Bab 11
Jimmy sedikit heran melihat adiknya yang pulang ke rumah dengan wajah berseri. Sesekali Jimmy melihat ada senyum yang tak memudar dari bibir Jacky. "Tumben, kayak abis dapat lotere tuh anak. Tanyain ah, siapa tau bener dia dapat lotere?"
"Jack, lo keliatan seneng banget ada angin apaan nih?" tanya Jimmy menyusul Jacky yang baru saja duduk di meja makan menuangkan segelas air dan meminumnya.
"Kepo banget lo, Chim."
"Elah, pelit banget lo!"
Padahal Jimmy senang, karena beberapa hari kemarin Jacky terlihat muram. Syukurlah, sekarang adiknya itu terlihat lebih ceria. "Em, Jangan-jangan lo udah baikan sama Mara, ya? Eh, tapi, belakangan dia jarang main ke sini. Apa lo yang larang dia ke sini?"
"Nggak."
"Nggak gimana anjir. Lo kalau jawab yang jelas dikit napa!"
"Nggak ada apa-apa,"
"Siapa yang nggak ada apa-apa? Mara?"
"Bawel banget lo ngalahin cewek. Gue mau masuk ke kamar dulu."
Jimmy terkekeh, dia lalu ikut menuangkan air ke gelas. "Sampai haus gue ngeledekin lo, Jack! Syukurlah kalau lo udah baikan sama Mara, dia itu tulus mau berteman sama lo."
Jacky menghentikan langkah kakinya beberapa detik, kemudian berbalik. "Gue mau bisa liat lagi, Bang."
Jimmy tersentak, dia sampai menghentikan aktifitas minumnya, meletakkan gelas dari tangannya lalu mendekati adiknya. "Gue lagi usahain, Jack. Bank mata belum ngasih kabar. Tapi kalau ada mata yang cocok buat lo, pasti mereka akan kasih kabar dengan segera kok."
Pria tunanetra itu tersenyum simpul. "Makasih ya, Bang. Ya udah, gue ke kamar dulu."
Senyuman pilu terlukis di bibir Jimmy. Jauh dalam hatinya dia juga ingin melihat Jacky bisa melihat lagi.
***
Tamara menangis sesenggukan sambil menempelkan keningnya ke punggung Jacky. Dia meluapkan semua kesedihannya, membiarkan air mata menetes seperti rintik hujan gerimis yang turun membasahi bumi. "Aku nangis nggak kena baju kamu kok, Jack. Cuman numpang sandarin kening aja."
Suara Tamara bergetar masih sangat terasa kesedihannya. "Iya, kalau basah juga nggak apa-apa kali."
Jujur hal terbaik hari itu bagi Tamara adalah saat Jacky datang menegurnya, bahkan menghiburnya. Padahal dia sama sekali tidak tau ada keberuntungan di hari itu. Sebelumnya Jacky menjauh, dan Tamara kira mereka tidak akan berbicara lagi satu sama lain.
"Makasih ya, Jack."
"Hem, lo udah sepuluh kali bilang makasih."
"Iya, karena hari ini kalau bukan karena kamu, mungkin aku akan menangis sendirian."
"Jadi, menurut lo lebih baik sendiri atau berdua?"
"Tentu aja berdua, tapi aku juga lagi nggak mood ketemu orang lain, selain kamu."
Kedua mata Jacky berkedip, lalu terpejam beberapa saat sebelum lengkungan di bibirnya pun terbit.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" jawab Tamara, dia menghapus air matanya lalu berjalan ke sebelah Jacky dan duduk di sana.
"Kenapa kalau gue yang nemenin lo, terus lo nggak merasa terganggu?"
Tamara tersenyum, dia menarik napas dalam-dalam, menghembuskan nya perlahan. "Nggak tau. Tapi aku merasa takut kamu marah dan nggak mau berteman dengan aku, Jack. Jujur, aku nggak pernah anggap kamu berbeda dengan aku, hanya karena kamu nggak bisa melihat dengan jelas. Menurutku, berteman dengan kamu, nggak perlu banyak syarat. Aku ngerasa nyaman, tapi aku juga nggak mau kalau kamu justru sebaliknya. Kamu mungkin merasa nggak nyaman dengan keberadaan aku."
Jacky mengacungkan tongkatnya ke atas, membuat Tamara bertanya dalam hati, apa yang sedang dilakukannya.
"Mungkin lo ngerasa gue terlalu insecure dengan keadaan gue sendiri, Mara. Padahal, gue bukan hanya sekedar insecure. Gue merasa jangankan untuk percaya dengan orang lain. Terhadap diri sendiri aja, gue nggak percaya."
Tamara masih memperhatikan sepasang mata di sampingnya. Mata itu indah, tidak terlihat seperti mata yang tak berfungsi normal.
"Kenapa kamu nggak percaya sama diri kamu sendiri?"
Pertanyaan itu sama seperti yang di tanyakan dirinya dalam hati. "Gue juga punya pertanyaan yang sama, sayangnya gue nggak tau jawabannya, Mara."
Jacky menurunkan tongkat nya, lalu dia berdiri. "Sebentar lagi mau turun hujan. Sebaiknya kita pulang aja."
"Hah? Hujan?" Tamara mengedarkan pandangan. Langit cerah, bagaimana bisa Jacky bilang akan turun hujan?
Jacky tersenyum, dia lalu menggandeng tangan Tamara. "Kenapa? Lo nggak percaya?"
Gadis itu malah fokus pada tangannya yang digenggam oleh Jacky.
"Seperti itulah gue ke diri gue sendiri, Mara. Gue sulit percaya sama diri sendiri. Tapi, ada beberapa hal yang gue pelajari sebelum gue katakan itu."
"Tentang hujan yang akan turun sebentar lagi?" tanya Tamara.
"Hem, gue merasakan arah angin, dan aroma hujan yang mulai muncul lagi, sekarang mungkin lo belum sadar, kalau ada tetesan air yang mengenai permukaan kulit lo."
Tamara tercengang, dia memang merasakan setetes air yang mengenai permukaan kulit tangannya. "Eh, iya."
"Maaf karena gue sempet nggak percaya sama lo. Terkadang, kita emang sering tertipu, dan merasa bodoh karena salah mempercayai orang."
Jacky berjalan menggandeng Tamara, dia juga masih menggunakan tongkat nya. Tamara sama sekali tidak melarang Jacky, meski dia tau penglihatan Jacky tidak normal. Tapi satu hal yang dia tau, Jacky tak suka jika ada yang meragukan dirinya, itu yang Tamara tangkap dari karakter Jacky.
"Jack, apa kamu pernah dikecewakan orang?"
Jacky tersenyum lagi. Tamara refleks ikut tersenyum. "Kenapa? Lo juga pernah, kan, di kecewakan?"
"Pernah, kamu udah denger sendiri keluh kesah ku. Tentang papaku. Aku kecewa sama dia, Jack."
"Ya, begitu juga gue. Ada sebuah kekecewaan terbesar dalam diri gue. Tapi, itu semua kesalahan gue sendiri. Jadi, Satu-satunya yang gue kecewakan di dunia ini adalah diri gue sendiri."
Meski Tamara penasaran, ingin tau apa yang membuat Jacky kecewa. Tetapi Tamara tidak mau mendesak Jacky untuk menceritakan semuanya.
Tanpa terasa mereka berdua sudah sampai di depan rumah mereka. Tepatnya di antara rumah keduanya yang bertetangga.
"Udah sampai."
"Hem, makasih, ya, Jack. Kamu udah nganter aku pulang."
"Sama-sama, ya udah lo mendingan cepet masuk. Bentar lagi hujan turun."
"Iya. Tapi ... Aku boleh, kan, kalau mau main ke rumah kamu?"
"Kalau nyokap lo izinkan ya nggak masalah."
"Beneran? Kamu nggak akan marah?"
"Gue sebenarnya bukan tipe pemarah kok."
Tamara tersenyum senang mendengarnya. "Makasih ya."
"Iya, ya udah, gue masuk duluan deh."
Jacky berjalan menuju ke gerbang rumahnya. Berhenti sebentar untuk membuka kuncinya dan masuk dengan hati-hati.
Rasa lega, senang, bahagia, bercampur jadi satu. Tanpa sadar Tamara mulai lupa kesedihannya berkat Jacky.
"Mara, lo ngapain di situ? Lo pulang sama siapa barusan?"
Tamara terkejut begitu melihat Arjuna muncul begitu saja mengagetkan nya. Apakah dia melihat Jacky barusan?
"Abang, ngagetin aja tau!"
"Lo hilang ke mana? Gue cari lo dari tadi."
"Cuman ke taman, kok."
"Oh. Ya udah masuk."
Rupanya Arjuna tidak melihat Jacky, batin Tamara merasa lega.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro