Chapter 21 : Kalah
Chapter 21 : Kalah
Nadhif membulatkan mata, refleks tersenyum senang mendengar namanya dipanggil sebagai juara satu.
“Woah! Juara satu lo, anjir,” seru Rehan berteriak heboh.
Nadhif tersenyum miring mendengar itu. Menyalami Rehan dan teman-temannya seperti bapak-bapak yang baru datang ke hajatan tetangga.
Nadhif melangkah maju dengan percaya diri, diiringi tepuk tangan seisi sekolah, seakan tidak percaya kalau seorang Jihan Najla, juara bertahan tiga semester sudah dikalahkan oleh murid baru.
“Anjiir, Jihan dikalahin.”
“Gak heran, sih. Semester ini Jihan banyak buat ulah.”
“Widih, si paling tau, bapaknya lo?”
“Itu siapa? Kok gue gak pernah liat?”
“Semedi di kelas mulu lo, apa-apa gatau.”
“Ganteng anjrit.”
Lengkungan bahagia di wajah Nadhif makin lebar sampai matanya melihat gadis yang hanya memiliki tinggi sebahu tubuhnya. Tersirat kekecewaan dari mata bulat Jihan yang langsung menyipit karena senyum selamat yang diberikan untuk pemuda itu.
Nadhif berdehem sebentar, merasa canggung. Pemuda itu berdiri tepat di samping Jihan.
“Selamat, ya,” bisik Jihan dengan senyuman. “Cie, yang juara satu,” lanjutnya menggoda.
Nadhif menolehkan kepala, melihat ke arah gadis itu. “Makasih, Han,” balasnya.
“Gue harus ngasih ucapan apa nih buat lo?” tanya Nadhif bercanda. Merasa bingung juga ingin merespon Jihan bagaimana.
Takut gadis ini akan tersinggung.
“Doain gue aja, semoga taun depan bisa ngambil lagi posisi yang lo rebut,” sahut Jihan cepat. Terdengar sarkas tetapi Jihan menyembunyikannya dalam nada gurauan.
Nadhif tersenyum miring. “Kalo bisa,” balas Nadhif kecil, tetapi dapat didengar jelas oleh Jihan.
Jihan membulatkan mata, cukup merasa dijatuhkan dengan ucapan Nadhif. Tubuhnya mendekat ingin membisikkan sesuatu.
“Selamat, ya, Hana. Semester depan lebih ditingkatkan lagi.”
Ucapan kepala sekolah mengurungkan membuat gadis itu kembali mengambil posisi awal. Mengurungkan niatnya untuk membalas Nadhif.
“Jihan,” panggil kepala sekolah, membuat gadis itu mengangkat kepalanya.
“Selamat, ya. Mempertahankan memang lebih sulit daripada mendapatkannya. Terus evaluasi diri kamu, ya. Jangan sampai kehilangan semangat belajar,” ucap kepala sekolah.
Jihan tersenyum tipis. “Baik, Pak. Terima kasih,” balasnya. Gadis itu merasa senang karena kepala sekolah tidak mengucapkan kalimat motivasi bermakna sindiran seperti yang lain. Entah mengapa semua orang nampak menyebalkan di mata Jihan hari ini. Termasuk Nadhif.
Lelaki ini sangat membuatnya tidak senang.
Jihan menunduk hormat menerima piagam penghargaan dengan tulisan besar “JUARA II” dari kepala sekolah.
“Wah, Nadhif. Sekali lagi selamat untuk kamu. Bapak cukup terkejut kamu bisa dapat juara satu di semester awal setelah pindah ke sini. Pertahankan prestasimu, ya,” kata kepala dibalas senyum ucapan banyak terima kasih dari Nadhif.
Pengumuman siswa berprestasi selesai. Semua barisan dibubarkan dan masuk ke kelas untuk mengambil rapot dari wali kelas masing-masing.
Pijakan kaki mulai memenuhi lapangan. Diantara kebisingan, terdapat satu ruang sunyi dari seseorang yang saat ini tidak mampu mengangkat kakinya.
Rasanya hanya ingin cepat pulang, tidur dan terbangun kembali. Berharap semua ini hanya mimpi buruk karena lupa membaca doa tidur.
“WIDIHH YANG JUARA!”
Teriakan heboh Rehan membuyarkan lamunan Jihan. Pemuda berkacamata itu melangkah riang mendekati ketiga temannya.
“Selamat bradeerrr!” seru Rehan sambil menepuk kuat pundak Nadhif.
Nadhif mengumpat. “Sakit anj." Nadhif membalas Rehan tetapi pemuda itu sudah berlari menjauh.
“Perasaan kemaren kita sering belajar bareng dah, kok cuma gue yang gak masuk tiga besar?” tanya Rehan tidak berguna.
“Menurut ngana?” sahut Hana kesal.
“Tapi anjrit, lo hebat juga bisa ngalahin Jihan,” kata Rehan tanpa saring, membuat kakinya disenggol kecil oleh Hana dan Nadhif.
Dasar, tidak tau situasi.
Rehan mengernyit. Kemudian tersadar sesuatu. “OH-ohhh iyaa, Ji. Lo sabar, ya. Lo tetep hebat kok, masih dapet juara dua. Gue belum pernah sama sekali,” ucap Rehan bermaksud menghibur, tetapi sepertinya yang dihibur sedang tidak ingin tertawa.
Jihan hanya membalas dengan senyum kecil. “Dah, ke kelas yok, wali kelas bentar lagi masuk,” kata Jihan sangat terdengar lesu. Seperti menahan tangis.
Hana menatap kepergian Jihan, sangat tau apa yang dirasakan teman baiknya itu.
“Lo ngomong kaga liat situasi banget, njir,” kesal Hana menunjuk Rehan dengan piagamnya.
“Wess, selaw bos! Gue tau lo juara, gak usah dipamerin segala,” balas Rehan menjauhkan tubuhnya sedikit. “Emang gue salah ngomong apa? Emang bener kan Nadhif ngalahin Jihan, bahkan tadi gue ngasih hiburan. Emang tu anak aja yang lagi baper.”
“Kalah kok marah, ya wajar kali,” lanjutnya pedas.
Hana terdiam mendengar perkataan Rehan, tidak biasa pemuda itu berucap seserius ini.
“Asal lo seneng dah,” kata Hana tidak ingin memperpanjang kemudian menyusul Jihan ke kelas.
“Temen lo pada kenapa dah?” tanya Rehan mendekat pada Nadhif.
Nadhif menaikkan kedua alisnya kemudian tersenyum. “Temen lo juga, ego,” balasnya merangkul Rehan untuk menuju kelas.
Sebenarnya Nadhif tau kalau Jihan saat ini pasti sangat kecewa dan marah. Tetapi Nadhif gak mau besikap sok baik dengan mengorbankan kebahagiaannya untuk menemani kesedihan gadis itu. Ini bukan salahnya.
Nadhif pun tidak bisa memberi pembelaan atas ucapan tidak benar dari yang lain tentang Jihan.
Karena kita gak bisa ngatur apa yang mau orang lain katakan. Cukup telinga kita aja yang milih mau lebih dengerin yang mana.
***
“Kak Jihan.”
Gadis itu menoleh, mencari sumber suara yang memanggil namanya. Ternyata Biya, adik kelas yang selalu memuji dirinya setiap Jihan dipanggil karena prestasi setelah upacara.
“Kak, semangat, ya. Aku tau salah satu penyebab Kakak gak fokus di semester ini karena kasus kemarin. Kak Jihan tetep keren menurut aku, semangat terus, ya!” kata Biya tersenyum tulus.
Jihan menipiskan bibir. “Makasiih semangatnya, Biya. Enggak kok, Nadhif emang pinter. Makanya dia bisa dapet juara satu. Kamu juga harus rajin, ya. Ambil positifnya aja dari aku hari ini. Jadiin pelajaran kalo mempertahankan hal yang udah didapet tuh sebenernya gak mudah,” balas Jihan.
“Ngomongin apa, nih? Asik bener keknya,” sahut Hana dari belakang.
Biya tertawa. “Ciee yang juara tiga, sombong dulu dong.”
“Malu ah sama yang lebih di atas gue,” kata Hana bermaksud meninggikan Jihan.
Jihan tertawa ngakak mendengar itu disambung tawa Biya dan Hana. Walau dalam hati Hana tau kalau Jihan hanya tertawa palsu.
***
“Ji, lo pulang duluan aja, gue mau kumpul OSIS dulu,” kata Hana.
“Okey.”
Jihan mengambil kunci motor di dalam tasnya, bersiap menyalakan mesin. Sampai seseorang datang.
“Widih, yang juara dua,” ucap Andre dari samping.
Jihan menoleh, ternyata motor mereka berdampingan. Sial sekali.
Gadis itu menghela napas. Tidak menghiraukan orang gila ini, karena ujungnya pasti akan membuat dirinya emosi.
“Set dah, sombong amat, mentang-mentang juara dua.”
“Lo mau apalagi, sih? Gue udah muak,” balas Jihan pelan, tidak mau menambah kesan buruk dari orang lain hanya karena berteriak di parkiran sekolah.
“Gak ada sih, gue cuma ikut seneng aja lo dapet juara dua,” kata Andre dengan senyum miring.
“Stress lo. Cepet periksa kejiwaan deh, urat malu lo dah putus kayanya,” balas Jihan pedas. Langsung pergi meninggalkan Andre tanpa menunggu jawaban pemuda itu.
Gadis dengan tas abu-abu itu memasuki rumah, cepat-cepat melepas sepatu agar dapat menghindari sang Ibu.
Namun yang dihindari ternyata sudah menunggu.
“Kak?” panggil Bu Miya dari dapur.
Jihan mengehela napas. “Ya?” jawabnya pelan.
Bu Miya berjalan cepat menghampiri Jihan. “Gimana?”
Mata Jihan menyendu, tidak berani menatap sang Ibu.
Tangannya mengambil map di dalam tas, kemudian menyerahkannya tanpa kata dan langsung masuk ke kamar.
Jihan lebih memilih diam daripada harus meledakkan emosi di depan Ibunya.
Hari ini, dirinya mengaku kalah.
***
Author Note:
Kalah emang gak bisa diterima gitu aja, tapi kita gak akan pernah selamanya menang, kan?
Semangat, Jihan! Dan selamat, Nadhif!
K.A
2 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro