat masalah dengan Jacky. Padahal susah payah dia kabur dari rumah hanya untuk menemui Jacky dan berbicara dengannya.
"Kamu kabur terus berduaan dengan dia?"
Jacky mengambil tongkatnya lalu berdiri. Ia mencari-cari tangan Tamara, dan akhirnya ia menggenggamnya.
"Dia abang lo, ya?" tanya Jacky santai.
"Eits! Ngapa lo pegang adik gue brengsek!" Arjuna lantas menarik adiknya mendekat secara kasar.
"Ga perlu kasar, dia adik lo kan," kata Jacky, masih santai.
Sementara Tamara ikut kesal dengan sikap Arjuna yang arogan itu. Seharusnya Arjuna tidak seperti itu pada Jacky.
"Bang udah bang! Jangan gitu sama Jacky!" pekik Tamara.
Tamara berusaha melepaskan pegangan tangan Arjuna yang kuat itu, tapi ia tak bisa. "Sakit bang! Lepasin!"
"Diem lo! Ikut gue pulang!" sentak Arjuna tak peduli.
"Mara, lo balik gih." Jacky pun berkata dengan lembut pada Tamara.
"Eh diem lo bangsat!" Arjuna malah mengumpat.
"Abang!!! Jangan gitu sama Jacky!!" teriak Tamara. Ia menangis karena tidak suka perlakuan Arjuna. "Abang keterlaluan!!"
"Kenapa lo gitu sama gue? Apa karena gue buta?" ucap Jacky lalu ia mendekati Arjuna.
Arjuna diam dengan kemarahannya yang masih meluap-luap.
"Gue buta, bukan bajingan. Gue nggak ada niat jahatin adek lo. Jadi, lo bisa nggak, jangan teriak, jangan kasar gitu ke adek lo sendiri." Jacky berdiri tepat di depan Arjuna, jaraknya sangat dekat membuat Tamara jadi cemas.
"Jack ... udah, ya, maafin aku, maafin abangku," kata Tamara, lirih.
"Gue mau lo balik, ya. Tamara, sori, ini yang gue maksud. Kenapa gue nggak bisa." Kemudian Jacky berjalan melewati Arjuna dengan tenang bersama tongkat ditangannya.
"Jacky!!!" pekik Tamara dengan perasaan hancur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro