Bab 15
"Mara buka pintunya!"
Tamara kaget mendengar bunyi gedoran pintu yang cukup keras dari luar. Tidak biasanya, sudah lama dia tidak melihat abangnya marah. Terakhir kali, kemarahan Arjuna benar-benar meledak. Sewaktu orang tuanya bertengkar di depan matanya saat masih sekolah.
"Iya, Bang."
Begitu pintu dibuka, dia langsung di sambut oleh tamparan dari Arjuna.
"Sejak kapan lo nggak punya harga diri, Mara!"
Gadis itu membulatkan mata, syok mendapati tamparan Arjuna tepat di pipi kirinya. "Bang, kenapa Bang Juna nampar Mara?" ucapnya dengan suara bergetar. "Apa salah Mara, Bang!"
Sakit, bukan hanya tamparan yang membekas di pipinya dan terasa pedih. Tapi, di hatinya juga terasa amat sakit. Sebab untuk pertama kalinya Arjuna memukulnya dengan penuh amarah seperti itu.
"Jangan lo kira gue nggak tau, ya! Lo ciuman sama siapa tadi di taman, ha!"
"Ci-ciuman?"
Sungguh tak dapat dipercaya, tak mungkin Arjuna tahu saat dia mencium Jacky, kan? "Bang Juna ngomong apa sih?"
"Lo masih mau bohong?" Arjuna mengangkat telapak tangan, hendak menampar pipi Tamara lagi.
"Bang Juna, cukup!"
Tamara memejamkan mata, dia benar-benar takut akan kemarahan abangnya yang seolah tak terkendali.
"Tara? Diem lo!"
"Lo kenapa sih? Kenapa lo pukul Mara!" Suara lantang Tara membuat Arjuna menghentikan tangannya yang tadinya tetap ingin menampar adik perempuannya. "Argh! Brengsek!!"
Akhirnya Arjuna memukul tembok berulang kali, dan itu membuat Tamara menangis histeris. "Udah, Bang... Cukup, Bang... Maafin Mara, maaf..."
Tamara memeluk Arjuna, dia tau abangnya sedang sangat marah dan tak sadar bahwa telah memulainya. "Maafin Mara, Abang." Dari bibir Tamara sampai mengalir darah segar, ternyata pukulan Arjuna di pipinya tadi cukup kuat mengenai bibirnya yang tipis. "Udah, Bang..."
Tara menarik Tamara, dia lalu melihat luka di bibir gadis itu. "Ya Allah, Mara kamu berdarah!"
Arjuna langsung berbalik melihat kondisi adiknya. "Mana gue lihat!"
Benar saja, Arjuna melotot melihat darah keluar dari bibir adiknya. "Astaga!"
Tamara masih menangis, dia yakin sekali abangnya tadi memukulnya karena terbawa emosi. Mamanya bilang Arjuna memiliki kekuatan yang luar biasa di tangan kanannya. Sedikit saja mengenai orang, meski tak begitu kuat, maka orang itu akan terluka. Benar saja, Tamara menjadi korban setelah sekian lama Arjuna tak pernah menggunakan tangannya untuk memukul orang.
"Maafin gue, Dek." Arjuna menangis, dia langsung memeluk adiknya. "Maaf, Mara!" sentaknya penuh penyesalan. "Gue minta maaf, Dek!"
"Iya, Bang. Iya... Maafin Mara, Bang..." Tamara hanya bisa menangis saat Arjuna memeluknya dengan sangat erat.
"Ky, Iky! Gue mau ngomong sama lo. Gue masuk, ya!" Jimmy langsung membuka pintu kamar. Dia melihat adiknya sedang membaca buku khusus dengan tulisan Braille. "Lo lagi baca? Sorry, gue ganggu."
Jacky kemudian menutup bukunya sambil menghela napas. "Ada apa?"
Jimmy mengambil kursi, lalu duduk di depan adiknya. "Jacky, lo tadi di taman ketemuan sama Mara?"
Seperti biasa, Jacky terlihat santai. Tapi dia tau dari suara Jimmy yang terdengar gusar, dengan napas yang sedikit tak beraturan menandakan abangnya itu sedang agak bingung menyampaikan maksudnya. "Lo kalau mau ngomong ya ngomong aja, Bang."
"Iya, gue kan tanya sama lo, Ky. Lo tadi jalan sama Mara di taman?"
"Iya." Jacky menghela napas lagi. "Ada apa, sih?"
Akhirnya Jimmy yakin dengan apa yang didengarnya dari Arjuna tadi. Berarti benar, kejadian ciuman itu benar. "Lo ciuman sama Tamara, Ky?"
Bak petir menyambar di siang bolong. Jacky benar-benar kaget mendengar pertanyaan Jimmy. Dia diam, dia belum menjawab apa-apa, hanya raut syok itu pasti terlihat jelas oleh Jimmy. Padahal dia sudah dewasa, lantas kenapa dia harus ketakutan seperti remaja yang kepergok berciuman oleh orang tuanya?
Lantas Jacky akhirnya mencoba untuk tetap tenang. Meski dia penasaran, dari mana Jimmy tau. Padahal, dia yakin, Jimmy orangnya mageran, dia tidak suka jalan-jalan ke taman. Jadi, siapa yang menyampaikan tentang berita itu?
"Lo tau dari mana, Bang?"
"Jacky Jacky! Gue nggak ngelarang, sumpah! Gue juga awalnya suka sama Tamara. Tapi please, gue dibikin emosi sama abangnya. Gimana bisa dia ngelarang lo deket-deket sama Tamara. Padahal gue tahu sendiri, kalau Mara yang selalu deketin lo."
"Abangnya? Siapa abangnya Mara?"
"Lo belum tau kalau Tamara punya abang?"
"Belum." Dia terlihat ragu.
"Yakin? Pasti Mara pernah cerita sama lo, lah, Ky. Masa nggak tau sih?"
"Nggak, gue nggak sedeket itu sama dia."
"Kalau nggak deket kenapa lo ciuman sama dia, Iky?"
"Udahlah, Bang. Gue kan tadi tanya. Jadi, kapan abangnya datang ke rumah?"
"Belum lama. Lo nggak denger dia ngobrol sama gue di ruang tamu?"
"Enggak. Gue sama sekali nggak tau."
Jacky mengerti, tanpa perlu bertanya kenapa abang Tamara melarangnya dekat-dekat dengan adiknya. Lalu Jacky tersenyum pahit. "Gue juga udah minta Tamara jauhin gue kok. Jadi, nggak ada yang perlu di perpanjang."
Jimmy mengusap kasar wajahnya, bukan itu masalahnya. "Tapi gue nggak suka dia mandang lo sebelah mata, Ky! Lo adek..." putus Jimmy sewaktu adiknya menutup mulutnya.
"Gue emang nggak sebanding sama Tamara, kan, Bang. Wajar abangnya Mara kayak gitu. Siapa juga yang rela, kalau adiknya jadian sama cowok kekurangan kayak gue. Lo tau lah, nggak perlu gue perjelas, kan?"
"Ky, lo tuh ya! Lo nggak boleh mengiyakan kata-kata dia. Lo kira dia siapa! Lo adek gue, nggak akan gue biarin ada yang semena-mena sama lo."
"Udahlah, jangan dibahas lagi. Sorry, gue mau istirahat. Lo lebih baik keluar deh."
Pasti ada sesuatu, Jacky mungkin mencoba untuk bersikap santai. Tapi, Jimmy tetap tau apa yang dirasakan adiknya. Jacky pasti terluka juga. "Gue tebak, Tamara kan yang cium lo duluan?"
Jacky memijat kening, sebelum dia berbaring di atas tempat tidur dan berbalik membelakangi Jimmy. "Gue udah bilang, gue males bahas."
"Ayolah, Ky. Gue tau kalau Mara itu suka banget sama lo. Pasti dia cium lo, kan? Terus abangnya kenapa malah bilang seolah lo yang udah ngajarin nggak bener sama adiknya?"
"Gue juga bales ciuman dia."
Jimmy langsung diam. Saat itu dapat dia simpulkan bahwa kejadian ciuman itu tanpa unsur ada yang melecehkan. Karena ucapan Arjuna tadi terdengar mirip Jacky baru selesai melecehkan Tamara.
"Udahlah, lagian itu nggak sengaja. Gue sama Mara nggak ada hubungan apa-apa."
"Nggak sengaja? Maksudnya lo nggak sengaja ciuman? Gimana konsepnya, sih, Ky?" tanya Jimmy lagi, dia benar-benar penasaran sekaligus tak mengerti maksud penjelasan Jacky.
"Udah, Bang. Gue nggak ngapa-ngapain sama dia. Lagian gue udah peringatin supaya dia nggak deketin gue lagi, atau pun sebaliknya."
"Tapi, Ky..."
"Gue mohon, bisa tinggalin gue dulu, Bang? Gue butuh rehat dulu. Otak gue panas banget dari tadi. Kalau udah adem, gue akan cerita sama lo, gue janji."
Akhirnya Jimmy beranjak dari duduknya. "Ya udah, lo istirahat deh. Tapi, lo janji, nanti lo harus cerita."
"Ya, makasih karena lo udah perhatian sama gue, Bang."
Jimmy menepuk bahu adiknya. "Lo adek gue satu-satunya, Jacky. Gue akan bela lo paling depan kalau ada yang coba ngusik lo."
Jacky tertawa pelan. "Ya, thanks bro!"
"Ya udah, gue keluar deh."
"Jacky kamu tau? Aku ini nggak sempurna seperti yang kamu kira! Aku anak yang nggak bahagia! Papaku selingkuh, dia bahkan menikah dengan perempuan itu. Mamaku ternyata adalah istri kedua. Abangku, dia kabur dari rumah bawa uang dari mama, untungnya sekarang dia udah balik dan mulai berubah. Tadinya, dia itu tempramen, dia suka memukul orang termasuk papa aku. Papa aku sampai masuk IGD karena pukulan abang aku, Jack. Hidup aku nggak seindah yang kamu kira. Aku pindah karena mama mau jauh dari papa. Aku kasih tau kamu, karena aku mau kamu berhenti sebut aku ini sempurna!"
Jacky menghela napas berat. "Apa abang lo mukul lo juga, Mara?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro