Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1

"Dari sekian banyak manusia di muka bumi ini. Kenapa harus kamu? Kenapa, Jill?"

Hidup dalam gelap dan rasa kekecewaan. Itu adalah hidup Jacky Ariesta setelah dua tahun lalu dia dinyatakan buta.

"Iky! Lo ngapain, sih, di kamar mandi? Elah, gue mau boker nih mana kebelet!" 

Dia adalah kakak kandung Jacky yang bernama Jimmy Rasetya. Orang bilang, Jimmy sosok yang lemah lembut tapi menghanyutkan. Padahal kepribadian Jimmy di rumah tidak mencerminkan kelembutan sama sekali.

"Lo bisa diem, nggak, Chim!" 

"Gue bilang berhenti panggil gue, Enchim! Gue hitung sampai tiga. Kalau lo nggak keluar gue dobrak!"

Begitu Jimmy melakukan ancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar mandi. Pintu malah terbuka begitu saja membuat Jimmy yang terlanjur berlari akhirnya malah menyeruduk bak mandi.

"Brengsek lo Ky!!!" 

"Pagi-pagi udah bikin rusuh. Lo siram sekalian deh. Tadinya mau gue siram sendiri. Tapi lo minta buru-buru," kata Jacky dengan entengnya berjalan ditemani tongkat di tangannya. 

Jimmy berusaha tetap sabar. Walau adiknya menyebalkan tapi dia tetap sayang. "Awas aja lo, Ky! Gue ambil jatah makan siang lo entar!" makinya seolah tak cukup memulai pertengkaran konyol di pagi itu. 

Jacky memang tidak bisa melihat dengan matanya. Tapi, dia sudah hafal seluruh sudut rumahnya sehingga tak kesulitan beraktifitas seperti biasanya. Apakah itu mudah? Tidak sama sekali. Jacky hampir menyerah dengan keadaannya. Bahkan setiap pagi yang Jacky tanyakan selalu saja tentang ...

"Ma, apa udah ada donor mata untuk Iky?" 

"Belum, sayang. Sabar, ya." 

Yoona, wanita keturunan asli Korea yang lama menetap di Indonesia kemudian menikahi laki-laki asli Indonesia bernama Jeffryan Hadinata. Yoona harus menjadi single parent setelah dua tahun lalu suaminya meninggal dunia.

Jacky sebenarnya tahu, kalau donor mata untuknya sudah ada, tanpa ditanya pun pasti Yoona akan memberitahunya. Tapi, entahlah, itu seperti sesuatu yang terbiasa dia tanyakan setiap pagi. Meski dia tak yakin hari itu akan datang. Hari di mana Jacky bisa melihat lagi.

"Lo makan apa, sih, Ky? Kenapa bau banget anjrit!" Jimmy keluar dari toilet dan kembali marah-marah pada adiknya. 

"Chim! Kamu ngapain, sih? Kok bahas kayak gitu di meja makan! Nggak sopan! Jorok!" Yoona membentak putra sulungnya yang dijuluki Enchim karena wajahnya mirip dengan Jimin, Idol Korea dari boy group BTS.

"Mama, please, don't call me, cham chim cham chim ..." geleng Jimmy yang selalu begitu, menolak disamakan dengan Jimin padahal dia juga bangga kalau orang-orang mengatakan dia setampan Jimin.

Jacky tak peduli, dia langsung menuang sekotak susu yang ada di depannya ke gelasnya sendiri. Yoona tersenyum, membantu anaknya menggeser gelas agar susu itu tidak berceceran. 

Jacky menghela napas panjang. Dia baru akan menggeser gelasnya sendiri. Tapi mamanya selalu melakukan itu lebih dulu.

Ya, wajar saja, karena lo buta, Ky!

"Aku udah bilang, Ma. Aku bisa kalau cuman menuang susu. Jadi, Mama nggak perlu geser gelasnya." 

Yoona dan Jimmy terdiam. Memang Jacky selalu begitu, dia tidak suka kalau orang-orang memperlakukannya seolah dia sangat lemah. Yoona pun begitu. Padahal dia tahu, anaknya memang buta, tapi dia tidak mau dikasihani. Itulah sebabnya selama dua tahun Jacky belajar banyak agar tetap bisa mandiri meski penglihatannya hilang sekalipun.

"I'm sorry bunny." Yoona merasa bersalah. Dia mengusap pipi putranya sambil menatap mata indah itu, mata yang dulu bisa melihat dengan normal. Kalau saja Jacky mau menerima mata papanya. Sayangnya, Jacky menolak. Jacky memilih tetap menjadi buta.

"Utututu bunny kalau cemberut rasanya bibirnya mau gue iket deh." Jimmy menepuk pelan bibir Jacky. 

"Tangan lo bau." 

"Brengsek apa lo bilang!" 

Yoona memijat kening, heran dengan kelakuan dua putranya itu. "Ya Tuhan, udah udah, kalian mending sarapan. Jimmy buruan kamu berangkat kerja." 

"Iya, Ma."

Jacky tersenyum geli sembari menghela napas panjang. Mendengar mamanya menyuruh Jimmy berangkat kerja. Sementara dia? Hanya menjadi pengangguran. Siapa yang mau mempekerjakan dia dengan keadaannya yang memprihatinkan. 

"Ky, hari ini Mama ke luar kota. Kamu di rumah sama abang kamu, ya." 

Jacky hanya mengangguk. 

Jimmy menepuk bahu adiknya. "Lo harus akur sama gue, ya, Dek. Lo harus repotin gue sekali-kali elah. Kenapa sih lo malah lebih bisa lakuin segalanya dibanding gue? Kan gue jadinya iri!" 

Jacky meminum susu di gelasnya, kemudian meletakkannya setelah sisa setengah. "Jangan ngomong gitu. Kalau lo kayak gue, nanti gue yang sedih. Abisin sarapan lo. Gue mau keluar dulu." 

Kata-kata itu membuat Jimmy meringis, dia tertunduk lesu. Yoona mengatupkan bibir menghampiri Jimmy, mengusap puncak kepala sulungnya itu. Jimmy mendongak dengan tatapan sendu. Yoona tanpa sadar menangis. 

"Jacky kuat banget, Ma. Dia seolah nggak butuh Jimmy sama sekali." 

"Syukurlah, Jim. Kamu akan lebih sedih kalau Jacky selalu butuh kamu, dan dia nggak berdaya." 

"Ma, Jimmy juga bantu cari donor mata buat Jacky." 

"Ya, kita sama-sama berusaha, ya." 

***

Ada satu tempat favorit yang sering sekali dikunjunginya. Sebuah taman di gang dekat rumahnya. Taman kecil, hanya ada dua ayunan dan satu kursi panjang di sana. Tapi, entahlah, Jacky merasa nyaman duduk di sana karena tidak ada yang datang, sepi, dan itu melegakan buatnya. 

Meski hafal jalanan itu, tapi dia tetap butuh tongkatnya untuk membantu. Karena di jalan dia sering menemukan batu-batu yang bisa membuatnya tersandung kalau dia tidak hati-hati. Mereka pindah ke daerah yang sepi. Sengaja, mungkin Yoona takut kalau mereka tetap tinggal di daerah yang ramai, akan menyulitkan Jacky. 

"Lepasin saya, Bang! Lepas!!!" 

"Aduh Dek, kamu tuh diem aja. Ayo ikut kita! Katanya tadi berani? Kok sekarang malah minta di lepasin?" 

"Lepasin saya! Atau saya telepon ayah saya!" 

"Emangnya siapa ayah nya? Nggak takut tuh." 

"Beneran? Ayah saya polisi loh!" 

Jacky mendengar itu dengan sangat jelas. Pendengarannya lebih tajam, bahkan seolah bisa mengirimkan sinyal ke otaknya lalu menggambarkan peristiwa yang terjadi di depannya dalam bentuk bayangan samar. 

"Kenapa bisa ada preman?" gumamnya lalu berjalan menuju sumber suara. 

"Tolong! Tolong saya!" 

"Lo mau apa!" Dua preman itu membentak Jacky. 

"Mau nanya alamat." 

"Anjir lo ngapain nanya alamat ke gue hah!" Kata preman yang ada di sebelah kanan. 

"Kenapa? Takut ya?" Jacky menyeringai sambil menggerakkan kaca matanya. Tongkatnya ia sembunyikan di belakang punggung.

"Pergi lo! Jangan ganggu gue dan temen gue!" Preman yang ada di sebelah kiri ikut membentak Jacky. 

"Kayaknya lo berdua deh yang harus pergi. Ngapain lo ganggu bocah ingusan kayak gitu. Minggat lo pada, sebelum gue telponin om gue." 

Dua preman tadi tertawa. "Yang satu bilang ayahnya polisi, lo sekarang datang-datang mau ngadu ke om lo? Emang om lo siapa?" 

"Fabian Mahendra. Polisi yang kemarin dilantik tuh, baru dapat penghargaan." 

"Hah?" Akhirnya dua preman itu mulai takut. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Fabian Mahendra. Dia bukan sembarang dilantik. Tapi dia diberi penghargaan karena berhasil memenjarakan seorang buronan kelas kakap. 

"Beneran? Lo nggak bohong, kan?" 

Jacky memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana. "Kayaknya butuh gue telponin nih?" 

Dua preman itu saling pandang. Kemudian melepaskan cengkeramannya pada gadis yang ada di tengah-tengah mereka. "Kabur bego!!" 

Gadis itu bisa bernapas lega setelah dua preman itu kabur. Jacky pun berbalik, dia kembali berjalan dengan tongkatnya. Gadis itu berlari ke arah Jacky. "Hei, kamu kok langsung pergi?" 

Langkahnya berhenti. Tapi dia tidak berbalik. "Nggak usah bilang makasih. Fabian Mahendra bukan om gue kok, tadi gue cuman asal aja. Untung tuh preman bego. Lain kali, nggak usah keluyuran sendiri, apalagi kalau lo baru di sini." 

Gadis itu tersenyum geli, dia tau, bahwa Jacky berbohong tentang Om-nya yang polisi. 

"Iya, makasih, ya. Hem, tapi…" 

Gadis itu melihat tongkat yang dipegang Jacky. 

"Iya, gue buta." 

"Eh, bukan gitu maksud aku…" putus Sang gadis. 

"Makasih lo gue terima. Jangan tahan gue lagi, mau balik soalnya." 

"Eh tunggu!" Gadis itu masih tetap mengikuti Jacky. 

"Kenapa lagi?" 

"Em, gini ..." Dia berjalan ke hadapan Jacky dan tersenyum.

"Kenalin, nama aku Tamara. Nama kamu siapa?" 

Jacky terdiam. Dia ragu, apakah dia butuh berkenalan dengan orang lain? Sepertinya tidak. 

"Kenapa? Kok kamu diam? Aku cuman mau kenalan kok."  

"Jacky, panggil aja Iky." 

"Ah, Jacky ya. Oke, aku panggil kamu Jack." 

Jacky tersenyum kecut. "Ya, terserah. Gue mau balik. Lo hati-hati, deh."

"Jack, tunggu!" 

"Lo seneng banget nyuruh orang nunggu." Jacky menghembuskan napas malas. "Apa lagi?" 

"Boleh anterin aku pulang, nggak?" 

Jacky terkekeh. "Lo minta anterin pulang sama orang buta?" 

"Eh, tapi kamu nggak keliatan—itu kok." Tamara menutup mulutnya. "Maaf, apa kamu beneran nggak bisa melihat, Jack?"

Jacky berbalik, lalu dia mengibas rok Tamara dengan tongkatnya. Refleks Tamara berteriak. "Ih kamu kok mesum sih!" 

Jacky tersenyum. "Ternyata beneran, lo anggap gue nggak buta. Ya udah, sini gue anterin lo balik." 

Seketika Tamara diam membisu. 

***
Gimana setelah baca bab 1?

Tunggu aku lanjut lagi, ya. Bye!

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro